Tiga

9.9K 808 18
                                    

Hati Terpilih ...
Hati yang terkunci hanya pada satu kasih, Hati yang menetap pada satu rasa, dan Hati yang tak bisa berpaling dari satu cinta.

*****

Aku menatap indahnya pemandangan di atas, melihat dari jendela, mengintip awan yang putih seperti kapas.
Aku menghela napas panjang sebelum memilih kembali menyandarkan punggungku pada kursi pesawat. Sungguh, waktu terasa cepat berlalu. Rasanya, baru kemarin aku pergi, dan sekarang aku sudah harus kembali lagi. Mungkin, aku akan bertemu dengan Lelaki yang selalu hadir menghantui setiap malamku. Aku tergelung rindu yang teras membekapku erat. Kadang aku berpikir, kenapa sulit sekali melepas perasaanku padanya? Apakah ini penyebab banyak wanita frustrasi? Spontan aku geleng-geleng kepala membayangkan jika aku akan benar-benar gila karena cinta ini.

"Janira, kamu lagi mikirin apa?" Suara berat Revan menyentak lamunanku.

Revan adalah teman kuliahku di Inggris. Dia asli orang Bandung, jadinya kami satu pesawat. Revan tampan, hanya tertutupi badannya yang sedikit berlebihan. Padahal, waktu pertama kali bertemu, Revan tergolong Pria yang dikejar-kejar gadis-gadis di Kampus, karena ketampanan khas wajah orang Sunda. Mungkin karena terlalu sering makan makanan cepat saji, jadilah dia seperti sekarang ini.

Aku mengedikan bahuku tak acuh. "Nggak ada mikirin apa-apa, Van. Cuman, ya ... Ngelamun biasa aja," sahutku tersenyum tipis.

"Oh, dipikir aku ini anak bego apa ya. Udah jelas kelihatan dari mata kamu, kalau kamu itu lagi cemas. Iya, kan?" Kekehnya geli.

Aku berdecak sebal, Revan selalu tahu saja apa yang sedang aku pikirkan. Mungkin pekerjaan sampingannya jadi cenayang.

"Heh, jadi cewek itu tahan harga dikit lah ... Jangan murah banget. Ngemis-ngemis minta perasaan dibales. Malu-maluin banget," tambahnya mencibirku.

Aku mendengus, refleks aku menggeplak kepalanya keras, membuatnya mengaduh memegangi kepalanya. Revan itu, omongannya paling tidak bisa disaring. Dia tahu semuanya karena setiap malam waktu di flat, aku sering terciduk olehnya tengah menatapi potret Bang Rumi. Ah ... Bang Rumi ...

"Van, bicara enakan dikit dong. Kok aku rasanya kayak cewek gampangan banget, sih." Aku mencebik menatapnya sebal.

Revan tertawa terbahak-bahak hingga mulutnya terbuka lebar. Orang-orang di pesawat memperhatikan kami. Spontan aku meremas kertas yang aku pegang jadi bulat, lalu menyumpal mulut Revan dengan kertas itu. Revan berhenti tertawa dia menatapku marah. Rasain!

Aku memasang headset di telingaku mengabaikan tatapan marah Revan, kemudian menyalakan lagu yang menjadi favoritku selama ini.

Mataku terpejam, terbayang wajah Bang Rumi yang tersenyum manis mengundang getaran dalam hatiku. Apa mungkin Bang Rumi akan benar setia menungguku? Atau Bang Rumi sudah menikah dengan wanita lain? Ah ... Ya. Bagaimana dengan Amira? Apa Bang Rumi sering menjenguk Amira di penjara? Apa Bang Rumi masih sendiri bukan karena menungguku, tapi menunggu Amira?

Mama ... Kepalaku pusing.

***

Aku melirik jam di tanganku yang menunjukan pukul dua belas kurang sepuluh menit malam. Sekitar lima belas menit transit di Singapura, baru setelahnya naik pesawat menuju Jakarata. Huft .... Sangat melelahkan.

"Nir, jadi ya transit di rumah kamu," ucap Revan ikut berjalan bersisian denganku.

"Hem ... Mungkin kita tidur satu kamar, karena di rumah kamarnya ada pas-pasan sih," sahutku sambil terus berjalan.
Iya, kamar di rumah memang dulu ada yang kosong satu khusus tamu, tapi sepertinya kamar itu dipakai kamar anak Bang Faiz. Kemungkinan besar Mama belum menambah kamar lagi. Toh, aku sudah biasa tidur satu ruangan dengan Revan, secara flat kami bersebelahan dan Revan sering menginap di flatku yang lebih rapih dan nyaman.

Hati Terpilih 2 (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang