22

207 5 0
                                    

Sepulang dari restoran aku lebih banyak diam. Wajah Dani sangat mirip dengan Hartoko. Orang yang pernah menyemai cinta pertama kali dalam hatiku.

Kualihkan pandangan ke arah luar jendela sambil memangku tangan menumpu dagu. Pikiranku melampaui jauhnya pandangan. Kenangan tentang Mas Hartoko kembali bermain-main seperti potongan puzle yang melayang-layang.

Aku tak menyadari kalau suamiku memperhatikan sejak tadi. "Kok melamun, Bu."

"E-enggak, Mas. Aku hanya sedikit lelah," ucapku berbohong. Kini aku sandarkan punggung di kursi.

"Itu tadi calon investor baru di kantorku, Bu. Dulunya dia juga seperti aku, tapi karena kerja kerasnya akhirnya bisa seperti ini sekarang."

Aku hanya mengangguk kecil mendengarkan penjelasan suami. Tumben dia mau menceritakan tentang urusan kerjanya padaku.

"Nanti kapan-kapan mau bapak undang ia ke rumah untuk makan malam. Biar keluarga kita lebih akrab lagi."

Ucapan suamiku berhasil membuatku tersedak saliva. "Apa, Mas? Gak biasanya mas mengundang orang makan di rumah."

"Gak usah heran gitu. Dia mau invest cukup besar. Jadi wajar kalau bapak mengistimewakan."

Aku kembali diam. Aku takut, jika semakin menentang dan heran ia malah akan curiga.

Suamiku hanya tahu bahwa aku dulunya punya mantan pacar sebelum dinikahinya, tapi Mas Pono belum pernah tahu wajah dan nama orang itu.  Dan itu salah satu keberuntungan bagiku. Walau aku sendiri masih ragu, apa benar Dani dan Hartoko itu satu orang. 'Tapi kenapa namanya Dani?'

Tadi pun selama pertemuan, ia tak menunjukkan gelagat apa pun. Hanya nampak kaget saja di awal. Selebihnya biasa saja. Seperti tak pernah kenal. Namun, hatiku sangat yakin kalau itu dia. Lelaki yang pernah menawan segala cintaku dulu. Bahkan mungkin sampai sekarang.

Akhirnya kami pun sama-sama diam. Mas Pono kembali sibuk dengan gawainya. Aku hanya diam menatap lurus ke depan.

**

Tak seperti biasanya suamiku hari ini terlihat sangat sibuk. Ia sendiri yang turun tangan ke meja makan mengintruksi para pelayan. Sepertinya ia benar-benar ingin meyakinkan kalau tamunya tak akan kecewa jika sudah keluar dari rumahnya.

Taman depan tak luput dari perhatiannya. Para tukang kebun di bawah perintahnya menata setiap sudut dengan bunga warna-warni. Pun ruang tamu sebagai tempat utamanya.
Terlihat lebih bersih dan wangi dari biasanya.

"Sebegitu pentingnya tamu ini untukmu, Mas?"

"Iyalah, Bu. Kalo gak penting ngapain tak undang ke rumah."

Ia pun kembali sibuk keluar-masuk mengecek segala sesuatunya.

Sore hari tamu yang dinanti pun datang. Aku dan suami menyambut di teras depan. Dua lelaki dengan pakaian hampir mirip keluar dari dalam mobil.

Salah satunya membuka pintu mobil dan keluar seorang lelaki parlente yang kemarin kami temui di restoran.

Hatiku berdesir kencang. Seolah ia ingin meyakinkan kalau lelaki itu adalah mantan yang pernah kusia-siakan cintanya.

Ia tersenyum hangat saat menjabat tangan dan berpelukan dengan suamiku.

Kini giliran dia menyalamiku. Aku sedikit ragu mengulurkan tangan yang sudah sedingin salju.

Akhirnya kutangkupkan kedua tangan di dada. Semata-mata agar ia tak merasakan kegugupanku.

Mas Pono memandang aneh ke arahku. Memang tak biasanya aku bersikap seperti itu pada tamu. Apalagi ini orang yang sepertinya sangat spesial bagi suamiku.

Kutundukkan kepala  menghindari tatapan penuh selidik dari suamiku.

"Mari masuk, Pak. Kita nikmati hidangan malam yang telah kami siapkan spesial untuk menyambut bapak."

Selama pertemuan aku lebih banyak diam menemani suamiku ngobrol tentang topik yang aku gak ngerti.

Sesekali tak sengaja netraku dengan Pak Dani bertubrukan. Ia lebih sering mencuri pandang ke arahku yang hanya diam di samping suamiku.

Lelaki Cungkring itu Suamiku (Complicated) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang