Gracia menghentikan langkah kakinya, menatap sebentar pada punggung Shani didepannya, yang tidak menyadari jika Gracia tertinggal dibelakang. Mengeluarkan ponsel, mengetik beberapa pesan untuk orang diseberang sana.
Gracia berlari mengejar Shani, mencuri cium pipi Shani, "jadi hari ini sama besok kita mau kemana?"
Shani diam beberapa saat, mencoba merancang rencana dengan cepat, "aku udah kepikiran sih, kita diem aja di apartemenku."
Gracia mendelik kesal, "apaan coba? Ini tuh weekend, waktu buat kita berduaan. Masa cuma diem doang di apartemen kamu, tau gitu mending aku ngga----"
"Iya-iya, aku becanda kali. Baperan banget, mending kita buruan pergi ke rumah mama." Shani menarik pergelangan tangan Gracia.
Shani tengah sibuk dengan kemudinya, Gracia memperhatikan wajah samping Shani, tersenyum senang.
"Kamu kenapa senyum-senyum gitu, Gre?"
Gracia menjawil hidung mungil milik Shani, "kenapa kamu gemesin banget sih? Pengen gigit jadinya."
Shani terkekeh geli, mengacak rambut Gracia, "ada-ada aja deh kamu, lagian yang ngegemesin itu kamu bukan aku."
"Iya yah, aku kan ngegemesin. Kalo kamu baru sempurna, hehehe,"
Shani tertunduk malu, pipinya merona, "ap--apaan sih, ngaco kamu."
Tawa Gracia pecah, "kamu lucu banget deh kalo salting gitu."
"Udah deh, ngga usah godain aku."
"Siapa yang godain kamu? Aku ngomong yang sejujurnya tau."
Shani berdecak, "udah deh."
"apa sih? Udah apa?"
"Udahan ledekin akunya, mending kamu main ponsel aja sana. Jangan ganggu aku."
"Ngga mau ah," Gracia masih ingin menggoda Shani, panggilan pada ponselnya mengurungkan niat jahilnya.
"Halo?"
"Kamu dimana?"
Mencuri lirik pada orang disebelahnya, Gracia menjadi sedikit gugup, "aku masih ada urusan di kantor."
"Yah, padahal aku mau ajak kamu dinner."
"Hehehe maaf ya? Nanti atur jadwal lagi, oke? Aku mau lanjut kerja dulu, ya?"
"Yaudah deh ta----"
Gracia cepat-cepat mematikan sambungan telepon, lalu menoleh pada Shani. Raut wajahnya datar, tatapan fokus pada jalanan.
"Siapa?"
"Bukan siapa-siapa kok, Shan, udah jangan dipikirin. Bentar lagi kita mau sampe kerumah mama kamu, jangan ngeluarin aura negatif gitu." Gracia mengusap punggung Shani.
Shani tersenyum kecut, "itu tadi dia?"
Gracia bungkam, tak tahu harus menjawab apa.
"Kenapa kamu ngga jujur aja kalo itu emang dia, Gre?"
"Maaf." Gracia tertunduk lesu.
Hening menyelimuti keduanya, Shani mati-matian menahan amarahnya. Sementara disebelahnya, Gracia masih tertunduk lemah.
"Gracia," panggil Shani, "hei, Gracia."
Gracia menoleh takut pada Shani, lalu kembali menunduk.
"Maaf," lirih Shani, "harusnya aku sadar, kalo kamu bukan milikku."
Gracia terbelalak "Aku milik kamu, Shani,"
"Kamu emang milik aku, tapi ngga sepenuhnya," Shani tersenyum kecut, "ada tembok tinggi yang memisahkan kita, Gracia."
Gracia terenyuh, kalimat yang keluar dari bibir Shani menamparnya, "maaf. Aku ngga tau harus gimana,"
Shani menepikan mobilnya, menarik napas dalam, "hei," panggil Shani. "Liat aku, Gracia."
Perlahan, Gracia menatap lekat manik kehitaman milik Shani.
"Maaf jika aku egois, memaksakan kehendak untuk bisa sama-sama dengan kamu. Sekalipun aku cuma pemeran pengganti dalam hubungan ini, aku tetap bisa ngerasain kalo aku juga mendapatkan kadar cinta yang sama besarnya dengan pemeran utama, dia. Meskipun waktu yang kita berdua punya engga sebanyak waktu yang kamu punya buat dia, aku bakal memanfaatkannya sebaik mungkin, Gracia," jelas Shani panjang.
Gracia masih diam, enggan menanggapi.
"Meskipun setiap aku bangun tidur ngga pernah dapat senyum hangat dari kamu, atau menjelang tidur aku ngga pernah dapat kecup hangat dari kamu, aku tetap memilih bertahan sama kamu. Bahkan, di waktu yang kita punyapun masih aja suka diganggu, aku tetap bahagia. Sebab bersama dengan kamu adalah hal yang bisa bikin aku bahagia, terlalu naif, kan?" Shani terkekeh.
Air mata Gracia turun tanpa permisi, "kamu jangan ngomong gitu, Shani,"
"Kok kamu nangis? Ada kalimat yang bikin kamu sakit? Aduh maaf, Gracia, aku ngga bermaksud," Shani menghapus air mata itu.
"Maaf, Shani, aku yang ngga pernah bisa menentukan mana yang harus dipilih. Antara kamu sama Nino, kalian berdua punya porsi tersendiri. Disini aku yang egois," menggenggam tangan Shani, Gracia kemudian melanjutkan ucapannya. "Maaf kalo aku ngelukain kamu, atau membawa kamu ke posisi yang sulit, kisah kita itu masih abu-abu, Shani. Aku butuh waktu sedikit lebih lama, untuk memilih mana yang terbaik dan yang pantas untuk aku. Sebab nantinya salah satu dari kalian yang bakal menghabiskan waktu denganku buat selamanya,"
"Akan selalu ada waktu untuk kamu memilih, pastikan kamu memilih mana yang terbaik, Gracia. Dan harapku tetap sama, semoga kamu lebih memilih aku. Mungkin Nino bisa memberimu dunia dan seisinya, sementara aku, aku cuma mampu memberikan kamu dunia yang aku punya," Shani mengecup bibir Gracia sekilas, "yang perlu kamu tahu, aku akan selalu dan akan tetap menunggu sampai kamu memilih aku, sebab aku butuh kamu. Aku butuh kamu untuk ada disebelah aku, aku mau kita bisa sama-sama sampai kita tua, kamu sangat berharga buat aku."
Gracia mengangguk pelan, "semoga,"
Shani tersenyum manis, kembali melajukan mobilnya. "Jadi mari lanjutkan perjalanan, balik dari rumah mama aku mau ajak kamu dinner. Aku udah reservasi tempat, terus dari sana kita pulang ke apartemenku. Atau kamu mau pergi ke Puncak? Kita bisa nginep lagi di Villa om Burhan." Tawar Shani.
"Kita ke Puncak aja ya, Shan, aku pengen jalan-jalan yang jauh." Gracia meminta.
"Dengan senang hati tuan putri, masih dengan syarat yang sama kok. Inget, kan, syaratnya?" Shani menarik tinggi alisnya.
"Tanpa gadget, cuma kita berdua, artinya ngga ada yang ganggu. Itu kan?"
"Pinter." Shani kembali mengacak rambut Gracia.
Sj.
Setelah tiga bulan kena penyakit block, semoga masih nyambung dan dapat feel ya.