Pengadil Yang Bijaksana

4.9K 378 13
                                    


"Tidak kah yang mulia mengerti, bahwa kepala Bilton lah yang meracuni nona Ri, jika bukan begitu bagaimana bisa pengawal keluarga Bilton datang tepat saat racun itu bekerja."

Merisa meluapkan amarah yang telah lama ia pendam, suaranya serak akibat ia berteriak sambil menangis. Kalimat terakhirnya ia bentakan kearah kepala Bilton. Membuat semua orang merasakan kebencian dan kemarahan seorang gadis kecil ini.

"T-tidak, bukan s-saya. Bukan saya!"

Bela kepala Bilton dengan gemetar. Keringat dingin memenuhi dahinya, raut wajah yang terlihat sangat ketakutan. Ia bersujud dihadapan pangeran Likten, meminta pembelaan darinya

"Y-yang mulia, bukan saya yang melakukannya. Saya tidak tahu apa-apa"

"Mana mungkin anda tidak tahu apa-apa kepala Bilton!!!"

Teriak Merisa geram melihat adegan penjilat, dihadapannya.

"Kalau begitu bersumpahlah bahwa anda tidak melakukannya!"

Merisa tidak puas dengan ini, bagaimana ia bisa membiarkan orang bersalah dibiarkan, dan yang tidak bersalah dihukum.

Saat kepala Bilton mendengar perkataan Merisa, ia begitu ketakutan bagaimana bisa ia bersumpah tidak melakukannya sudah jelas bahwa dia lah pelakunya.

Dijaman ini sumpah serapah itu sangat dipercayai sebagai hukuman bagi orang yang berbohong dan bermain-main dengan sumpah, karena dahulu kala ada leluhur yang bersumpah dan ternyata itu suatu kebohongan dan mengakibatkan dirinya termakan oleh sumpahnya sendiri, itu kenapa kepala Bilton tidak mau bersumpah, ia percaya nanti ia akan kena sumpahnya sendiri.

"Benar kata nona Mer, jika anda tidak melakukannya bersumpah lah. Dari semua tuduhan yang diucapkan oleh nona Mer memang masuk akal bahwa andalah pelakunya!"

Dengan penuh wibawa, setiap kosakata yang dilontarkan pangeran Likten membuat semua orang merasakan aura pemimpin keluar dari dalam dirinya

"Baik saya melakukannya, saya tapi tolong ampuni saya!!!"

Kepala Bilton mengakui tuduhan Merisa, ia berteriak menangis tersedu-sedu. Dirinya takut akan hukuman yang akan diberikan padanya, ia cukup kenal dengan hukuman-hukuman dikerajaan Venhert, sangat kejam. Seperti yang dialami oleh Merisa dulu.

"Sudah jelaskan, siapa yang melakukannya. Hukuman kepala Bilton sudah saya tetapkan, dia akan merasakan hukuman yang ia tuntut pada nona Mer dulu"

Kepala Bilton meraung-raung menyedihkan meminta pengampunan, tetapi pangeran Likten sudah mengambil keputusan, ia mengangkat tangannya memerintahkan pengawal untuk membawa kepala Bilton pergi.

Merisa tersenyum puas dengan hukuman yang diberikan oleh pangeran Likten kepada kepala Bilton. Rasa bencinya mulai terbayarkan.

"Terima kasih yang mulia putra mahkota telah menjadi pengadil yang bijaksana dalam kasus saya ini"

"Itu sudah kewajiban saya"

Mata mereka bertemu dan berpandangan cukup lama, sambil tersenyum membuat keduanya berdebar karena senyuman mereka berdua memiliki daya tarik tersendiri.

Gila ya! Arrrghh apaan coba dengan senyumnya itu. Jangan bilang kalau dia pangeran mesum. Tapi apa yang dia lihat dari tubuh yang belum mekar seperti ini. Ah, jangan berpikir yang aneh-aneh!.

Pangeran Likten berjalan mendekat ke arah Merisa, dan tidak tanggung-tanggung ia langsung membawa Merisa dalam pelukannya dan menggendongnya.

Wtf!

Saat Merisa merasakan sentuhan pangeran Likten, tubuhnya menegang dirinya dulu tidak pernah disentuh pria seperti ini. Ketika pangeran mau menggendongnya Merisa meringis kesakitan, akibat luka-luka disekujur tubuhnya.

"Maaf, apa sangat sakit?"

Pangeran Likten berhenti dari aktivitas tangannya untuk menggendong Merisa, ia mendapati gadis kecil itu menggigit kuat bibirnya, menahan sakit yang ia rasa. Membuat dirinya juga merasakan kesakitan itu. Tapi tetap Merisa enggan berteriak dan mengeluh akibat rasa sakitnya, hal seperti itu bukan kepribadiaannya.

"Tidak apa-apa yang mulia"

Jawab Merisa, menutupi rasa sakitnya.

"Baiklah, tahan sebentar ya"

Ada kilatan dimata pangeran Likten itu jelas ia mengagumi gadis kecil ini, yang tidak mengeluh akan rasa sakit. Bahkan seorang prajurit pun jika ia menerima luka yang hampir memenuhi tubuhnya seperti Merisa, akan berteriak kesakitan.

Ia kembali membawa Merisa menuju keretanya, tanpa peduli semua orang memperhatikannya menggendong sampah kerajaan itu. Ada yang mencaci Merisa, ada pula yang kasihan padanya, dan ada yang mengagumi putra mahkota dengan sikapnya yang baik hati.

Melihat semua orang seperti itu, Merisa tersenyum penuh kemenangan. Apalagi saat melihat mata-mata wanita yang ada disitu dipenuhi kecemburuan pada dirinya.

"Pangeran Edward, sebaiknya anda bersikap lebih bijak dan jangan meremehkan setiap kasus. Anda seorang pengadil berlakulah yang adil!"

Kalimat pangeran Likten seperti pedang yang menghantam keras pangeran Edward. Dia diam seribu bahasa, tidak mampu untuk menjawab dan melihat wajah putra mahkota.

Tanpa peduli pangeran Likten menjauh darinya dan pergi menuju keretanya.

Merisa melihat pangeran Edward dari sela tangan pangeran Likten, dan mata mereka bertemu.

Jangan berpikir untuk bermain dengan saya!hehehe

Merisa menjulurkan lidahnya mengolok pangeran Edward, sedangkan pangeran Edward sudah berubah seperti tomat, emosinya meluap tetapi ditekan olehnya. Melihat itu Merisa terkikik, dan menyeringai meremehkan pangeran Edward.

◎◎◎◎

Saat didalam kereta untuk menuju di kediaman Viscount, Merisa tertidur akibat obat yang diberi pangeran Likten. Maksudnya supaya Merisa tidak kesakitan.

Dalam diam pangeran Likten memperhatikan Merisa. Cantik, ya sangat cantik itu yang pangeran dapatkan saat memandangi gadis dihadapannya.

●●

Merisa terbangun dari tidurnya dengan mengernyitkan dahinya akibat rasa sakit disekujur tubuhnya, dia mendapati dirinya berada diruangan yang cukup besar tanpa ada hiasan apa pun. Dalam ruangan hanya ada kasur tempat ia tidur.

Tidak ada lemari dan barang-barang lain, walaupun begitu warna ruangan ini begitu indah yang mendominas warna matanya yaitu biru.

Merisa merasa nyaman sekali berada diruangan ini, bagaimana tidak ini kamar gadis kecil Viscount yang ia lakoni saat ini.

Tidak lama ia mendengar derap langkah kaki menuju ruangannya. Wanita paruh baya membawa talam dengan isi sarapan sederhana hanya roti dan air putih. Wanita itu masuk kekamar Merisa dia terkejut dan berangsur-angsur menjadi senyuman.

"Suami, lihat nona muda kita sudah sadar"

Wanita itu berteriak, penuh kegembiraan. Ia mendekat kearah Merisa, tidak lama laki-laki paruh baya juga datang dengan tergesah-gesah, wajahnya bersinar memancarkan kebahagiaan

"Nona muda, anda sudah sadar. Syukur ya Tuhan"

Laki-laki dan wanita itu bersyukur tepat dihadapan Merisa, membuat Merisa merasa tenang saat bersama mereka.

Mereka adalah pelayan setia keluarga Viscount, hanya mereka yang tetap tinggal menemani Merisa saat tuan dan nyonya Viscount meninggal dan keadaan begitu buruk untuk Merisa.

Pelayan yang lainnya pergi meninggalkan gadis kecil itu, saat melihat nyonya mudanya tidak lagi memiliki harta untuk memberi mereka upah.

Merisa tidak banyak bicara dan hanya tersenyum melihat kedua orang tua ini. Dia hanya beristirahat setelah pelayan wanita tua itu memberi obat pada luka-lukanya. Obat itu diberikan oleh putra mahkota, karena rasa bersalah telah melukainya tanpa keadilan.

Rahasia Keajaiban [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang