Sepuluh

7.5K 816 37
                                    

Hari silih berganti, tak sedikitpun menunjukan adanya kemajuan dalam usaha Rumi. Rumi berusaha dengan segala cara agar bisa menarik simpatik Janira. Dan satu kenyataan yang sudah Rumi rasakan. Diabaikan. Rumi merasakan hal itu, rasanya sangat sakit diabaikan oleh orang yang dia cintai. Janira semakin jauh, sulit ia raih. Saingannya sudah pergi, tapi tetap saja Janira tak bisa ia dapatkan.

Kejadian penculikan Raia pun tidak mendekatkan Janira padanya. Janira memang selalu tersenyum, tertawa, tapi itu hanya dengan orang lain. Bukan dengan dirinya.

Rumi sekarang tengah duduk termenung di jendela kamarnya yang langsung mengarah ke arah jendela kamar Janira.

Tok tok tok

"Abang! Buka jendelanya!"

Dahi Rumi mengerut mendengar ketukan dari jendelanya. Dengan segera ia meninggalkan pekerjaannya, berjalan menuju jendelanya.

Tirai jendela tersibak terlihat jelas Janira berdiri memegang kue tart dengan lilin berangka 34.
Senyuman Janira terlihat mengembang dan begitu tulus.

"Happy birthday, Abang." Janira memekik senang menatap penuh binaran cinta pada Rumi.

Rumi membuka jendelanya tersenyum hangat pada Janira. "Ini udah jam dua belas malam, Nira. Nggak baik anak gadis keluar tengah malam kayak gini," omel Rumi sembari berdecak mengambil alih kue yang ada di tangan Janira. Rumi menyimpan kue itu di meja kerjanya, kemudian kembali ke arah Janira menarik tangan Janira untuk masuk menaiki jendela.

"Aku cuman mau kasih suprise buat Abang," balas Janira memberenggut sebal. "Sebagai calon istri yang baik, aku sangat hapal dan ingat ulang tahun Abang," katanya lagi dengan wajah sebal.

Rumi mengacak rambut Janira gemas. "Ohoho ... Makasih banget gadisku ..."

Janira berdecak mengentakan kakinya kesal. "Abang nggak pernah menghargai usaha aku!"

"Abang hargai kok," sanggah Rumi memasang wajah serius.

Janira menggeleng. "Abang selalu anggap aku gadis kecil, sementara aku selalu menganggap calon suamiku. Apa aku selalu jadi gadis kecil, Abang?" raut wajah Janira mendadak muram. Janira menatap sendu Rumi.

"Aku cinta sama Abang."

Rumi terkesiap mendengar ketukan dari pintu kamarnya. Dengan langkah malas Rumi berjalan membuka pintu kamarnya.

Pintu terbuka, Rumi memasang wajah cueknya di hadapan Mamanya. "Kenapa, Ma?" tanya Rumi bersandar di daun pintu.

"Kamu keluar gih, cari pasangan. Masa mau jadi bujang lapuk terus." Mama Elia menatap kasihan pada Rumi.

Rumi mengedik. "Mama ke sini cuman buat nyuruh aku cari jodoh?" Rumi menatap malas Mamanya, meski sebenarnya hatinya mencelus perih. "Mama carikan saja jodoh buat Rumi. Rumi bakal setuju-setuju aja asal pilihan Mama. Rumi udah putus asa. Kalau bisa, Rumi mending jadi bujang lapuk aja sekalian," lanjutnya dengan nada datar.

Rumi tidak mau menyerah, tapi melihat bagaimana respon Janira padanya membuatnya memilih pasrah menyerah akan hukuman atas apa yang telah ia perbuat dulu.

"Kalau gitu siap-siap. Malam sekarang kita pinang wanita pilihan Mama. Jangan sia-siakan lagi nanti." Mama Elia menatap Rumi penuh peringatan.

Rumi hanya mengangguk pasrah. "Cukup sekali aku berlaku culas, Ma. Untuk selanjutnya, Aku nggak bakalan melakukan itu lagi."

Mama Elia menatap sedih putranya, mengusap wajah Rumi sekilas sebelum berlalu dari sana.

Rumi mengela napas panjang. Menatap nanar punggung Mamanya. Bagaimana lagi cara untuk menarik hati Janira kembali? Rumi tidak memungkiri, jika cintanya pada Janira sangatlah berat.

Hati Terpilih 2 (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang