Sampai pagi telepon yang aku tunggu belum juga berdering. Hatiku makin gelisah. Tak biasanya bapak seperti ini.
Rupanya suamiku bisa membaca kegelisahan yang terpancar dari wajahku.
"Ada apa, Bu, kok kamu kelihatan gelisah."
"Eh, nggak ada apa-apa, Pak. Aku hanya sedikit merasa tak enak badan."
"Bener hanya gak enak badan? Ya sudah, biar kusuruh sopir nanti jemput dokter pribadiku."
"Kamu gak ke kantor, Mas?"
"Kalau aku gak ke kantor, karyawanku mau digaji pakai apa, Bu?"
Setelah itu Mas Pono sibuk dengan ponsel di tangannya.
Perutku terasa sangat mual seperti diaduk dari dalam. Segera aku berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perut ke wastafel putih yang ada di sana.
Seluruh persendianku terasa lemas. Air mata membasahi pipi karena menahan rasa hang tidak enak di perut dan tenggorokan.
Mas Pono yang melihatku berjalan sempoyongan keluar toilet segera menghampiri dan memapahku menuju tempat tidur.
Ia segera menelepon seseorang, entah siapa. Bibi pun telah datang membawakan air gula hangat.
"Sebentar lagi dokter datang. Bapak harus segera ke bengkel untuk mengecek kelengkapan pemesanan. Kalau ada apa-apa telpon bapak saja."
Setelah berpesan seperti itu, Mas Pono segera meninggalkan kamar. Kini aku hanya tinggal berdua dengan bibi yang memijit pundakku.
Tak lama kemudian asisten rumah tanggaku yang lain mengetuk pintu. Ia datang bersama lelaki tua ke rumah.
Bibi mempersilakan masuk dan orang tua mengenalkan bahwa dirinya dokter pribadi suamiku.
Dokter itu tersenyum ke arahku selesai memeriksa tubuhku.
"Ibu nggak papa, hanya kecapekan biasa yang mengakibatkan tensinya drop. Jangan terlalu banyak berpikir, biar lekas pulih kondisinya," kata dokter itu seraya mencatatkan resep yang harus segera ditebus.
"Ibu nanti minum obatnya secara teratur, makan dan istirahat yang banyak biar lekas sembuh, ya!"
"Makasih, Dok."
Dokter pun berpamitan pergi diantar Bi Sumi.
Tak lama dokter pergi, suara ponsel di atas nakas berbunyi. Aku melonjak girang, ku pikir itu bapak yang menelepon.
Setelah kulihat nama yang tertera ternyata itu suamiku.
"Kata dokter, ibu sedang memikirkan sesuatu. Apa kamu gak bahagia sama aku?" Pertanyaan Mas Pono langsung menohok saat aku baru saja memencet tombol biru di ponselku.
"Bu-bukan, Mas. Aku juga gak tahu. Hanya saja aku dari kemarin memang kepikiran sama bapak di kampung," jawabku jujur.
"Kan tinggal telepon kalau kangen."
"Sudah, Mas. Tapi bapak gak bisa ditelepon. Tak biasanya bapak seperti ini, aku takut dia sakit."
"Terus, kamu maunya gimana? Mau pulang?"
"E-enggak, Mas. Mungkin nanti bapak menelepon. Biar aku tunggu saja."
Suara handpone dimatikan dari seberang sana.
Aku menggigit bibir, menahan rasa nyeri yang merambah dada sebelah kiri.
Kini jempol tanganku mengetik nama bulik di mesin pencarian panggilan.
Tersambung. Suara bulik terdengar di seberang.
"Kemarin bapakmu mau telepon bulik kehabisan pulsa, Nduk."
Aku menghela napas lega, ternyata alasan bapak tak menghubungiku karena hanya tak memiliki pulsa.
"Oalah Bulik, alhamdulilah. Kupikir ada apa-apa dengan bapak. Sekarang apa dia di rumah?"
"Bapakmu pagi buta sudah ke pasar menjual hasil panennya kemarin. Katanya sekalian mau beli pulsa buat nelpon kamu nanti."
"Oh, iya, Bulik. Kalau begitu biar kutunggu."
Sambungan telepon pun kuputus.
Badanku sudah terasa lega meminum air gula hangat buatan bibi tadi. Terlebih lagi, kabar dari bulik yang mengatakan kalau bapak baik-baik saja.
Aku berusaha turun dari ranjang, bermaksud ke dapur meminta bibi membuatkan bubur ayam.
Baru sampai di tangga bibi sudah berjalan ke arahku dengan nampan berisi mangkok di atasnya juga teh hangat.
"Ibu mau ke mana?" sapanya saat melihatku turun.
"Aku mau Bibi membuatkan bubur ayam."
"Ini sudah saya buatkan, Bu. Mau dimakan di mana?" tanya bibi, seolah mengerti apa yang aku mau.
"Bawa ke taman belakang saja, Bi. Aku mau makan sambil lihat bunga bermekaran."
Bibi memgikuti langkahku dari belakang.
Mataku sempat tertumbuk pada pigura yang menggantung di dinding. Sudah lama aku penasaran dengan foto yang ada di dalamnya.
Mau menanyakan ke Mas Pono tapi selalu lupa.
"Kok berhenti, Bu?" tanya bibi masih dengan nampan di tangan.
"Itu foto siapa, Bi?"
"Oh, itu Ndoro kakung-putri sama bapak, Bu."
"Maksudnya, Bi? Siapa Ndoro kakung-putri?"
"Ya bapak-ibunya Pak Pono, Bu. Masa ibu belum mengenal mereka?"
"Oh, iya, Bi. Soalnya beda sama fotonya," jawabku berbohong.
Padahal selama menjadi istri Mas Pono, belum sekali pun aku diperkenalkan dengan keduanya. Entah apa alasannya.
Agar tak menimbulkan pertanyaan di hati Bi Sumi, aku pun mengajaknya kembali menuju taman belakang.
Selera makanku telah hilang. Aku pikir dalam foto itu adalah Mas Pono dengan seseorang dan anaknya, karena sangat mirip sekali wajahnya.
Ternyata dugaanku salah. Mereka adalah kedua mertua yang belum aku kenal sampai sebulan aku menjadi istri anaknya.
"Taruh saja di situ, Bi. Nanti aku makan," perintahku pada bibi sambil menunjuk salah satu meja di pinggir kolam renang.
Aku hanya duduk termenung memikirkan alasan apa hingga Mas Pono seolah menyembunyikanku dari orang tuanya. Atau malah kebalikannya?
'Aahh ... tapi untuk apa?'

KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki Cungkring itu Suamiku (Complicated)
General FictionPono adalah seorang pengusaha sukses di bidang furniture. Hasil produksi yang dihasilkan perusahaannya telah memenuhi seantero sudut Indonesia, bahkan beberapa negara tetangga. lelaki kurus yang hobi mengumpulkan barang antik itu akhirnya bertemu s...