"aku bentar lagi otw ya, Shan. Kamu siap-siap." Gracio memutuskan sambungan telepon.
Cio menyalakan mobilnya, membuka GPS. Sebab dia baru tiga hari menginjakkan kaki di kota Jogja ini.
Setelah bersusah payah menembus kemacetan, Gracio tiba di rumah Shani.
"Kita langsung aja ya, Yo. Udah siang nih." Shani masuk kedalam mobil Gracio.
"Pamit sama mama dulu, Shan. Ngga enak langsung pergi."
"Engga ada orang di rumah, Cio. Ayo!"
Akhirnya Gracio mengalah, dia mulai melajukan mobilnya.
"Kamu arahin ya, aku ngga tahu jalan."
"Iya, Cio."
Setelah sampai di depan sebuah gedung, mereka bingung.
"Kok sepi ya, Yo." Heran Shani.
"Mungkin belum bubar kali. Yaudah kamu tenang aja. Angel biar aku yang urus, kamu diem aja sini."
Shani mengangguk, memainkan ponselnya.
Sementara Gracio menurunkan sandaran mobil, mencoba mengistirahatkan diri sejenak.
Setelah puas membuka sosial media miliknya, Shani menoleh kearah Gracio.
"Malah tidur!" Shani memperhatikan wajah Gracio.
Gracio tidur dengan lelap, meskipun sedikit tidak nyaman.
Shani mengusap pelan wajah Gracio yang sepertinya kelelahan, senyum manis terukir di wajahnya.
"Terimakasih ya, Cio. Masih sempat-sempatnya buat nemenin aku. Aku tahu kamu sibuk sama kerjaan kamu, tapi masih maksain buat nemenin aku jemput Angel." Shani amat bersyukur akan kehadiran Gracio dalam hidupnya.
Meski mereka terpisah jarak, Cio selalu menemuinya di Jogja. Atau Cio mengirim tiket untuk Shani pergi ke Jakarta, tempat Gracio.
Seperti saat ini, Cio tengah menyelesaikan satu pekerjaan di tempat Shani berada. Meskipun Gracio kewalahan, tapi dia senang bisa bertemu dengan kekasihnya.
"Kamu jangan liatin aku gitu ah, Shan." Gracio membuat Shani kaget.
Shani menarik tangannya, namun di cegah oleh Gracio.
"Kamu ngga tidur, ya? Kamu bohongi aku!."
Gracio terkekeh, mengusap tangan Shani.
"Tadinya aku tidur, tapi usapan kamu bikin aku sedikit terganggu."
Shani menunduk, merasa bersalah.
"Maaf. Aku ngga maksud buat ganggu istirahat kamu, aku cuma kebawa suasana aja." Sesal Shani.
"Hei, lihat aku," Cio menoel pipi Shani. "Aku sama sekali ngga keberatan kok, aku seneng kamu perhatiin kaya tadi." Ujar Gracio Tulus.
"Aku juga ngga pernah ngerasa keberatan buat nemenin kamu kemana-mana. Apalagi ini soal Angel. Angel udah aku anggap anak sendiri, jangan sedih."
Air mata Shani mengalir tanpa bisa di kontrol.
"Aku ngga tahu mau bales kebaikan kamu gimana, aku yang ngga sempurna ini bisa milikin kamu yang sempurna." Shani terisak.
Cepat-cepat Cio menarik tubuh Shani dalam pelukannya. Mengusap punggung Shani yang bergetar.
"Jangan nangis dong, Shan. Aku ngga bisa lihat kamu nangis gini, aku berasa jadi pecundang. Udah dong." Cio mencoba membuat Shani tenang.
Shani makin terisak, Cio makin kebingungan.
Cio melepaskan peluknya, memegang bahu Shani. Sebelah tangannya menghapus air mata Shani yang tertinggal di pipi tirusnya.
"Shan, jangan nangis lagi, ya. Aku merasa cemen banget tiap liat kamu nangis. Apa aku harus nangis juga biar kamu bisa diem?" Tanya Cio.
Shani tertawa, matanya menyipit.
"Janganlah, masa cowok nangis." Shani mulai tenang.
Perlahan, Cio mendekatkan wajahnya kearah Shani. Shani yang tahu apa yang akan di lakukan Cio, mulai memejamkan matanya.
Chuup!
Jantung mereka berdua berdebar dengan kencang. Meskipun ini bukan ciuman mereka yang pertama, namun, tetap saja mampu membuat mereka gugup.
Beruntung, mobil Gracio berkaca gelap. Sehingga tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi di dalam mobil ini.
Perlahan Cio mulai memagut bibir Shani. ciuman yang awalnya pelan, kini sedikit menuntut. Gracio mengigit bibir bawah Shani, meminta akses untuk memperdalam ciuman.
Shani membuka sedikit bibirnya, membiarkan lidah Gracio bermain dengan lidah miliknya. Shani mengalungkan tangannya pada leher Cio, menginginkan agar Cio lebih memperdalam ciumannya.
Tangan Gracio tak tinggal diam. Kini tangan miliknya tengah menggerayangi bagian tubuh Shani, meloloskan desahan kecil dari bibir Shani.
"ASTAGHFIRULLAH! TANTE SHANI SAMA OM CIO NGAPAIN MESUM DISINI?!!" Angel berteriak.
Shani refleks mendorong tubuh Cio, kepala Cio membentur kaca dibelakang.
"Aduh. Sakit, Shan." Keluh Cio sembari mengusap kasar kepalanya.
"Ka---kamu sejak kapan ada di sini?" Shani tak menghiraukan keluhan Cio.
"Baru aja. Pas buka pintu, liat kalian berdua ciuman." Angel naik keatas mobil Cio.
"Uhm, y---yaudah. Jalan Cio." Gugup Shani.
Gracio mendengus kesal. Lalu melajukan mobil itu membelah jalanan.
"Kamu udah makan, Njel?" Tanya Cio.
"Belum om, aku pengen makan sushi." Rengek Angel.
"Yaudah, nanti kita makan sushi." Ajak Shani.
Angel tersenyum senang.
Gracio menoleh kearah Shani, tersenyum.
"Kamu sih." Sinis Shani.
"Kok jadi aku? Kamu juga kenapa ngga ngehindar. Bilang aja doyan." Cio tak mau kalah.
"Enak aja. Kamu duluan!" Shani membuang pandangan ke arah jendela.
"Udah. Jangan ribut. Angel ngerti kok, Angel ngga akan bocor." Seolah mengerti apa yang terjadi, Angel terkekeh pelan.
"Lain kali, kunci dulu pintunya ya, om Cio. Biar Angel ngga lihat. Kata Oma, ngga baik gituan di depan anak kecil."
Shani semakin malu, semburat merah muncul di kedua pipinya.
Sementara Cio, rasanya dia ingin menenggelamkan dirinya kerawa-rawa. Menyusul hayati.
Yasudah. Biarkan mereka berdua malu, karena di goda Angel.