Enam

6.9K 721 41
                                    

Sudah tersedia versi eBooknya, ya...

Di pagi hari, Rumi sudah duduk di kursi ruang makan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di pagi hari, Rumi sudah duduk di kursi ruang makan. Dia menyantap sarapan dengan raut wajah yang sangat datar. Aura dingin menguar dari dalam diri Rumi. Memakan sarapan dengan perasaan sakit bukanlah hal yang baik. Mood Rumi benar-benar buruk hari ini.

"Mama tadi sudah ketemu, Nira. Tapi kok ada cowoknya ya, Mi? Apa mungkin pacarnya Nira di Inggris?" Mama Elia membuka suara memecah keheningan. Rumi bergeming, ia memilih fokus pada sarapannya mengabaikan ocehan Mamanya.
"Rumi ih! Mama ngomong sama kamu juga," gerutu Mama Elia mencebik.

Rumi mengembuskan napas berat. "Aku nggak tahu, Ma. Mama tanya sendiri sama Nira saja," sahut Rumi dengan nada datar.

Mama Elia mencebik. "Aih dasar! Sensi banget. Mama cuman nanya juga, kalau tahu ya jawab. Nggak tahu juga yang tetap dijawab juga."

Rumi menyimpan alat makannya. Sejenak Rumi memejamkan matanya. "Aku nggak tahu, Ma. Udah cukup jawabannya?" Rumi bertanya sedikit menggeram.

Mama Elia mengedik. "Mama tahu. Kamu pasti cemburu, kan? Sudahlah ikhlasin saja. Mama lihat juga nggak mungkin banget Janira masih mau sama kamu."

Seketika Rumi membatu. Dalam batinnya menggerutu. Lah kok punya Ibu nggak ada kasihan-kasihannya. Begitu kata batinnya.

"Memang Nira sudah pulang, Mi?" Papa Razi ikut duduk di sana.

Rumi mengangguk pelan sebelum menyesap kopi hitam pahitnya. "Sudah. Semalem aku yang jemput di Bandara, Pa," jawab Rumi dengan santai.

"Nira bawa cowok loh, Pa. Mama udah lihat. Lumayan gantenglah ... Hampir sama kayak bujang lapuk depan Mama ini." Mama Elia menyindir Rumi.

Memang siapa yang mau jadi bujang lapuk?!

Rumi berusaha menelan kopinya agar tidak tersedak. Rumi menatap Mamanya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. "Mama nyindir Rumi terus, secara tidak langsung Mama pengen Rumi putus asa. Iya, kan?" Rumi menuduh Mamanya dengan raut wajah teraniaya.

Tanpa berdosa sama sekali Mama Elia menunjuka dirinya. "Apa? Mama memang bilang begitu? Salah siapa dulu yang sok-sokan selingkuh berniat cari yang lebih baik. Bukannya dapet permata, eh malah batu koral. Kan jadinya begitu. Jadi bujang lapuk nggak nikah-nikah."

Rumi mendesah kasar. Dia melirik Misha yang hanya tersenyum simpul. Suara bel berbunyi. Misha segera berdiri menahan Mama Elia.

"Mama seneng banget ngungkit dosa anaknya," cibir Rumi menatap Mamanya pasrah. Rasanya saat ini Rumi ingin menonjok seseorang karena posisinya yang terpojok seperti itu. Rumi beranjak dari duduknya. Dia melangkah meninggalkan ruang makan.

Berhenti di pintu utama, mata Rumi memicing. Raut wajah Rumi semakin datar saat melihat siapa yang berdiri di hadapan Misha. Tergesa Rumi menghampiri mereka, tanpa aba-aba, Rumi langsung melewati Misha menghajar pria yang berdiri di depan Misha.
Rumi menghajar pria itu sekuat tenaga. Dia benci mendapati kenyataan jika ada Pria yang lebih bajingan darinya.

Semua penduduk di sana berdatangan karena kegaduhan yang tercipta. Rumi memaki berteriak di hadapan wajah Pria itu. Pucuk dicinta wulanpun tiba. Niat hati ingin meninju samsak di arena olahraganya dan dia malah didatangi Pria yang sudah merusak adiknya. Jadilah dia kalap.

"Rumi!" Papa Razi menahan pergelangan tangan Rumi yang hendak melayang menonjok pipi Pria yang sudah terkapar tak berdaya itu.

Rumi menghempaskan pria itu menjauh darinya. Rumi mendengus segera berbalik tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Pikirannya berkecamuk, apa mungkin kalau Janira menghajarnya habis-habisan, Janira akan memaafkannya?

