Empat

7.9K 798 72
                                    

Rasa bahagia menelusup masuk membuatku tidak bisa menghentikan tatapan lembutku pada Janira. Janira pulang. Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada kabar ini. Aku memang sengaja mengambil alih tugas Faiz untuk menjemput Janira. Wajah yang selama ini aku rindukan. Apalagi, naluriku benar-benar mendukung untuk menyambut kepulangan Janira. Tanpa ada niatan, tubuhku refleks meraih tubuh Janira. Mendekapnya erat menghirup aroma yang telah sekian lama tidak aku hirup.

Namun, bukannya hilang sesak di dadaku, malah semakin bertambah sesak karena seakan tersadar pada kenyataan jika dia telah menyerah. Tidak ada lagi hak untukku mempertanyakan atau lagi meminta pada sosok yang berjalan di depanku. Meminta menjalin ulang kasih yang sempat terputus karena ketololanku. Tidak ada lagi kepantasan untukku sekedar membayangkan rumah kecil indah bersamanya.

Senyum miris terbit dari bibirku. Beginikah rasa patah hati? Rasa ingin diperhatikan. Namun diabaikan. Rasa ingin tatapannya hanya terarah padaku. Namun kini, dia tidak lagi menatap satu arah padaku.

Apakah hatinya sudah tidak memilihku lagi? Apa dia sudah memiliki kandidat untuk hatinya? Seketika dadaku kembali bergemuruh. Bergemuruh menghantarkan rasa sakit pada sekujur tubuhku.

"Abang nggak repot jemput kami malam-malam begini?" Janira menyentak lamunanku yang segera beralih menatapnya. Kami tengah berdiri di samping mobil, setelah selesai memasukan koper mereka ke bagasi mobil.

Aku tersenyum tipis. "Nggak. Kebetulan Abang nggak bisa tidur. Daripada nganggur, kan?" Sahutku sebiasa mungkin meredam rasa kesal karena Pria itu merangkul bahu Janira.

Janira mengangguk-anggukan kepalanya. "Eh, Abang. Kenalin, ini Revan temenku selama di London." Nira tersenyum manis seolah mengerti arti tatapanku.

Aku tersenyum paksa meski ingin sekali menggeplak wajah bocah tengil itu. "Temen apa demen?" Tanyaku tidak bisa menyembunyikan kekesalanku.

Mereka terkekeh geli menatapku. "Masih temen sih, Bang. Tapi nggak tahu nanti. Mungkin demen," sahut Pria itu seenaknya.

Aku tertawa garing. "Nggak semudah itu, Bung!" Sanggahku benar-benar tak terkendali.

"Kenapa nggak semudah itu? Aku bebas. Revan juga. Apa halangannya?" Janira menyela menatapku heran.

Aku mendesah berat sebelum akhirnya menyerah memilih berbalik berjalan menuju kursi kemudi. Haha yang benar saja, masa aku harus mengatakan kalau aku masih menunggunya. Kan tengsin! Batinku tersungut-sungut.

Mereka menyusul masuk ke dalam mobil. Dan parahnya. Mereka duduk di belakangku bersampingan membuatku geram setengah mati. Aku berbalik menatap keduanya. "Nggak ada yang mau duduk di depan?" Tanyaku berusaha menekan rasa kesalku yang masih bersarang.

Mereka mengedik, saling melempar pandangan membuatku ingin sekali melempar ular sawah ke tengah mereka. Astaga ... Sabar...
"Kami capek, Bang. Pengen saling sender. Kan lumayan tuh ..." Janira menyahuti sembari menyandarkan kepalanya di bahu Pria itu.

Sial!

Kenapa tidak bersandar saja di bahuku sih! Aku mengumpat dalam hati. "Kamu bisa bersandar di bahu Abang, Nira." Gila memang. Tapi mau bagaimana lagi. Hasrat terlalu menggebu ingin merasai sentuhan Janira di tubuhku. Sangat menyenangkan jika Janira bersandar di bahuku.

Janira duduk tegak, dia menatapku dengan alis saling bertaut membuatku gemas ingin menciumi seluruh wajahnya. "Abang bercanda ...," katanya kembali bersandar.

Aku tercengang. Menganga menatap Janira takjub. Apa? Janira barusan menolakku? Dia menolak bersandar di bahuku. "Kamu ... Kamu nolak Abang, Nira?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulutku.

Nira mengedik. "Abang kan harus nyetir. Lagian, bahu Revan enak banget dijadiin sandaran."

Hatiku mencelus merasa tak terima dengan jawaban Janira. Bahunya enak dijadikan sandaran? Bahuku lebih enak sekedar jadi sandaran. Bahuku enak dipakai tidur juga. Batinku seketika meringis. Tidak mau berlama-lama terluka, aku segera berbalik kemudian menyalakan mesin mobil, lalu menyetir mobil meninggalkan parkiran Bandara.
Sabar Rumi ... Ini ujian ... Mohon ditahan. Jemariku mencengkram stir mobil kuat setelah melirik dari kaca spion keduanya tengah tertidur saling bersandar. Hatiku bergemuruh panas. Rasanya butuh pemadam kebakaran untuk menyirami hatiku yang terasa terbakar ini.

Pikiranku melayang. Dulu, Arvino memang berniat merebut hati Janira. Namun Tuhan masih baik padaku dengan menetapkan hati Janira. Dan sekarang? Apa Tuhan masih berkenan tetap mempertahankan hati Janira agar tetap memilihku? Aku jauh lebih baik dibanding Arvino. Tapi Pria itu? Aku tidak yakin.

Sekelebat bayangan Janira menikah dengan Pria lain membuatku bergidik miris. Ya Tuhan ... Ampunilah hambaMu ini ... Intinya, kuncilah hati Janira tetap untukku.

Hati Terpilih 2 (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang