Sudah tersedia versi eBook.
Tepat malam hari Janira termenung di ayunan yang menjadi saksi bisu bagaimana dirinya dulu menyampaikan pidato perpisahannya pada Rumi. Janira mendesah lelah, Janira menyandarkan kepalanya di tiang ayunan. Sejenak Janira memejamkan matanya, mengusir pikiran yang terus mengahasutnya jika Rumi sudah berubah. Janira tidak mau salah melangkah, dia ingin yang terbaik tanpa harus menjatuhkan diri lagi pada luka.
Janira hanya sedang membuat benteng ketahanan untuk hatinya. Hatinya itu mudah terbuai dengan segala ucapan Rumi. Janira bersikap abai karena dirinya tidak mau terbelenggu dalam luka lagi.
"Nggak ada bintang malam ini."
Janira terpaku, dia menegakan tubuhnya menoleh ke belakang. Rumi tersenyum manis sebelum ikut menggabungkan diri dengannya. Janira melihat Rumi masih mengenakan setelan kerjanya. Kemejanya yang terlihat kusut dan rambut yang berantakan. Di bahunya juga tersampir ransel yang selalu ia gunakan bekerja.
"Abang pikir kamu sudah tidur." Rumi membuka pembicaraan setelah duduk di ayunan sebelahnya lagi. "Kamu nggak terlihat dua hari ini." Rumi membuat pernyataan.
Janira menatap ke langit, dia menggerakan ayunan sembarang dengan kakinya. Pekatnya malam lebih indah dibanding wajah tampan Rumi yang terasa menyesakan. Begitu kata batin Janira.
"Abang bicara sama kamu, Nira. Bukan sama angin," kata Rumi lagi.
"Aku ada di rumah, Abang," sahut Janira masih tak mengalihkan tatapannya dari langit.
Rumi menghela napas sebelum ikut menatap pekat malam. "Abang cinta sama kamu, Nira." Rumi belum menyerah, dia masih berusaha.
Janira bersikap tak acuh, meski sebenarnya dadanya bergemuruh hebat mendengar ungkapan Rumi. Janira berusaha keras menahan gelombang di dadanya yang terus menghantamnya.
"Abang cinta sama kamu, Nira." Rumi kembali berucap.
Janira akhirnya menoleh menatap Rumi tak terbaca. "Aku nggak tahu maksud Abang terus mengulang itu." Janira menatap Rumi serius. "Tapi aku nggak bisa semudah itu percaya jika itu benar-benar tulus dari hati Abang."
Rumi menoleh membalas tatapan Janira. "Abang tahu, kamu nggak akan mudah percaya sama ucapan Abang. Maka dari itu, izinkan Abang membuktikannya." Rumi berkata mantap.
Janira meringis, dia segera membuang pandangannya sembarang. Terlalu sakit melihat binar keseriusan dari wajah Rumi. "Enggak perlu minta izin. Abang bisa buktikan semuanya dengan baik. Aku nggak akan melarang." Janira bangkit dari duduknya. "Sudah malam. Aku tidur duluan, Abang." Janira kemudian melangkah meninggalkan Rumi.
Hati dan akal Janira sangat bertentangan. Hati Janira berkata untuk percaya karena tidak tega melihat Rumi yang terlihat putus asa. Sementara akalnya bersikukuh untuk tetap mengabaikan Rumi. Lagipula, dirinya lebih sakit dari Rumi, dulu. Janira semakin mempercepat langkahnya, dia tidak ingin ada adegan yang membuatnya harus berusaha lebih keras lagi.
***
Rumi menatap nanar punggung Janira yang mulai menjauh. Rumi mendesah gusar, dia gagal lagi. Mana bisa Janira secepat itu percaya padanya, tentu saja Janira semakin berhati-hati menjaga hatinya. Sejenak Rumi memilih berdiam diri melanjutkan menatap malam gelap. Sama seperti hatinya yang tak kalah gelap. "Susah banget buat Janira seperti dulu." Rumi bermonolog. Sesaat kemudian Rumi menggeleng semangat. "Nggak boleh menyerah begitu saja dong. Gue harus berusaha lebih keras lagi, masa bodo kalau sampai jadi bujang lapuk. Seenggaknya kan gue sudah berusaha." Begitu kata Rumi.
Rumi bermain ayunan meresapi semilir angin yang menerpa wajahnya. Rumi memejamkan matanya. Rasanya terus menyiksa. Rumi benar-benar merasakan patah hati bukan main. Namun Rumi tetap optimis. Dia bisa mendapatkan Janiranya. Iya. Dia pasti bisa!
Pagi harinya, sayup-sayup Rumi mendengar percakapan Mamanya dan Mama Janira. "Nira kan bulan depan ulang tahun ya, Mbak." Mama Elia tengah mengobrol di taman depan. Rumi terdiam sejenak, dia merasa kembali tersungkur mengingat dirinya tidak pernah sekalipun mengingat ulang tahun Janira. Rumi meringis. Dia benar-benat kurang ajar. Rumi harus memikirkan cara yang lebih cepat, tepat dan ampuh. Dia harus mendapatkan Janira. Masalah jodoh tidaknya, dia akan meminta pada sang Maha Kuasa agar tetap menjadikan Janira sebagai jodohnya.
Rumi mengingat jika hari ini sampai minggu depan dirinya akan berangkat keluar Kota meninjau perkembangan kantor cabangnya. Itu artinya satu minggu dirinya tidak akan bertemu Janira. Tersiksalah batinnya lagi. Ah, sambil pergi, dia akan memikirkan cara lebih jernih untuk kembali menggait Janira. Dia akan menghancurkan dinding penghalang antara dirinya dan Janira. Dia akan membuat Janira kembali membuka hatinya dan juga memelih hatinya. Rumi tersenyum lebar membayangkan jika rencana yang ia susun akan berakhir sempurna.
Dia akan bahagia membangun rumah tangga dan memiliki anak-anak yang lucu seperti keponakannya. Membayangkan itu, dada Rumi jadi bergejolak senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Terpilih 2 (Tamat)
Short StoryRumi harus merasakan sesak dalam dadanya karena hati yang memilihnya pergi menyerah. Semua memang karena ulahnya. Kebodohannya. Dia tidak memungkiri itu. Dan sudah saatnya sekarang dirinya yang berjuang mengejar hati yang menyerah itu. Rumi harus m...