5

5.3K 446 4
                                    

Soojin-ie
Seokjin oppa, bagaimana kabarmu?

*
*
*

“Seokjin-ssi, ponselmu berbunyi terus berkali-kali,” seru Hyunae pada Seokjin yang tengah berada di dapur menggantikan Hyunae memasak.

“Siapa?” tanya Seokjin seraya melongokkan kepalanya dari pintu dapur.

Hyunae mendengus pelan karena sedang berada dalam posisi ternyamannya. Pertanyaan Seokjin membuatnya harus beranjak dari sofa ruang tengah menuju ruang tamu depan untuk sekedar melihat siapa gerangan yang tak henti-hentinya menghubungi suaminya.

Hyunae mendesah kesal saat sekilas melihat nama yang tertera pada layar ponsel Seokjin. Hyunae meraih ponsel Seokjin dan menghampirinya di dapur.

BRAK!!!

Seokjin tersentak karena Hyunae meletakkan ponselnya dengan sangat kasar pada meja marmer di samping kompor. Nyaris seperti membanting. Setelahnya Hyunae berlalu begitu saja.

Seokjin berniat menyusul Hyunae setelah mematikan kompor sampai nada dering kembali terdengar dari ponselnya. Seokjin menghela napas kasar saat melihat nama yang tertera pada layar.

Nama yang sudah lama tak muncul kini kembali menghubunginya. Padahal baru saja beberapa minggu terakhir Seokjin merasa tenang karena wanita itu tak lagi menghubunginya. Entah apa yang membuatnya kembali membombardir Seokjin dengan telepon dan pesan singkat.

“Ada apa?” Seokjin akhirnya menyerah karena tak ingin berlama-lama diteror.

[Oppa, apa kau baik-baik saja? Sudah tiga minggu kau tak menghubungiku. Aku merindukanmu.]

“Soojin-ah, kau tak tahu salahmu di mana?”

[Hm? Memangnya apa yang kulakukan?]

“Aku tak tahu apa aku benar jika memberitahumu soal ini, tapi kau harus tahu bahwa aku tak bermaksud menghakimimu. Aku tak menyalahkanmu sama sekali.”

[Maksudmu? Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan, Oppa.]

“Sebulan yang lalu aku sempat datang ke Seoul. Aku ke apartemenmu. Dan ada Park Jimin di sana.”

[O-oppa—]

“Tak apa, Soojin-ah. Kau juga harus bahagia. Mungkin ini salahku. Aku meninggalkanmu menikah dengan wanita pilihan orang tuaku.”

[Oppa, maafkan aku. Aku hanya—]

“Soojin-ah, kumohon jangan hubungi aku lagi. Aku juga ingin bahagia. Sama seperti dirimu. Kuharap Jimin bisa menjagamu dengan baik, bahkan lebih baik dariku.”

[.....]

“Soojin-ah, terima kasih untuk lima tahun ini. Aku bersyukur pernah mengenalmu.”

Hyunae meremas ujung bajunya saat mendengar sekilas percakapan Seokjin dari balik pintu dapur. Tanpa sadar setitik air membasahi pipinya begitu saja.

*
*
*

“Hyunae-ssi, kau di dalam? Bisakah aku masuk?”

Seokjin tak berhenti mengetuk pintu kamar Hyunae. Sedikit khawatir dengan keadaan Hyunae. Pasalnya sang istri tak keluar kamar sejak kemarin siang. Tak makan sama sekali. Entah ada masalah apa pada Hyunae, Seokjin tak tahu.

Seokjin akhirnya memberanikan diri membuka pintu kamar Hyunae. Namun Hyunae tak di sana. Seokjin mulai berpikir ke mana perginya Hyunae pagi-pagi begini. Baru saja Seokjin berniat keluar dari kamar Hyunae namun tertahan karena mendengar suara dari kamar mandi Hyunae.

“Huekkk! Hueeekkk!”

“Hyunae-ssi!!! Kau baik-baik saja?” seru Seokjin seraya menggedor pintu kamar mandi Hyunae.

“Hyunae-ssi!! Hyunae-ya!!”

"Kang Hyunae!"

Klek!

Pintu dibuka. Menampakkan sosok Hyunae yang terengah-engah seperti habis lari marathon. Wajahnya sedikit pucat dengan bulir-bulir keringat terlihat jelas pada dahinya. Hyunae meringis memegangi perutnya. Membuat Seokjin kian khawatir padanya.

“Hyunae-ssi, kau sakit? Kau pucat sekali,” ujar Seokjin memapah Hyunae sampai ke ranjangnya.

“Aku baik-baik saja, Seokjin-ssi. Apa kau lapar? Aku akan turun setelah ini untuk masak,” ujar Hyunae.

Seokjin langsung menggeleng. Malah membantu Hyunae untuk kembali berbaring di ranjang dan menyematkan selimut untuk menutupi tubuhnya.

“Kau tak boleh memasak hari ini. Hyunae-ssi, katakan padaku apa yang kau rasakan. Aku akan carikan obat di apotik nanti,” ujar Seokjin.

“Aku hanya pusing dan mual. Lalu perutku terasa perih,” jelas Hyunae. Seokjin lantas membulatkan matanya.

“Hyunae-ssi, apa kau hamil?” tanya Seokjin langsung pada intinya yang dibalas dengan pukulan ringan dari Hyunae pada lengannya.

“Kau kira melakukannya sekali bisa langsung membuatku hamil? Lagipula aku baru selesai haid,” jelas Hyunae.

“Hei, apa kau sedang memintaku untuk melakukannya lagi?” goda Seokjin membuat rona merah pada wajah Hyunae. Seokjin hanya terkekeh karena melihat Hyunae yang tak mampu bereaksi pada pertanyaannya.

“B—bukan begitu. Maksudku—aku—”

“Aku hanya bercanda. Kau harus istirahat dan makan yang banyak, kurasa maag-mu kambuh. Kau tak makan seharian kemarin,” ujar Seokjin. Hyunae hanya mengangguk lemah.

*
*
*

“Kau yakin sudah sehat?” tanya Seokjin.

“Jangan berlebihan, Seokjin-ssi. Kau bahkan tak membiarkan aku melakukan apapun selama dua hari,” ujar Hyunae.

Hari ini Seokjin memang ada jadwal untuk pergi ke Seoul. Kontrol bulanan perusahaannya seperti biasa.

Tadinya ia berniat pergi sendiri sampai Hyunae merengek padanya, memaksanya untuk diajak. Padahal biasanya Seokjin hanya pergi sendiri jika itu sekedar mengurus perusahaan. Berbeda dengan kunjungan rutin mereka ke rumah abu orang tua Hyunae dan ayah Seokjin, serta bermalam di rumah ibu Seokjin. Tapi kali ini Seokjin menyerah dan membiarkan Hyunae turut serta. Mungkin Hyunae bosan karena di rumah setiap hari.

Seokjin dan Hyunae menunggu sekitar tiga puluh menit saat sampai di Bandara Incheon sampai sang kakak menjemput mereka. Padahal Seokjin sudah bilang bahwa mereka bisa naik taksi. Namun apalah daya seorang adik, memilih menuruti perintah saja daripada beradu argumen nantinya.

Ya, Kim Seokjin!”

Seokjin dan Hyunae lantas menoleh ke berbagai arah mencari sumber suara itu. Keduanya tersenyum saat melihat sang kakak—Kim Seokjung—bersama istrinya—Kim Ahreum—yang tengah berbadan dua melambai ke arah mereka. Keempatnya saling memeluk satu sama lain kemudian berjalan beriringan ke parkiran luar.

“Oh, Noona, perutmu sudah membesar. Apa tak masalah jalan-jalan begini?” tanya Seokjin pada Ahreum.

“Hei, bodoh. Justru jalan kaki itu bagus jika mendekati hari melahirkannya,” sahut Seokjung. Seokjin hanya mendengus mendengar jawaban sang kakak. Membuat Hyunae dan Ahreum tertawa melihat interaksi kakak beradik itu.

“Eonni sudah tahu tanggalnya?” tanya Hyunae pada Ahreum.

“Satu bulan lagi. Perkiraannya sekitar awal bulan untuk proses normal. Kau dan Seokjin harus berkunjung ke rumah kami nanti,” ujar Ahreum seraya terkekeh pelan.

“Tentu saja, Eonni. Kabari kami jika sudah dekat harinya. Aku usahakan datang sebelum Eonni melahirkan, jadi bisa ikut membantu persiapannya,” ujar Hyunae.

“Hyung, Jina di mana?” tanya Seokjin. Baru teringat pada keponakannya yang berumur lima tahun itu.

“Jina di rumah Eomma. Kutitipkan sebentar karena tadi Jina baru pulang sekolah, takut kelelahan jika kuajak menjemputmu. Setelah ini kita antar Ahreum dan Hyunae ke rumah Eomma, setelah itu baru kita ke kantor. Takut Jina mencari Eomma-nya nanti. Lagipula Hyunae juga pasti lelah,” jelas Seokjung. Seokjin hanya mengangguk menuruti.

*
*
*

A HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang