Setelah kejadian tadi sore, Rumi sudah kembali ke rumahnya. Dia tidak ingin terlalu lama melihat wajah terluka Janira. Rumi berbaring di atas ranjang menatap lurus ke atas. Tatapannya penuh kehampaan, batinnya terus melonglong penuh kesakitan. Saking terhanyutnya Rumi dengan perihnya sampai tak menyadari ada yang mengetuk pintu.
"Rumi!"
Rumi terkesiap, dia menoleh ke arah pintu kamar masih dengan tatapan hampa. Rasanya berat sekali untuk bangkit dari tidurnya. Dan akhirnya, Rumi memilih menyahutinya saja dengan balas berteriak.
"Ya, Ma?"
Ketukan berubah jadi gedoran yang lumayan keras. "Kamu bukain kenapa pintunya, Rum! Nggak sopan banget jadi anak!" teriak dari luar terdengar kesal.
Rumi mengela napas pelan sebelum akhirnya bangkit dari tidurnya. Terpaksa. Setelah kejadian tadi, dia seolah kehilangan semangatnya.
Rumi berjalan dengan langkah lesu. Wajahnya pun terlihat pucat tidak berseri seperti biasanya. Pintu terbuka, Mama Elia berdiri bersedekap di depan pintu. Rumi memaksakan diri tersenyum pada Mamanya.
"Ada apa, Ma?" tanya Rumi dengan suaranya yang terdengar serak tak bersemangat.
Rumi merasa risi ditatap penuh seledik oleh Mamanya. "Apaan sih, Ma. Ada yang salah sama wajah aku?" Rumi mencebik sebal berusaha menyembunyikan kehampaan di dadanya.
"Kamu habis mandi? Rambut kamu basah, idung kamu juga merah. Kayak habis nangis," ujar Mama Elia masih memicing.
Rumi gelagapan salah tingkah karena ketahuan habis menangis. Memang sih, saat bersama Janira, Rumi berusaha bersikap kuat. Meski hatinya merintih tidak ingin terjadinya perpisahan itu.
"Kamu habis nangis, ya?" Mama Elia mendesak masih menatap Rumi penuh curiga. Sesaat kemudian helaan napas terdengar. "Masa cowok badan gede keker gitu bisa nangis, sih!" celetuk Mama Elia membuat Rumi tersenyum, ah lebih tepatnya meringis.
Dia juga punya hati, punya perasaan. Bukan robot. Badan keker juga tetap saja punya air mata yang siap diluncurkan kapan saja di saat-saat tertentu. Mamanya ini senang sekali melihat anaknya nelangsa.
"Ada apa, Ma?" Rumi kembali bertanya mengabaikan celutakan menyakitkan dari Mamanya itu.
Mama Elia mengembuskan napas pelan kembali dengan ekspresi wajah sebelumnya. "Mama kan sudah bilang malam ini, Mama mau bawa kamu sama calon pilihan Mama. Masa lupa sih."
Rumi diam, dia sebenarnya enggan menikah dengan wanita lain selain Janira, tapi mengingat Mamanya yang ngebet ingin punya cucu, jadilah Rumi memilih mengiyakan. Toh bersama Janira juga sangat tidak mungkin. "Aku nggak lupa, Ma. Cuman memang rada nggak enak badan sih. Mama bisa pergi dulu sama Papa? Nanti untuk pertemuan keduanya aku ikut." Rumi memilih menolak pertemuan, bukan menolak perjodohan. Rasanya sangat tidak etis kalau dirinya menemui calon pasangannya dengan perasaan yang masih penuh dengan mantan calon istrinya.
Mantan calon istri.
Mengingat itu, rasanya ingin sekali Rumi meminjam kantung ajaib doraemon untuk mengeluarkan pintu mesin waktu yang bisa kembali ke masalalu. Kalau bisa, dia tidak akan berkhianat pada Janira.
"Yakin kamu nggak mau ikut?"
Rumi menggeleng lesu. "Yakin, Ma."
"Bagaimana kalau ceweknya itu nggak sesuai selera kamu? Kamu bisa menolak setelah pertemuan pertama."
Rumi tersenyum tipis. "Nggak, Ma. Pilihan Mama selalu yang terbaik buat aku." Dan karena hanya ketololannya dirinya kehilangan yang terbaik itu.
Mama Elia tersenyum lembut. "Mama harap, kamu bisa move on dari masalalu kamu sama Janira. Jangan terlalu hanyut, Mama juga nggak suka lihat kamu murung setiap waktunya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Terpilih 2 (Tamat)
Historia CortaRumi harus merasakan sesak dalam dadanya karena hati yang memilihnya pergi menyerah. Semua memang karena ulahnya. Kebodohannya. Dia tidak memungkiri itu. Dan sudah saatnya sekarang dirinya yang berjuang mengejar hati yang menyerah itu. Rumi harus m...