"Xiaojun."
Yang dipanggil menghela nafas panjang, menatap dengan sedikit jengah pria jakung yang kini menghadang langkahnya dengan raut putus asa. Berusaha meraih tangannya namun Xiaojun menepis bahkan sebelum ia menyentuh apapun. Ini masih di muka umum--tepatnya, mereka berada di antara kerumunan pelanggan hotel yang Xiaojun tempati--dan banyak pasang mata mengawasi penuh penasaran dua orang pria yang beradu langkah layaknya sepasang kekasih.
"Kau baik? Kenapa mengabaikan seluruh pesanku?"
Xiaojun menoleh ke sekitarnya dengan menggigit bibir bagian dalamnya, kemudian menarik lengan Hendery pelan memasuki elevator yang baru saja terbuka. Xiaojun masih terdiam, belum berniat menjawab apapun dan lebih memilih untuk memencet tombol angka lima pada elevator tersebut.
"Bagaimana dengan Cai Xukun?" Hendery bertanya hati-hati, meneliti ekspresi yang Xiaojun tunjukkan meski pada akhirnya ia tak lantas mendapatkan apapun.
"Bagaimana dengan kekasihmu? Kau tadi bersamanya." Xiaojun memutar pertanyaan, manik miliknya seolah enggan menatap sang lawan bicara.
Hendery menernyit, "Kau... kau mengabaikanku karena ini?"
"Kau masih menyukaiku?"
Hendery terdiam mendengar pertanyaan tak terduga yang terlontar dengan begitu mudah dari bibir pria disampinya. Ia terpaku di tempatnya ketika Xiaojun tiba-tiba berbalik dan menghadap tepat kearahnya dengan sepasang netra menyorot lurus kepadanya.
Hendery mengerjap, "Ya?"
"Aku tanya, apa kau masih menyukaiku?"
Obsidian itu kelam, namun terlampau jernih hingga Hendery dapat merasakan binar menenangkan terpancar tiap kali netra mereka bertemu. Rautnya tegas, namun dalam satu waktu menampilkan sarat bersih polos, berhasil membuat Hendery kembali menjadi kutub magnet yang tertarik kepada sisi kutub lainnya. Senyumnya hanya serupa garis tipis yang tertarik ke atas mewakili emosi rancu, namun tak bisa dipungkiri merupakan senyuman terindah yang pernah Hendery lihat--melebihi kecantikan senyuman siapapun yang pernah ia temui.
Sebut saja Hendery berengsek, mengakui dengan gamblang jika ia menyukai orang lain ketika dengan jelas ia memiliki hubungan dengan pria yang bahkan belum tahu apapun. Hendery tahu dari awal ia telah salah mengambil langkah, memilih mengayunkan tungkai di luar garis batas begitu visual Xiaojun kembali hadir untuk pertama kali setelah satu tahun.
"Ya," Hendery terlalu egois untuk mengambil langkah mundur. Karena itu ia kini membalas tatapan Xiaojun tanpa rasa gentar. "Kupikir kau telah mengetahuinya."
"Lalu pria itu?"
Pintu elevator terbuka tanpa mengambil waktu yang tepat. Dengan cepat Xiaojun berjalan keluar, kedua tangannya sibuk meraih kunci kartu kamar hotel dari dalam ranselnya.
"Xiaojun." Hendery mengejar langkah terburu-buru Xiaojun dengan mudah. Menahan lengan Xiaojun yang terangkat untuk membuka pintu kamar. "Dengar..."
Xiaojun menepis pelan tangan Hendery, lalu kembali menghadap pria itu. "Dia bahkan belum tahu tentang hal ini 'kan? Dan kalian masih bertindak seperti pasangan normal seolah tak memiliki masalah apapun."
"Ya, dia belum tahu. Jika kau menginginkannya, aku akan membuatnya tahu detik ini juga."
"Jangan idiot. Kau akan melepas seseorang yang telah kau kencani bertahun-tahun hanya untuk orang lain yang bahkan tidak kau kenal dengan baik?"
"Kau meragukanku?"
"Ya, aku meragukanmu." Xiaojun mengambil nafas panjang, sebelum kemudian melontarkan kalimat final. "Kau tahu kita tak bisa. Lusa aku akan pergi dan setelahnya, kau akan menyadari betapa konyol dirimu saat ini. Jangan terbawa suasana, Huang Hendery."
"Xiaojun-"
Brak!
Hendery menghela nafas panjang. Pintu di hadapannya tertutup dengan cukup keras, seolah memaksanya untuk berbalik dan melangkah pergi. Meninggalkan keputusasaannya yang bahkan tak memberinya kesempatan untuk memberi patah kata.
