Sampai di depan gerbang rumah Janira, mereka keluar terlebih dahulu mengeluarkan koper mereka dari bagasi. Aku memperhatikan mereka dari kaca spion. Perlahan aku mengela napas lelah. Berharap ada adegan manis yang kami lakukan saat awal pertemuan dengannya setelah sekian lama tidak berjumpa. Sejenak aku memejamkan mata bergelut dengan akal dan hatiku. Memerebutkan tentang hati Janira.
Ketukan di kaca jendela mobil terdengar. Aku segera membuka mataku, kemudian menurunkan kaca jendela. "Abang nggak turun?" Janira mengintip dari balik kaca. Aku menatap lekat wajahnya. Debaran dalam dadaku memberontak menginginkan aku segera membawa Janira dalam dekapanku. "Abang?" Janira melambaikan tangannya di depan wajahku membuatku terkesiap.
"Hah?"
Bibir seksi Janira terangkat membentuk sebuah senyuman. Senyuman yang sudah lama tidak aku lihat dan aku terpana mengagumi senyuman indah itu. "Bisa kita bicara dulu, Nira?" Tanyaku melenceng mengabaikan pertanyaan Janira yang tidak penting bagiku.
"Nir, Ayo! Capek banget nih," seruan Pria itu membuatku kesal setengah mati.
Janira menoleh ke arahnya bukan tetap bertahan menatapku. "Oke! Duluan gih masuk. Aku mau bicara dulu sama Bang Rumi." Janira membalas seruan Pria itu.
Tetiba senyum cerah terbit dari bibirku. Apakah aku masih menjadi prioritasnya? Ah, hatiku berbunga-bunga bukan main.
Janira kembali menatapku. "Abang mau bicara apa?"
Aku berdeham sebelum memintanya untuk menyingkir sebentar. Aku keluar dari mobil berdiri tepat di depannya. "Cowok itu, dia bukan siapa-siapa kamu, kan?" Tanyaku ragu menatap Janira.
Sebelah alis Janira terangkat menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. "Untuk sekarng memang bukan siapa-siapa. Tapi aku nggak tahu kedepannya. Siapa tahu jodoh yang tertunda, kan?" Jawab Janira membuatku tidak sadar meringis pelan.
"Kamu ..." Aku menatap Janira gusar. "Nira. Kamu ... Udah lupain Abang?" Entah mengapa tiba-tiba debaran cepat tadi berubah jadi debaran menyakitkan menghantarkan linu bukan main.
Janira tampak sedang berpikir. "Melupakan Abang? Masa iya aku lupain Abang. Kalau lupa, mana bisa aku ingat Abang. Ish Abang ada-ada saja," gerutu Janira sembari mencebik.
Aku rasanya ingin menangis sambil berteriak. Bukan begitu maksudku! Aku melangkah mendekati Janira, mengikis jarak antara kami. Perlahan aku merunduk menatap mata indah Janira. "Nira ... Abang serius," bisikku di depan wajahnya.
Janira mendongak membalas tatapanku. "Aku juga serius, Abang. Bukannya yang Abang tanyain itu, aku melupakan Abang atau enggak? Jelas saja aku nggak melupakan Abang. Kepala aku sehat, aku nggak pernah kebentur apa pun atau cedera kepala. Sehat jasmani rohani, Bang," omel Janira yang membuatku tersenyum lebar.
Memberanikan diri, aku mencuri kecupan di pipi Janira. "Abang rindu sama kamu, Nir." Aku kembali berbisik dan aku merasa kalau Janira tengah menatapku tidak percaya.
Janira menggeleng. "Abang, jangan suka phpin anak orang. Nggak baik, Bang. Kalau Abang memang nggak cinta sama aku, aku nggak masalah kok. Jangan merasa bersalah. Aku sudah maafin perbuatan Abang di masa lalu," ujar Janira membuatku tercengang. Mengapa jadi begini? Niat hati ingin menyatakan rindu, eh malah berbalas dengan ceramahan.
"Nir, Abang serius. Kamu kok malah begitu sama Abang," keluhku frustrasi.
Janira tertawa yang aku dengan sumbang. "Akting Abang bagus. Abang latihan itu sejak kapan?" Janira kembali tertawa menepuk-nepuk bahuku.
Aku menggeram rendah menahana tangan Janira, membawanya ke arah bibirku untuk aku kecup. "Abang serius," kataku setelah mengecup punggung tangan Janira.
Janira tiba-tiba bergeming menatapku tak terbaca. Sepertinya aku harus kursus jadi cenayang agar bisa mengetahui isi pikiran Janira.
Tanpa diduga, Janira malah menguap lebar membuatku menganga tak habis pikir. "Aduh, Bang. Udah malem banget pasti ini, ya? Duh ngantuk banget."
Hah? Apa katanya?
"Nira ..." Janira menarik tangannya dari genggamanku. Dia tersenyum manis ke arahku.
Aku berusaha menggapai jemarinya lagi, tapi gagal karena Janira buru-buru mengelak."Abang bilang rindu, apa Abang udah tahu definisi rindu itu bagaimana?" Janira menatapku serius. Aku hendak membuka suara. Namun urung saat Janira kembali berbicara. "Kalau Abang belum tahu atau belum mengerti tentang rindu, jangan katakan itu. Aku nggak mau jatuh untuk kedua kalinya. Jatuh satu kali saja udah buat aku kesakitan luar biasa. Aku harus bangun tertatih, memulihkan hati nggak semudah memulihkan bekas luka tergores kaca. Abang tahu, semua butuh proses, Bang. Aku nggak mau sampai semuanya jadi sia-sia." Ucapan Janira menyiratkan luka yang masih tersisa. Senyum ceria tadi berubah menjadi senyum pedih. Perkataan Janira melemparku kembali pada kenyataan, jika kesempatan sangat sempit aku dapatkan.
Janira kembali tersenyum. Dia mengusap bahuku pelan. "Aku bahkan sangsi, kalau dalam hati Abang nggak pernah ada aku sedikit pun." Setelah mengatakan itu, Janira berlalu dari hadapanku menggeret koper besar hitamnya.
Aku bergeming menyentuh dadaku. Aku tersenyum miris. Bahkan Janira tidak percaya bahwa kini seluruh hatiku terpenuhi olehnya saja. Dan aku pikir, definisi rindu itu adalah, rasa akan mati saat berjauhan dengan orang yang dicintai. Rasa dahaga berat saat tak mendapati melihat wajah sang cinta. Ah, mungkin aku terlalu tolol dan tidak layak untuk mengatakan itu. Janira tidak akan pernah percaya sepertinya dengan apa yang aku katakan. Apa itu artinya Janira sudah benar-benar melepas hatinya yang memilihku?
Oke Rumi, selamat menikmati siksaanmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Terpilih 2 (Tamat)
Short StoryRumi harus merasakan sesak dalam dadanya karena hati yang memilihnya pergi menyerah. Semua memang karena ulahnya. Kebodohannya. Dia tidak memungkiri itu. Dan sudah saatnya sekarang dirinya yang berjuang mengejar hati yang menyerah itu. Rumi harus m...