Pagi ini terasa cukup dingin, dikarenakan hujan yang tak kunjung reda dari kemarin malam. Beberapa kali Vano terus menguap sembari mengancingkan seragamnya. Melapisi tubuhnya lagi dengan jaket hitamnya. Anak itu terlihat tidak semangat sama sekali untuk pergi ke sekolah. Bahkan semalam ia telah bertekad bulat untuk bolos sekolah, dan tidur sepanjang hari di bawah selimut tebalnya. Namun, abangnya yang menyebalkan itu tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar dan memaksanya pergi ke sekolah.
Vano sempat melawan dengan sepenuh tenaga, namun entah dari mana datangnya air yang begitu dingin mengguyur kepalanya. Sontak saja Vano langsung terjingkat kaget dan harus merelakan mimpi indahnya. Dan mau tidak mau, Vano akhirnya berangkat ke sekolah hari ini.
Vano melangkah ringan menuruni tangga walaupun dengan hati yang setengah ikhlas. Tangan kanannya menyambar roti yang berada di tangan abangnya tanpa permisi.
"Itu roti gua! Balikin, gak?!" Reyhan melotot dan berusaha mengambil kembali rotinya. Namun ia kalah cepat dengan Vano yang terlanjur melahap rotinya tanpa sisa.
"Sialan lu, Van!" Reyhan mengembuskan napas kasar. Sementara Vano memasang raut datar, tidak merasa bersalah sedikitpun.
"Mama mana, Bang? Kok yang bangunin gue tadi, elo?" tanya Vano selepas menelan rotinya
"Lo amnesia? Kan dari kemarin nginep di rumah Oma sama Papa!" jawab Reyhan sedikit emosi.
"Jawabnya biasa aja kali, Bang. Gua kan cuma tanya," kata Vano sembari memperhatikan abangnya yang tengah mengolesi roti tawar dengan selai cokelat.
Vano memilin bibirnya yang kering. Terus memperhatikan abangnya yang mengolesi roti itu dengan sepenuh hati. Saat Reyhan
hendak memasukkan roti ke dalam mulutnya, Vano dengan secepat kilat merebut roti itu untuk kedua kalinya. Vano tertawa dan langsung berlari cepat kala Reyhan berteriak kesal dan langsung mengejarnya."VANOO...!!"
Vano segera naik ke atas motor hitamnya yang berada di teras rumah. Ia segera menancap gas dan pergi meninggalkan rumah. Namun, Vano sempat merasakan timpukan sandal yang mendarat tepat di bahunya. Dapat Vano lihat dari kaca spion, jika Reyhan tengah menyumpah serapahi dirinya. Vano tertawa, dan semakin mengencangkan laju motornya.
°°°
Vano memberhentikan kuda hitamnya dengan mulus pada parkiran sekolah. Ia lantas melepas helm, kemudian berkaca pada kaca spion untuk merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Dan beruntungnya hujan sudah berhenti, hanya saja hawa dinginnya masih sangat terasa, walaupun ia sudah menggunakan jaket sebagai penghangat.
Vano melangkah sembari memutar kunci motor pada jari telunjuknya yang panjang. Baru beberapa saat melangkah, Vano terhenti saat kedua matanya menangkap motor yang tak asing di bagian ujung. Ia kemudian tersenyum simpul dengan menggelengkan kepala.
"Udah tahu gak bisa keluarin motor, malah pilih tempat yang susah keluarnya," kata Vano lirih, lantas kembali melangkah menuju kelasnya.
Vano melempar tas dengan asal di atas meja duduknya. Dengan cepat ia mengeluarkan buku dengan garis kotak. kepalanya menoleh ke arah Dhika yang duduk di sebelahnya. Dhika yang mengerti gerak-gerik Vano langsung mendekap tasnya di depan dada.
"Gausah pelit! Orang pelit kuburannya sempit!" sinis Vano memaksa.
"Tergantung yang gali kuburan gue, lah!" balas Dhika.
"Udahlah, Dhik, gak usah drama. Gue pinjem buku lo sebentar. Lo jadi orang baik dikit napa!"
Dhika mengembuskan napas malas. Dengan sedikit berat hati, ia mengeluarkan buku tugas matematikanya, dan memberikannya pada Vano.

KAMU SEDANG MEMBACA
REVANO (COMPLETED)
Fiksi Remaja"Sepasang luka yang bersemayam di balik tawa." °°° Revita, gadis berusia tujuh belas tahun yang menganggap cowok tak dikenalinya sebagai sosok monster yang menakutkan. Selama rasa takut itu tumbuh di dalam dirinya, sel...