🔸️Seoul City🔸️
Rahangnya jatuh ketika kedua tangannya membalik lembar demi lembar bagian album yang menampakkan potret visual sosok asing itu. Dalam gelapnya ruang tak tertata itu, ia menahan nafas. Mencoba mengenali situasi yang tengah ia hadapi tanpa petunjuk apapun, mencoba untuk menahan segala macam emosi menyesakkan yang seketika berdatangan menghantamnya.
Dalam kejapan, cahaya lampu gantung diatasnya menyala. Memberi penerangan secara tiba-tiba disertai langkah tertahan pria yang baru saja datang--membeku kala melihat album yang selama ini ia simpan di balik rentetan dokumen kerja kini berada di pangkuan sang kekasih.
Na Jaemin menoleh dengan lambat, lalu perlahan menampilkan senyuman penuh arti sembari menyapa. "Kau pulang, hyung?"
"Jaemin-ah..." Hendery mendekat lalu dengan cepat berlutut tepat di depan Jaemin yang masih duduk diam sembari menampakkan raut tak terbaca. "Aku akan jelaskan..."
Jaemin menatap tepat di manik Hendery, kedua tangannya meremas kecil halaman album sebagai pelampiasan perasaan kecewa. "Jelaskan."
"A-aku..." Hendery membasahi bibir, mengalihkan pandangan dari Jaemin dan lebih memilih menatap sepasang sorot hangat Xiaojun pada salah satu foto album yang berada di pangkuan Jaemin. Semua bentuk kalimat defensif berlalu dari kepalanya, sama sekali enggan untuk membantu memberikan sebuah penjelasan. "Aku bertemu dengannya satu tahun lalu."
"Alasan kau berubah begitu banyak... karena dia?"
"Apa?"
"Kau tak menyadarinya kan, hyung?" Jaemin menarik sebelah sudut bibirnya, tanpa maksud apapun selain untuk mengejek diri sendiri. "Kupikir, kau menjadi lebih terbuka dari sebelumnya. Sikapmu di depan orang lain berbeda semenjak kau menuruti permintaanku untuk tinggal di sini. Kupikir... itu semua karena ku."
"Itu karena mu."
"Tidak. Aku tahu aku tidak membawa perubahan apapun." Jaemin memotong dengan cepat. Menepis pelan kedua tangan Hendery yang berusaha menggenggamnya, Jaemin menginginkan sebuah jarak untuk saat ini. "Selama tiga hari kau meminta waktu untuk dirimu sendiri, aku tahu ada sesuatu yang membawa perubahan darimu setelahnya. Dan itu karena pria ini."
Hendery terdiam, pikirannya membenarkan perkataan Jaemin. Namun ia mengelak untuk menerimanya. Hendery tahu dirinya hanya membual ketika dengan begitu percaya diri berkata lantang akan melepas Jaemin hanya untuk Xiaojun. Ia tahu apa yang tengah ia hadapi lebih dari sekadar masalah sederhana.
"Awalnya, aku hanya mencoba berhubungan sebagai teman dengannya."
"Teman? Dan kau menyimpan berpuluh-puluh foto dirinya dariku? Kenapa kau tak mengenalkannya kepadaku setelah kau kembali bertemu dengannya? Setelah ini, apa yang harus aku harapkan darimu, Hendery hyung?"
"Darimana kau--Johnny k'an?"
Jaemin menyisir surainya ke belakang, menghela nafas kasar dengan mendengus. "Apa itu penting? Jika Johnny hyung tidak memberitahuku lebih awal, kupikir kau akan merahasiakan hal ini dariku entah sampai kapan. Membuatku menjadi pihak bodoh yang tak tahu apapun."
"Aku akan mengatakan kepadamu, percayalah. Tapi tidak ada waktu yang tepat untuk--"
"Hyung," Jaemin membungkam Hendery dengan panggilan pelan, "Pikirkan saja baik-baik. Kupikir, kita membutuhkan spasi untuk saat ini."
"Tidak, Jaemin."
Jaemin berdiri, menghiraukan Hendery yang menahannya--ia bahkan tak lagi sudi untuk menatap kedua obsidian Hendery yang kini kehilangan asa, memancarkan sorot sendu pekat. "Aku pergi."
"Jaem.. Na Jaemin!!"
Jaemin terus melenggang, melangkah pergi ke pintu apartemen Hendery dan keluar tanpa memiliki minat sedikit pun untuk berbalik. Meninggalkan Hendery dengan segala keputusasaan yang menyabotase pikirannya, menghantarkan pria itu ke dalam titik terendahnya tanpa kepastian yang ia inginkan.
To Be ContinueTiba.tiba.jadi.drama :(
KAMU SEDANG MEMBACA
[Book 2] Seoul City ▪ HenXiao ☑️
FanficKota Seoul menjadi saksi bagaimana pertemuan tanpa disengaja mereka perlahan menciptakan letupan afeksi penuh ambiguitas yang terus menggerayangi selama dua kali pergantian malam secara berturut. Kota Seoul pun menjadi saksi atas perpisahan yang me...