Gracio berjalan dengan tergesa, tidak ingin Shani menunggunya lebih lama lagi. Ia sampai di taman, melihat Shani tengah terduduk melamun.
"Maaf, ya. Aku tadi ibadah dulu. Terus pas kesini jalan macet, nih coklat buat hari ini." Gracio menyerahkan sebungkus coklat pada Shani.
"Ngga apa-apa kok, Cio. Aku juga belum lama sampenya. Duduk dulu." Shani mempersilahkan Gracio duduk di sebelahnya.
Shani kembali memandang kosong pada hamparan rerumputan di depannya. Seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Kamu kenapa, Shan? Lagi ada masalah?" Tanya Cio lembut.
"Engga. Cuma kepikiran tentang kita."
"Kita? Maksudnya?"
"Kita udah lebih dari enam tahun dekat, tapi masih gini-gini aja." Shani mengalihkan pandangan ke arah Gracio.
"Uhm, ya maunya kamu gimana? Bukannya kamu yang ngga mau kita lebih dari ini?"
"Tapi Cio, kita ngga mungkin kaya gini terus, kan? Maksud aku, kita terlalu terkekang sama perbedaan yang ada."
"Ya aku tahu. Aku juga mikirnya gitu. Cuma, gini loh Shan, seberapapun kerasnya usaha kita buat ngehancurin tembok yang misahin kita, kita ngga akan pernah mampu. Ada dua pilihan, bertahan atau nyerah, dan aku milih buat bertahan." Jelas Cio.
"Mau sampai kapan bertahan? Sampai aku di paksa nikah sama orang lain?" Nada bicara Shani mulai berubah.
"Memangnya kamu mau nikah sama siapa? Ngga ada yang bisa mencintai kamu sebaik aku, Shan." Tantang Gracio.
"Aku udah di paksa buat nikah sesegara mungkin, Yo. Aku bingung harus gimana, karena kalo sama kamu, aku ngga mungkin bisa dapat restu. Kita ada di kondisi yang sulit, Samuel Gracio. Harusnya kamu ngerti maksud omonganku."
"Jadi, maksud kamu, kamu mau nyerah?" Ujar Gracio gusar.
Shani mengangguk.
"Kenapa harus hal ini yang misahin kita?"
"Aku ngga tau, Yo. Mungkin ini akhir dari penantian kita, akhir yang nyakitin kita berdua. Aku bisa apa, urusan Tuhan emang ngga bisa kita campuri." Lirih Shani.
"Apa mungkin ini karena aku lancang nyebut nama kamu tiap aku berdo'a sama Tuhan ya, Cio?" Lanjut Shani.
"Mungkin ya, Shan. Aku sering bilang sama kamu, untuk jangan bercerita sama Tuhan kamu soal aku, sebab, aku sama Tuhan kamu ngga pernah saling bicara." Gracio mencoba tersenyum.
"Jadi, aku harap kita bisa menerima keputusan yang udah ada. Berat emang, aku juga ngerasain hal itu. Tapi kalo kita terus begini, kita ngga akan bisa jalan kedepan, Cio." Shani mengusap pipi Gracio.
"Harga cinta itu mahal ya, Shan. Dan aku, aku terlalu miskin untuk membeli kamu dari Tuhanmu."
"Kamu ngomong apa sih, Cio!" Ucap Shani ketus.
"Engga. Cerita kita itu lucu loh, Shan. Kalo kamu bisa sadari itu. Tuhan yang menjatuhkan hati kita, tapi dia ngga bisa menyatukan kita. Aku berasa kaya wayang, sementara Tuhan itu Dalang, kita cuma melakoni peran yang udah Tuhan tulis." Gracio menarik napas dalam.
"Cio, aku takut. Aku takut sama kenyataan yang ada." Shani terisak.
"Jangan takut, Shani. Ini pilihannya, ngga ada jalan lain. Maap ya, enam tahun ini aku udah bikin kamu merasa berdosa." Gracio mengusap pelan kepala Shani.
"Engga. Kita yang sama-sama egois, Cio. Memaksakan sesuatu yang ngga seharusnya kita jalani, dari awal aku udah sadar sama resiko ini. Cuma aku terlalu naif," Shani menyerahkan cincin yang pernah diberikan Gracio.
"Aku kembalikan cincin ini, kamu kasih ke orang yang emang pantes buat nerimanya. Terimakasih untuk segala hal manis selama enam tahun ini." Shani beranjak dari duduknya.
"Aku yang harusnya makasih sama kamu, Shani. Untuk segala hal yang kamu kasih ke aku, untuk selalu nemenin aku dari bawah, untuk tiap-tiap semangat yang kamu beri ke aku. Jaga diri baik-baik, temukan seseorang yang bisa mencintai kamu lebih baik dari yang aku lakuin." Gracio mencium puncak kepala Shani.
"Aku boleh peluk?" Tanya Shani.
"Tentu aja. Sini." Gracio merentangkan kedua tangannya, menyambut tubuh Shani.