Dua

10.2K 795 41
                                    

"Kamu itu dari tahun ke tahun kok murung mulu sih, Mi. Mama capek lihatnya. Mama juga sedih. Yah, tadinya Mama tuh pengen ngerasa puas kalau lihat kamu ditinggalin Janira. Tapi, lihat kamu kayak gini, Mama jadi nggak tega." Omelan Mama bagaikan lagu pengiring di ruang makan.

Ada Misha, ada Papa dan Mama. Raia masih tidur. Putri kecilku itu memang pelipur galau yang ampuh. Aku mengedik mengabaikan omelan Mama. Fokus terus mengunyah sarapan pagiku. "Kapan kamu mau nikah, Mi?" Pertanyaan Papa membuatku tersedak seketika. Terbatuk-batuk susah payah menelan bulat-bulat roti selai kacang yang tadi ada di mulutku.
"Kenapa, Pa? Nikah?" Celetukku menatap Papa horor. Bagaimana mau menikah sedangkan hatiku sudah terikat kuat oleh cinta Janira. Aku melihat Papa menganggukan kepalanya. Aku meringis. Mengembuskan napas berat. "Rumi memang pengen nikah, Pa. Tapi Rumi nggak bisa, karena---"

"Karena kamu sudah cinta berat sama Janira! Ngaku aja!" Mama menyela ucapanku cepat.

Aku mendengkus pelan. "Iya, Ma. Aku memang udah cinta mati sama Janira. Mama puas?!" Sungutku menatap Mama sebal. Geplakan di kepalaku membuatku mengaduh kesakitan. "Sakit, Ma."

"Mama udah berpuluh-puluh kali mengingatkan kamu. Jangan sampai salah pilih. Jangan sampai kamunya nyesel diakhir. Nggak nunggu sampe bulukan ucapan Mama jadi kenyataan, kan?" Mama melotot ke arahku.

Aku meringis. "Iya. Rumi salah, Ma." Aku menundukan kepalaku. Merasa sakit dalam dadaku. Sesak kembali terasa menyakiti rongga dadaku. "Rumi menyesal, Ma." Aku berucap pelan.

"Udah! Sekarang percuma kamu menyesal. Janira juga udah pergi. Belum tentu mau balik lagi sama kamu. Mama sempet kecewa sama kamu, Mi. Tapi ya sudahlah, nggak akan bikin Janira balik lagi." 

Oke, percakapan semakin terasa mengimpit dadaku. Sesak dan pengap. Merasa tolol dengan keputusanku yang ambigu itu. Keputusanku yang membuatku kehilangan permata yang sesungguhnya. Aku segera menyelesaikan sarapanku. Mengelap sudut bibirku dengan serbet. "Rumi udah selesai, Ma."
Aku segera beranjak dari dudukku. Kemudian berjalan mendekati Mama mengecup kening Mama lamat. Satu yang bisa aku ambil hikmahnya. Ucapan seorang Ibu bisa menjadi boomerang jika kita tidak patuh menuruti nasihatnya.

"Abang. Misha sudah memutuskan untuk memisahkan diri dengan Raia. Aku ingin belajar mandiri." Ucapan Misha menghentikan langkahku.

Aku menoleh. "Jangan macam-macam, Misha. Tidak ada yang boleh pergi. Kamu, apalagi, Raia," pungkasku dingin. Misha adikku sendiri dan aku selalu menginginkan yang terbaik untuknya dan juga putrinya.

"Tapi, Abang---"

"Sekali tidak, tetap tidak!" ucapku penuh penekanan kembali melangkah.

Aku mengepalkan kedua tanganku seraya terus melangkah. Rasanya sesak dalam dadaku tak mau pergi juga. Padahal aku sangat ingin beristirahat sejenak dari rasa sesak dan sakit yang sangat mengganggu ini. "Berengsek!" Umpatku merasa sakit semakin memeluk hatiku erat.

Sampai di luar rumah dengan dada yang terus bergejolak meronta menginginkan Janira kembali di sisiku. Aku menajamkan penglihatanku melihat Faiz baru keluar dengan ponsel yang menempel di telinganya. Faiz terlihat cemas. Dia berjalan ke arahku. Aku menunggu di dekat mobil. "Ada apa?" Tanyaku to the point.

Faiz mematikan sambungan telepon. Dia mengembuskan napas pelan. "Mereka bebas. Janira jadi pulang. Nggak tahu motifnya apa. Kepala gue pusing bukan main." Faiz mengacak rambutnya frustrasi.

Aku menepuk bahunya menguatkan. "Lo kerem istri lo. Jangan sampai jadi biang keladi lagi. Udah cukup lo berbaik hati maafin dia dan masih mau nerima dia. Kepala gue udah pusing sama masalah gue yang kangen berat sama Janira. Please... Jangan nambahin lagi."

Semua terjadi karena Ayu, istri Faiz sialan. Kami semua terjebak dalam satu masalah yang tidak jelas awalnya dan memaksa kita mencari penutup akhirnya. Sialan memang. Tapi ya sudahlah.

Faiz mendesah kasar. "Sumpah! Gue pengen banget menceraikan Ayu. Tapi karena anak gue, gue tutup rapat-rapat semuanya. Kalau sampai Janira tahu, gue yakin. Janira pasti maksa gue buat menceraikan Ayu." Dari suara Faiz terdengar putus asa.

Aku mengedik. "Derita lo itu." Aku masuk ke mobil tanpa mau repot melihat keadaan Faiz. Aku mendengar umpatan Faiz yang terarah padaku. Pandanganku berhenti sesaat pada figura poto yang tersimpan rapih di dashboard mobil. Senyum tipis tersungging saat melihat wajah indahnya. "Aku mencintamu, Janira." Iya, aku mencintainya. Sangat. Sangat mencintainya. Terlambat, tapi mau bagaimana lagi? Semuanya sudah terlanjur terjadi. "Aku sangat mencintaimu, Janira."

Debar jantungku terasa tidak karuan. Aku meringis merasa pemberontakan dari hatiku. Aku sangat merindukannya, Tuhan... Sungguh, sangat merindukannya.

Hati Terpilih 2 (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang