A Small Conversation About Roger

48 3 3
                                    


A Small Conversation About Roger
☆□●☆□●☆□●☆□●☆□●☆□●☆□●☆


Setelah Roger dan kekasihnya masuk ke dalam, terdengar suara telepon berdering. Segera aku menjawabnya.

"Hello?" Sahutku.

"Sunny..," suara Kakekku terdengar dari seberang sana.

"Oh, Kek, ada apa? Kok bisa tahu nomor ini dari mana?" Tanyaku.

"Kemarin aku minta sama petugas gedung. Kamu gimana disana? Baik-baik aja, kan? Apa perlu aku mampir kesana sekarang?" Tanyanya bertubi-tubi.

Aku menghela nafas pelan, "Tenang, Rob, aku gak apa-apa. Gak ada polisi atau mata-mata disini. Jadi, santai aja." Jawabku menenangkannya. Terkadang aku lebih senang memanggil namanya.

"Syukurlah, aku cuma takut kalau sampai hal buruk terjadi sama kamu, Sunny. Dunia ini gak aman buat kamu," Katanya mengingatkanku.

"Kakek gak perlu khawatir, aku bakalan baik-baik aja, dan gak ada orang yang curiga soal keberadaan aku disini." Aku masih berusaha menenangkannya. Secara aku tidak perlu khawatir karena ada remote kecil berwarna hitam yang akan selalu aku bawa kemanapun aku pergi sehingga jika sewaktu-waktu aku menjadi buronan polisi atau ada  orang yang tahu kalau aku datang dari masa depan, aku bisa segera pergi dengan alat itu. Cukup tekan tombolnya saja dan aku bisa kembali ke masa depan. Kakek yang mengatakannya sebelum aku pergi kesini.

"Tapi kamu tetap harus waspada, Sunny."

"Iya."

"Dan.. aku ingetin lagi, jangan lupa buat kasih kabar setiap waktu," pintanya lagi.

"Oke. Ada lagi?" Tanyaku.

Ia mendesah pelan, "Itu aja. Oh, ya, aku mau ajak Daisy jalan-jalan, kamu mau ikut?" Tanya Kakekku. Bertemu Daisy kecil, Ibuku? aku belum siap. Dan aku hanya tak ingin memikirkannya untuk beberapa saat ini. Aku hanya ingin menikmati hidupku di sini, meski sebenarnya tinggal di sini adalah hal yang tidak nyata karena bagaimanapun juga aku pasti akan kembali ke masa depan.

Aku menghela nafas, "Sunny gak mau. Nanti aja kalau ada waktu." Ucapku datar.

Kami terdiam beberapa saat sampai akhirnya Kakek berbicara lagi, "Oke, kalau itu mau kamu. Ya, sudah, aku telepon lagi nanti,"

"Iya, Rob." Jawabku. Setelah itu Kakek menutup teleponnya.

Aku masih terdiam mengingat malam terakhir saat aku bertemu Ibuku. Sempat aku mengatakan bahwa aku akan membayar seluruh biaya yang telah Ia keluarkan untuk membesarkanku hingga saat ini. Aku bahkan berpikir bahwa selama ini Ibuku terpaksa merawatku, entahlah pikiran itu terlintas begitu saja.

Fokusku teralihkan saat aku baru menyadari ruangan di flat ini tidak tertata terlalu baik. Jadi, aku putuskan untuk menata beberapa barang di setiap ruangan agar terlihat lebih rapi. Tidak memindahnya secara keselurahan, hanya menata ulang furnitur yang ku rasa mana yang lebih baik di tempatkan di ruang tamu atau ruang TV, itu saja.

Setelah ku perhatikan, aku tidak mengerti kenapa penghuni sebelumnya meninggalkan mesin tik dan banyak buku di flat ini. Apa Ia tidak sanggup membawa barang-barangnya ini saat pergi ke tempat hunian barunya? Aneh sekali. Pikirku.

Butuh waktu hampir satu jam saat aku membereskan seisi barang di dalam flatku ini. Aku, lalu merapikan seluruh pakaian dan barang-barang nenekku yang ku bawa dari masa depan ke dalam lemariku, sebenarnya itu barang-barang Nenek dari tahun 60-an dan 70-an yang aku bawa kembali dari masa depan. Untung saja, aku menemukan beberapa pasang sepatu dan pakaian yang ternyata ukurannya cukup di tubuhku. Rok, Dress pendek, jaket, Celana Jeans. Belum lagi sepatu vintage boots, kitten heels, dan sepatu dengan model platform milik Nenekku ukurannya cukup pas di kakiku, mungkin agak sedikit besar satu senti, tapi masih bisa aku gunakan.

TraveLoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang