Aku menatap heran pada Mbak Ayu yang semenjak aku pulang sangat irit bicara. Bang Faiz pun sepertinya terlihat sangat cuek pada Mbak Ayu tidak seperti dulu. Ada apa, ya? Mereka terlihat seperti sedang menjaga jarak. Saat aku tanya, mereka selalu menghindar. Apa yang aku lewatkan selama ini?
Perlahan tapi pasti, aku berjalan pelan mendekati Mbak Ayu yang duduk di ayunan taman belakang sendirian. Melamun.
Sampai di belakang Mbak Ayu, aku menyentuh bahunya pelan, dan aku bisa merasakan keterkejutan Mbak Ayu saat aku menyentuh bahunya. Mbak Ayu menoleh dan aku tersenyum tipis ke arahnya. Aku berjalan ke arah samping ikut menaiki ayunan, duduk berhadapan dengan Mbak Ayu."Aku perhatikan, Mbak banyak melamun. Ada masalah, Mbak?" Aku menatap wajah Mbak Ayu yang terlihat pucat tak bersemangat.
Mbak Ayu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan. Tanda jika dirinya baik-baik saja, tapi sayangnya, aku melihat jelas tatapan bersalah dan putus asa bercampur jadi satu.
Mataku memicing menatap penuh selidik pada Mbak Ayu. "Apa Mbak lagi mengidam lagi?" tanyaku hati-hati. Lagi, aku melihat Mbak Ayu menggeleng.
Aku mendesah pelan. "Cerita dong, Mbak. Sudah dua minggu aku pulang, tapi Mbak nggak ceritakan apapun sama aku. Mbak lagi bertengkar sama Bang Faiz?" tanyaku lagi berharap Mbak Ayu mau bercerita. Entah kenapa, aku merasa jika diamnya mereka itu ada sangkut pautnya dengan diriku.
Betapa terkejutnya aku saat melihat mata Mbak Ayu tiba-tiba berkaca-kaca menatapku penuh bersalah. "Semuanya gara-gara aku, Nir ...," isaknya sukses membuatku merinding.
Aku mengusap tengkukku pelan. Hawa dingin menyergap. Kesurupan? Ah tidak ... "Maksud Mbak bagaimana? Aku nggak ngerti. Gara-gara Mbak gimana?"
Mbak Ayu menatapku begitu dalam. Ah, aku benar ternyata. Semuanya memang ada sangkut pautnya dengan aku. Jemariku bergerak merangkum jemari Mbak Ayu. "Mbak boleh cerita," ucapku lembut.
Ada apa? Apa yang aku lewatkan selama tiga tahun ini?
"Arvino ..."
Pupil mataku mengecil, tiba-tiba tenggorokanku terasa kering. Aku menelan ludahku susah payah. "Ma---maksud Mbak apa? Arvino? Ada apa dengan Arvino?"
Isakan terdengar, bulu kuduku meremang. Kok mendadak seram? "Mbak?"
"Arvino mantan kekasih aku, Nira ..."
Genggaman tanganku terlepas. Mataku membulat tak menyangka, detak jantungku juga seperti dipaksa untuk berhenti. Aku menatapnya tanpa ekspresi, menunggunya melanjutkan ucapannya.
Mbak Ayu menatapku memohon. "Arvino mantan kekasihku jauh sebelum aku menjalin hubungan dengan Faiz. Masalah Rumi ... Aku juga yang memaksa Amira untuk mendekati Rumi. Aku sengaja melakukan itu, atas permintaan Arvino."
Aku merasa sesak setelah mendengar penjelasan Mbak Ayu. Aku tidak menyangka jika ...
"Faiz tahu semuanya, dan dia marah sama aku," lanjutnya lagi mengabaikan keterkejutanku.
"Tunggu, Mbak." Aku mengibaskan tanganku memintanya berhenti berbicara. "Apa maksud Mbak memaksa Mbak Amira buat mendekati Bang Rumi?" Aku benar gagal paham tentang ini. Aku ingat betul masalah Arvino adalah dibully dan tidak terima ingin balas dendam. Lalu, mengapa Mbak Ayu menarik Amira untuk masuk dalam hubunganku dan Bang Rumi?
Aku lihat Mbak Ayu semakin menunduk menyembunyikan wajahnya.
"Mbak, pasti Mbak sudah tahu kalau Bang Rumi sudah bertunangan denganku. Tapi kenapa Mbak malah masukin Amira?" Ulangku bertanya gemas karena Mbak Ayu tak kunjung menjawab.
Mbak Ayu mendongak dengan air matanya yang berlinang. "Aku mendekati Faiz untuk memermainkan Faiz. Amir juga sama. Kita sama-sama kekurangan dan tawaran dari Arvino dan kebaikan Faiz dan Rumi, jadilah kami kenyamanan," jelasnya terisak.
Aku memijat keningku yang terasa pening. Jadi, memang benar, Ayu dan Amira bersahabat. Mereka juga bonek Arvino, aku pikir hanya Amira yang jadi boneka Arvino, tapi Ayu juga sama. Bahkan, Ayu mantan kekasihnya. Astaga ... Kepalaku!
"Jadi?"
Mbak Ayu menggeleng. "Faiz marah besar. Dia menghajar Arvino habis-habisan. Faiz marah karena yang hancur bukan dirinya atau Rumi, tapi yang hancur dari permainan kami adalah kamu."
Aku bergeming. Sebenarnya aku sudah tidak mau membahas masalalu. Bagiku sudah cukup semuanya, aku pikir memang aku tidak pantas bersanding dengan Bang Rumi. Meski hati masih tetap mencintainya, tapi bukan berarti aku harus mengemis-ngemis seperti dulu.
Aku tersenyum kecut merasa terjebak dalam situasi yang selalu aku hindari selama ini.
"Aku sudah lupain semuanya, Mbak. Aku sudah nggak mau ngungkit masalalu lagi," pungkasku enggan berkepanjangan.
Mbak Ayu menggeleng meraih jemariku menggenggamnya erat. "Aku minta maaf, Nira. Aku ... Aku nggak tahu bagaimana cara menebus semua kesalahan kami, tapi, aku benar-benar sudah terlepas dari Arvino sejak lama."
Aku tersenyum paksa. "Aku sudah bilang, semuanya sudah terjadi. Aku nggak mengenal Arvino sebelumnya, aku juga nggak mengenal Mbak, dan juga Amira. Tapi setelah mengenal Mbak, aku jadi mengenal semuanya," kataku tersenyum getir. "Seandainya saja ada satu kebaikan dari nurani Mbak, mungkin Mbak nggak akan tega membiarkan aku terluka sekian lamanya. Kita sama-sama perempuan, Mbak. Alangkah sangat menyakitkannya bila orang yang sudah kita anggap saudara sendiri malah berbalik memberi tikungan yang begitu tajam." Ya. Aku sangat menyayangkan tindakan Mbak Ayu dan Amira, karena kita sama-sama Perempuan.
Aku melepaskan genggaman jemari Mbak Ayu. "Kalau saja Mbak memberitahu aku lebih awal, aku akan dengan sukarela melapas Bang Rumi buat sahabat Mbak," ujarku bergetar.
Mbak Ayu menatapku sedih. "Aku kira, Mbak beneran tulus membantu aku meraih cinta Bang Rumi, tapi ternyata itu semua Mbak lakuin cuman buat nutupin rasa bersalah Mbak karena sudah menjadi perusak hubunganku."
Mataku tiba-tiba memanas, aku tetap tersenyum pada Mbak Ayu. Aku bergerak turun dari ayunan. "Sekarang aku nggak bisa menyalahkan siapapun di sini, karena semua sudah terlanjur. Aku masuk dulu, Mbak."
Aku melangkah pelan meresapi sakit yang kembali bergelayut di dadaku. Iya, karena pada kenyataannya bukan mereka yang hancur, tapi aku. Satu-satunya orang yang tidak tahu biduk masalahnya apa dan malah menerima getahnya.
Terimakasih hati, telah membawaku pada jurang kesakitan yang tak berujung karena terus menjerit memilih sosoknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Terpilih 2 (Tamat)
Short StoryRumi harus merasakan sesak dalam dadanya karena hati yang memilihnya pergi menyerah. Semua memang karena ulahnya. Kebodohannya. Dia tidak memungkiri itu. Dan sudah saatnya sekarang dirinya yang berjuang mengejar hati yang menyerah itu. Rumi harus m...