Rumi mendesah kasar. Bukannya lega, pikirannya jadi melayang menukar posisi jika dirinya yang berada di posisi Pria itu. Tidak bisa dipungkiri, jika dirinya sama bajingannya seperti Pria itu. Hanya saja, dia bukan melukai fisik Janira. Melainkan hati Janira. Rumi mengacak rambutnya frustrasi. Berbelok menuju ruang olahraga.

Pintu terbuka, ruangan yang lumayan luas berisi peralatan olahraga. Disetiap dinding terdapat cermin. Terdapat beberapa rak tempat handuk-handuk kecil dan juga beberapa keperluan olahraga lainnya. Rumi tidak lagi menggunakan pengaman. Dia langsung berjalan cepat menuju samsak berukuran besar yang menggantung di ujung ruangan. Rumi langsung menghajar samsak itu habis-habisan.

"Aku mencintaimu Janira!" Rumi melayangkan tinjuannya begitu keras.

Bugh!

"Sangat mencintaimu!" Rumi menendang samsaknya dengan kaki kanannya.

Bugh

"Aku menyesal! Sangat menyesal!"  Rumi terus meninju samsak tanpa jeda. Rumi menggila karena dadanya yang terus berdebar menyakitkan.

Bugh

Brak

Samsak terlepas saat pukulan terakhir Rumi. Rumi benar-benar berang dengan ketololannya. Sudah begini, dia bisa apa? Apa dia harus bersikap tidak tahu malu dengan terus mengejar Janira? Atau dia berhenti memilih menjadi seorang diri sampai akhir hayatnya?

Keringat mengucur deras dari kening turun ke pelipis Rumi. Hawa panas menyeruak melingkupi tubuh Rumi. Namun tetap saja mengalahkan hawa panas dalam dadanya.

"Sialan!" Rumi beralih meninju kaca besar yang ada di ruangan itu. Suara pecahan kaca terdengar nyaring. Kemudian disusul pintu ruangan terbuka.

"Abang gila!" Seruan itu sontak membuat Rumi langsung menoleh. Wajah yang selalu bersemayam di dalam pikiran Rumi itu menunjukan kecemasan yang membuat Rumi tersenyum tipis. Perih di tangannya tidak lagi dirasa. Berganti rasa senang melihat sang pujaan mengkhawatirkannya.

Janira masih mengenakan baju tidurnya melangkah panik ke arah Rumi. Janira berhenti tepat di depan Rumi. Meraih jemari Rumi yang mengeluarkan darah begitu derasnya. "Abang masih suka ngerusak barang ternyata," gerutu Janira meniup tangan Rumi. Rumi masih bergeming menatap lekat Janira. "Mau marah boleh, tapi jangan ngelampiasin sama barang yang nggak bersalah. Abang aneh!"

Janira membawa lap handuk yang tersedia di sana. Dia mengusap luka Rumi menggunakan handuk itu. Janira merigis melihat luka Rumi. "Mau bilang untung kacanya baik-baik saja, tapi kenyataannya pecah nggak bersisa. Kasihan kacanya." Janira berceloteh masih membersihkan luka di tangan Rumi.

"Abang cinta sama kamu, Nir." Ucapan itu tiba-tiba lolos dari bibir Rumi. Janira bergeming beberapa saat. Kemudian membersihkan luka Rumi lagi mengabaikan ucapan Rumi. "Kamu nggak percaya lagi sama Abang?" Rumi masih berusaha.

Janira berdecak menatap Rumi sebal. "Aku tahu luka ini pasti sakit banget. Tapi nggak usah jugalah bilang-bilang cinta. Aku nggak mau baper, Bang. Cukup sekali terlena, jangan lagi."

Jawaban Janira membuat Rumi meringis. "Kamu nggak percaya? Atau kamu sudah nggak cinta lagi sama Abang?"

Janira benar-benar berhenti membersihkan luka Rumi. Menatap Rumi lekat. "Sekarang gini. Aku tanya sama Abang, kalau aku ketahuan selingkuh sama Abang. Apa Abang akan tetap percaya sama aku?" Janira balik bertanya menatap Rumi serius.

Rumi terpekur beberapa saat. "Abang bakalan tetep percaya sama kamu." Jawaban Rumi membuat Janira tersenyum miring sembari geleng-geleng kepala. Dalam batinnya Rumi bertanya, apakah dia salah menjawab? Apa jawabannya kurang tepat? "Apa Abang salah jawab?" Tanya Rumi polos.

Janira membuang pandangannya menghindari tatapan Rumi. "Abang nggak salah jawab. Cuman akunya saja yang bodoh." Janira meletakan handuk itu di tangan Rumi. Dia segera berbalik melangkah meninggalkan Rumi yang termangu tak mengerti.

Hati Terpilih 2 (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang