"Ayo, Nak! Kita berangkat!"Aiko mengangguk pelan ketika Hanbin—yang tengah berdiri di ambang pintu—bertanya padanya. Gadis itu kemudian beranjak dari kasurnya dan berjalan ke arah Hanbin. Begitu sudah dekat, sang papa mengusap rambut Aiko dengan penuh kasih sayang—hanya beberapa saat.
Sembari berangkulan, Aiko dan Hanbin bergegas keluar rumah. Keduanya pun masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir di depan gerbang. Hanbin lantas melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sementara itu, Aiko, duduk diam diam seraya memandangi jalan raya.
Aiko sebenarnya tidak tahu akan dibawa pergi kemana oleh papanya. Sang papa tadi hanya mengajaknya pergi ke suatu tempat tanpa menyebutkan nama tempatnya. Aiko berusaha menebak, namun ia merasa semua tebakannya tidak akan tepat sasaran. Mengingat hari sudah malam, dan sang papa tidak mengajak adiknya—biasanya turut mengajak Abi kalau akan bepergian.
"Aiko masih ingat om Rama, gak?" Hanbin bertanya pada Aiko. Memecah sunyi yang hadir di tengah-tengah mereka.
Aiko menatap Hanbin, lalu menggeleng. Ia sama sekali tidak mengingat, atau merasa kenal dengan Rama. Seseorang yang disebut sang papa barusan.
"Om Rama itu teman lama papa. Dia seorang terapis di salah satu rumah sakit di kota ini," sahut Hanbin kemudian.
"Papa sebenarnya mau kenalin kamu ke om Rama, dan buat jadwal terapi dengan beliau. Maksudnya, jadwal terapi untuk kamu," imbuh lelaki itu.
Aiko terkejut bukan main mendengar pengakuan papanya, yang ternyata akan membawanya terapi. Di samping itu, Aiko tidak menyangka kalau Hanbin berani membawanya terapi lagi tanpa persetujuannya. Padahal Aiko sudah tidak mau pergi ke terapis lagi. Pikirnya, sia-sia saja.
Terlebih, ia pernah diperlakukan dengan buruk oleh terapisnya dulu.
"Om Rama orangnya baik, Ai. Kamu gak perlu khawatir,"
Aiko langsung menepuk lengan Hanbin agar menoleh padanya. Sang papa menoleh sekilas, sebelum menginjak rem mobil. Ia perlu memberhentikan mobil karena lampu lalu lintas berwarna merah.
Sang anak yang mendapati kesempatan untuk berkomunikasi, kembali menepuk lengan Hanbin. Aiko merangkai kata dengan tangannya begitu cepat. Ia juga memasang ekspresi marah supaya Hanbin tahu kalau ia tidak ingin terapi.
"Aku enggak mau, Pa! Aku enggak mau terapi! Nanti ujung-ujungnya sama! Gak akan berhasil!"
"Kita kan belum coba dulu. Lagipula, enggak ada salahnya coba terapi lagi, Ai," ucap Hanbin, menenangkan anaknya.
Aiko menggeleng-gelengkan kepalanya. "aku gak mau, Pa! Aku takut! Mending kita pulang aja!"
"Papa gak inget kah kejadian dulu? Bukannya berhasil tapi malah bikin aku tambah sakit!"
KAMU SEDANG MEMBACA
11 : 11 pm ✖ Lee Felix
Fiksi PenggemarApakah kamu tau, pada jam 11:11 malam aku berdoa. Aku berdoa pada Tuhan agar kamu mau menjadi belahan jiwaku. 11:11 new revision AU Semi Baku