10

236 13 0
                                    

Pagi harinya, aku diantar suamiku menuju rumas sakit besar di kota. Turun di parkiran, sudah ada seorang perempuan berpakaian serba putih dengan kerudung sewarna menanti dengan kursi roda kosong. Tangannya memegang setir kursi roda. Senyumnya mengembang saat mengetahui kedatangan kami.

"Selamat pagi, Pak Pono. Mari ibu silakan duduk, biar saya yang mendorong," ucap perempuan itu ramah.

Sepertinya suamiku telah terlebih dulu menelepon untuk membooking tempat buatku. Rasa tak nyaman diperlakukan bak ratu menjalari diriku.

"Saya masih kuat berjalan sendiri, Sus. Tidak apa-apa," jawabku, menolak halus.

"Tidak apa, Bu. Ini salah satu bagian tugas saya juga di sini. Mari, silakan!" Kembali suster cantik itu mempersilakan diriku untuk duduk di kursi roda.

Sejenak kuarahkan pandanganku ke suami. Mata kami bertemu, dan ia mengisyaratkan aku untuk mengikuti saran suster. Dengan canggung, aku pun duduk di kursi roda.

Sebentar kemudian suster mendorong dan membawaku ke sebuah tempat. Memasuki ruangan besar dengan lalu lalang orang. Ada sebuah tempat di pojokan bertuliskan "informasi" yang dijaga oleh beberapa petugas berseragam satpam. Di sebelahnya berjajar kursi panjang, sepertinya tempat tunggu pasien yang akan berobat ke dokter spesialis  bedah. Karena di situ tertulis papan nama dokter dan jabatannya.

Melangkah lebih ke dalam ada ruang pendaftaran, kasir, dan farmasi. Langkah kami berbelok di ujung lorong menuju ruang yang sangat bersih. Baru masuk sudah terasa tenang dan nyaman. Mataku berputar mencari papan nama dokter spesialisnya, tapi belum juga aku temukan. Mas Pono masih setia melangkah pelan mengiringi di sebelah kursi roda yang membawaku.

Sampailah kami di pintu berkaca. Di atasnya tertera nama dr. Ndang Susanto, Sp.OG. entahlah, apa kepanjangannya. Aku hanya diam menurut.

"Sebentar, ya, Bu. Kami cek dulu nomor antriannya," ucap perempuan itu dengan senyum ramah. Aku hanya menganggukkan kepala.

Tak lama kemudian ia membawaku masuk ke dalam ruangan diikuti Mas Pono. Di dalam sudah ada seorang laki-laki gagah, berusia sekitar empat puluh tahun, badannya tegap dan dengan senyum ramah menyambut kami.

"Selamat datang bapak-ibu, mari silakan duduk," sambutnya, yang diiringi senyum kami.

"Mual ya, Bu. Sudah berapa lama?" tanya dokter itu lagi.

"Dua mingguan lebih, Dok. Tepatnya saya lupa."

"Ok, kita periksa dulu, ya, Bu. Mari silakan naik ke atas tempat tidur."

Aku pun tak banyak bertanya. Segera aku berjalan menuju tempat tidur dengan beralas plastik warna hitam itu. Sebentar kemudian suster cantik tadi memeriksa tekanan darah dan detak nadiku.

"Normal, Dok. 120/100," ucap suster yang selesai mengecek tensiku.

Dokter itu seperti menyalin catatan ke dalam sebuah lembaran berwarna putih. Senyumnya mengembang menatapku. Aku jadi tersipu. Kemudian dokter itu bangkit dari duduknya, memijit bagian perutku lalu mengoleskan cairan putih yang terasa dingin di kulit. Setelah itu, sebuah alat mirip pemijat di geser-geser ke seluruh perut yang terasa licin lalu matanya beralih ke arah layar seperti tivi yang letaknya di dekat kepalaku.

"Coba ibu lihat pergerakan di gambar monitor itu," senyumnya ramah menyurku melihat ke arah tivi tadi.
Aku kagum tapi juga bingung. Apa yang sebenarnya ingin dokter ketahui dari perutku, dan untuk apa ia menyuruhku melihat ke arah yang gambarnya hanya hitam itu?

"Bayi ibu sehat, ya. Dia bergerak lincah di rahim ibu. Tidak ada masalah apa pun. Yang terpenting jaga makan, asupan gizi, dan istirahat cukup, ya, Bu!"

"Maksud dokter ... saya hamil?" tanyaku terkejut. Entah seperti apa ekspresiku waktu itu.

"Loh iya, Ibu belum mengetahuikah?" Kini dokter itu yang terlihat heran.

"Memang belum, dok. Sengaja dokter pribadi kami menyembunyikan darinya karena untuk memberinya kejutan." Suamiku menimpali.

Dokter itu terkekeh. Sepertinya ia bisa merasakan kebingunganku. Sedangkan aku yang masih tak percaya, tak mampu berkata satu katah pun. Aku bingung dengan perasaanku sendiri. Sepertinya ingin melompat kegirangan, atau malah bersedih karena merasa dibohongi.

Rupanya dokter keluarga kami telah kong kalingkong dengan suamiku untuk merahasiakan ini padaku.

"Selamat sekali lagi, ya, Bu! Ini saya resepkan vitamin untuk satu bulan ke depan dan harus dihabiskan. Diminum rutin agar mual-mualnya tidak kembali." Dokter itu mencatat resep sambil mulutnya terus mengingatkan apa-apa yang boleh dan tidak di lakukan dan yang jadi pantangan.

Lelaki Cungkring itu Suamiku (Complicated) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang