Satu

21K 1K 49
                                    

Jangan tanyakan lagi tentang bagaimana beratnya rindu. Jangan tanyakan lagi bagaimana pedihnya hati tak terbalas. Karena aku sudah merasakannya. Rasanya sesak seperti sedang terkena asma dan malah kehabisan oksigen. Terkadang, bintang malam dan rembulan terasa tengah menyoraki kemeranaanku dalam mencinta, merindu, dan mendamba. Bagaimana kabarnya? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana dengan hatinya? Apakah masih sama seperti dulu? Setiap malam aku gunakan untuk meratapi dan merutuki setiap kebodohanku. Tolol memang. Aku sadar disaat dia mulai lelah. Aku terlambat membalasnya, sangat terlambat.

Setiap hari bergulir terasa amat menyiksaku. Dipukul berpuluh-puluh kali oleh penyesalan juga semakin membuatku tersiksa. Aku ingin sekali menyusulnya sekedar menatap mata indahnya. Aku ingin sekali menatap senyum indahnya yang membuat dadaku bergetar hebat. Tiga tahun? Terasa tiga puluh tahun.

Rasa yakin jika hatinya masih terkunci untukku perlahan mulai memudar. Aku tidak yakin masih menjadi pemilik hatinya. Terakhir melihat tatapannya, membuat hatiku mencelus. Dia menatapku dengan penuh luka. Manik yang selalu berbinar itu menatapku redup. Dia menyerah. Dia menyerah mencintaiku. Dia memilih meninggalkan aku.

Hati Terpilih. Aku baru merasakan arti kata itu. Aku baru sadar saat dia telah mengaku menyerah. Menyerah bertahan di sisiku dan memilih pergi meninggalkanku. Kengkuhan hatiku yang memukul mundur hatinya.

Senyum getir terbit dari bibirku. Rasakan! Selamat menikmati apa yang Janira rasakan waktu itu.
Batinku menghardik merasa puas atas kebodohanku. Tanganku perlahan menyentuh dadaku. Di sini, di hati ini. Bunga cinta terus tumbuh mengakar dalam hatiku. Di sini, di hati ini. Rasa rindu menjadi pupuk kuat cinta itu tetap tumbuh. Meski pun bunga cinta ini terus tumbuh subur. Namun, bisa layu sekejap mata karena harap cemas dia telah benar-benar pergi. Bahkan, Dingin angin malam tak membuatku merasakan kedinginan sedikit pun. Gejolak panas dalam dadaku terasa lebih terasa memberi kehangatan ke seluruh tubuhku.

Suara gemerisik dedaunan menjadi lagu pelengkap pengiring kesepianku. Aku menatap lekat pekatnya malam. Selalu tersampir sebuah senyum kehampaan. Hampa karena tak bisa bersamanya. Perlahan, aku mengembuskan napas pelan. Ada rasa yang melesak memaksa keluar dari rongga dadaku.

Suara pintu terbuka. Aku memilih mengabaikannya dan tetap fokus menatap malam.
"Gue kira, lo udah bisa relain adek gue." Suara Faiz menyusul seiring suara pintu tertutup.

"Gue nggak bisa, Iz. Nggak akan pernah bisa," sahutku tanpa mau repot menoleh ke belakang. Sejenak memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam mengurangi sesak ini. "Mungkin ini yang namanya karma," tukasku. Memang benar, kan? Tuhan itu Maha Adil. Aku yang menyakiti Janira, dibalik dengan mudah supaya bisa merasakan apa yang Janira rasakan dulu. Bukankah itu yang namanya Karma? Bahkan sepertinya lebih sesak giliranku dibanding Janira dulu.

Tepukan di bahuku membuatku terpaksa menoleh ke samping karena Faiz sudah berada di sampingku. "Bukannya enak, malah menderita. Iya, kan? Lo masuk kubangan lumpur yang nyedot raga lo secara perlahan." Faiz berucap sambil ikut menatap malam.

Aku tersenyum tipis. Memang dari Faiz aku bisa mendapatkan kabar tentang Janira. Hanya kabar. Dan terkahir kabar dari Janira itu satu bulan yang lalu.
"Gue nggak bisa ngelak. Memang bener ucapan lo itu, Iz." Aku terkekeh garing.

"Lo udah menjelang tua, Mi. Lo nggak bisa terus terpaku sama Janira. Menunggu yang nggak pasti nggak baik buat masa depan lo. Lo butuh istri buat ngasih lo keturunan. Gue nggak yakin Janira masih mau sama lo." Nasihat Faiz yang entah ke berapa kalinya yang aku dengar.

Aku mengedik. "Mau bagaimana lagi, Iz. Gue terlanjur terperangkap dalam cintanya Janira. Hati gue mati banget lihat cewek di luaran sana." Aku mengelak sembari meringis. Entah Janira menggunakan jampi-jampi atau tidak. Yang jelas, hati ini selalu saja menolak terpikat pada wanita lain.

Aku mendengar Faiz mengembuskan napasnya. "Itu artinya lo bakalan jadi bujangan lapuk, Mi. Tanpa istri, tanpa anak." Faiz sepertinya takut tersaingi. Usiaku memang hampir menginjak empat puluh tahun. Tapi tidak masalah. Selama itu tidak membuatku kesulitan.

"Tidak masalah. Lagian, gue juga punya Raia kok. Dia juga sama, anak gue." Aku menyanggah pernyataan Faiz. Percuma juga dipaksakan menikahi wanita lain. Karena itu cuman buat orang lain terluka, begitu juga denganku. "Kapan Janira balik?"

"Bulan depanan. Itu juga dipaksa sama nyokap. Karena awalnya Janira nggak bakalan pulang lagi. Dia mau netep di sana sambil kerja." Jawaban Faiz membuat pupil mataku mengecil. Faiz menatapku. Dia mengedik seolah dia tahu apa yang ada dalam pikiranku. "Maka dari itu, gue minta lo cari cewek yang bisa lo nikahin. Karena gue tebak, Janira mungkin udah bener-bener lepasin perasaannya buat lo." Mendengar itu membuatku telingku terasa bergolak menolak apa yang dikatakan Faiz. Dadaku bergemuruh panas memberikan efek sakit yang lumayan membuat hati linu. "Hidup itu simple, Mi. Apa yang lo tanam. Itu juga yang lo tuai. Lo mengabaikan perasaan Janira selama bertahun-tahun. Dan sekarang, selamat menikmati posisi Janira." Faiz menepuk bahuku beberapa kali setelah mengatakan itu. Dia tersenyum samar sebelum akhirnya pergi dari kamarku.

Aku terdiam beberapa saat. Sebelum akhirnya memutuskan menatap sang malam kembali. "Tidak masalah. Selama itu bisa menebus kesakitan Janira. Gue ikhlas," ucapku lirih merasa panas menjalar ke seluruh tubuhku. Iya, selama bisa menebus kesalahanku padanya dulu. Aku ikhlas.

Hati Terpilih 2 (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang