Tujuh

7K 697 34
                                    

Suasana hati Rumi masih sangat buruk. Berdampak pada karyawan yang bekerja di sekitarnya. Rumi sangat dingin, bahkan tegurannya membuat orang yang mendengarnya merinding. Rumi baru tahu jika rasa penolakan itu sangat menyakitkan. Cintanya ada, tapi tak dianggap. Sudah dua hari berlalu, tetap saja pertanyaan Janira berkeliaran di kepalanya.

"Kalau aku ketahuan selingkuh sama Abang. Apa Abang akan tetep percaya sama aku?"

Apa Abang akan tetap percaya sama aku?

Akan tetap percaya ....

Sialan! Seketika Rumi mengumpat. Dia benar-benar bodoh! Tentu saja Janira tidak akan percaya dengan apa yang dirinya katakan setelah menyakiti dan mengkhiantinya. Seribu kali sial! Rumi mendesah kasar mengacak rambutnya frustrasi. Bagaimana bisa dirinya begitu mudahnya mengatakan semuanya setelah apa yang ia lakukan pada Janira.

Hebat! Kau benar-benar tolol Rumi.

Mata Rumi melirik pada figura yang disimpan di meja kerjanya. Rumi menatap potret itu lekat, meringis karena telah menyia-nyiakan momen indah itu. Di dalam potret itu, tampak Janira yang tengah tersenyum cerah sambil menunjukan jari manis tangan kirinya. Rambutnya yang disanggul rapih mengenakan kebaya berwarna silver, bersampingan dengannya yang memakai kemeja batik berwarna senada. Sungguh menyesakan dada. Potret itu dulunya sering Janira gunakan sebagai wallpaper dan juga dipajang besar di dalam kamarnya. Sekarang, apakah Janira masih memakai potret itu? Atau setidaknya masih menyimpan potret itu? Hati Rumi mendadak lemas, lemas karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Janira mengabaikannya.

Ponsel berdering, Rumi mengambil ponsel yang berada di saku jasnya. Rumi melihat siapa penelepon dan seketika wajahnya berubah cerah. Dengan sigap, Rumi menjawab teleponnya.

"Abang sudah berangkat?" Suara dari sebrang membuat senyum Rumi mengembang.

Rumi berdeham sebelum menjawab. "Sudah. Dari pagi, kenapa? Kamu mau Abang anterin?" Rumi mulai memperbaiki sinyal kepekaan dalam dirinya. Takut-takut nanti Janira melempar kode dan dirinya gagal paham nantinya.

"Enggak. Lagian kan aku masih pengangguran, Bang. Pantas saja Mama minta aku buat anterin sarapan ke kantor Abang."

Senyuman semakin mengembang. Mama memang paling tahu apa keinginan hatinya. "Ah, iya. Abang lupa sarapan. Kalau kamu nggak repot sih itu juga. Jam masuk juga masih satu jam lagi." Rumi menahan debaran bahagia yang tiba-tiba datang. Benar, ya. Kalau jodoh itu tidak akan kemana. Begitu kata batinnya.

"Tiga puluh menit lagi, aku sampai. Kayaknya dianter Revan juga sih pakek motor."

Seketika senyum Rumi luruh. Rumi memasang raut sedih, dulu Arvino, sekarang Revan. Banyak sekali saingannya itu. "Nggak bisa anter sendiri?" Rumi memulai negosiasi modus.

"Naik taksi lama. Ah! Aku minta Mama titip ke Bang Faiz saja kali, ya. Kan kantor kalian deket."

Rumi merasa dirinya dilambungkan ke awang-awang, lalu dihempaskan begitu saja. Meninggalkan kedutan sakit dalam bokongnya. Ah bukan, meninggalkan sakit dalam dadanya. Tidak sadar, Rumi menggeleng pelan. "Terus kalau mau dititip ke Faiz, mengapa kamu telepon Abang?" Terdengar nada kecewa dari ucapan Rumi. Yaiya kecewa. Gagal berduaan dengan sang pujaan. Ah lebih tepatnya, gagal mencari jalur modus agar bisa menarik hati sang pujaan kembali.

Terdengar helaan napas dari sebrang. "Aku tadinya mau mastiin kalau Abang nggak lagi nganu. Soalnya, berkali-kali lihat adegan yang nggak semestinya itu lumayan bikin muak, Bang."

Pikiran Rumi langsung berlari ke arah masalalu. Dimana dirinya terpergok dua kali, tapi tidak tahu juga berapa kali pastinya. Rumi berasa ditusuk sembilu. Janira senang sekali menarik masalalu. Jerit batinnya malu. Rumi mendesah gusar. "Abang rasa-rasa, kok kamu seneng banget mengungkit masalalu, Nir? Itu kan dulu, lain sekarang, Nir." Rumi berusaha memberi kode pada Janira.

Dari sebrang tertawa sumbang. "Iya, maaf. Jadi, biar Bang Faiz saja yang antar, ya---"

"Abang pengen sarapan bareng sama kamu, Nir," sela Rumi harap-harap cemas. Hening. Tidak ada sahutan atau apapun itu. "Nira? Kamu masih di sana, kan?"

"Ah, iya, Abang. Aku masih di sini. Barusan Revan ngajak bicara. Ya sudah, Bang Faiz pasti ke sana. Kasihan juga, kan, kalau Mama mesti anterin ke sana."

"Kamu nggak denger Abang barusan ngomong apa?"

"Minta jangan ungkit masalalu, kan? Udah ya, Bang. Aku harus keluar dulu bentar." Dan dengan seenaknya Janira memutus sambungan. Rumi menatap ponselnya merana. Ternyata dikacangin juga tidak kalah pedih. Batin Rumi meringis.

Memang ya, segala perbuatan yang dilakukan pasti akan mendapatkan balasan. Dulu, dirinya sering mengabaikan permintaan Janira. Dan sekarang, Janira sama sekali tidak mendengarnya. Rasanya ingin menangis, tapi malu dengan badan kekarnya. Rumi menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangannya. Nasib ... Nasib.

***

Faiz tiba di ruangan Rumi. Sebelum duduk di sofa yang ada di ruangan. "Modus lo basi banget, coeg!" Faiz berdecak menatap remeh pada Rumi.

Rumi yang sedang melamun menatap Faiz dengan tatapan datar. "Apa masalah lo? Seenggaknya gue berusaha. Masalah hasil enggaknya, ya balik lagi sama rezeki gue," sahut Rumi dengan nada santai.

"Udah dibilang adik gue kagak bakalan mau sama lo. Idih elo masih kukuh. Brokenheart baru nyaho lo," tukas Faiz dengan nada mengejeknya.

Rumi mengembuskan napas berat. "Gue memang sudah patah hati, Iz. Gue kok ngerasa, apa yang dulu gue lakuin ke Janira berasa nimpa ke gue, ya?" Raut wajah Rumi berubah heran.

Faiz mengesik. "Mungkin itu doa atas kesakitan hatinya Janira dulu. Untung saja adik gue nggak julid, nggak minta lo impoten."

"Eh kampret satu ini ...," geram Rumi menatap kesal sahabatnya, sekaligus calon kakak iparnya itu.

Faiz tertawa terbahak-bahak. "Ya memang bener, kan? Lo kebanyakan mengabaikan Janira sih. Jadinya begitu. Padahal adik gue mulus, masih segelan juga. Nyesel lo, ya ..." Faiz semakin gencar mengejek Rumi.

Rumi mendengkus. "Lo demen banget ngomong kayak gitu kayak nyokap gue. Namanya juga manusi, nggak boleh melakukan kesalahan, ya? Atau khilaf." terlihat jelas raut putus asa di wajah Rumi. Rumi tidak tahu, pastinya dia sangat menderita.

Mata Faiz memancar geli. "Cup ... Cup ... Sobat gue satu-satunya ini lagi gelisah, galau, merana, ya?" Setelah mengatakan itu, Faiz tertawa kembali. Rasanya sangat menyenangkan mengejek teman yang sedang berkabung.

"Sialan!"

Hati Terpilih 2 (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang