Gracio mencengkeram erat buku-buku jarinya, menatap penuh luka pada sosok didepannya.
"Hentikan sekarang, sebelum semakin jauh," ucap sosok itu, "aku cuma tidak bisa melihat kamu terluka. Sudahi saja, Cio."
Gracio menggeleng, tak mampu untuk membalas. Punggungnya melemas, terpaksa Gracio menyandarkan tubuhnya pada kursi.
"Mau sampai kapan? Apa kamu ngga kasihan sama diri kamu sendiri?"
"Tapi aku ngga bisa, berat rasanya," lirih Gracio, "aku sudah terlanjur jatuh."
"Sesuatu yang dipaksakan itu tidak pernah berakhir baik, Cio," sosok itu mencoba meraih sebelah tangan milik Gracio, "Aku percaya pada ungkapan 'cinta yang baik, adalah cinta yang tidak memaksa', jadi jangan terus memaksakan diri kamu."
"Apa yang salah sama perasaan yang aku punya buat kamu? Rasa yang aku miliki ini juga salah satu anugerah, kan?" Suara Gracio bergetar.
"Tidak ada yang salah dari perasaan kamu, Cio, disini yang salah ya kita berdua." Sosok itu menatap sendu.
"Pertanyaanku cuma satu, apa kamu mau berjuang untuk kita? Apa kamu mau berkorban untuk kita?" Gracio menghela nafasnya.
"Jika saja aku mampu, Cio, aku mau. Sayangnya, semua hal, semua keadaan, termasuk juga takdir ngga pernah berpihak pada kita. Aku cuma ingin kita berhenti sekarang, sebelum kita berdua sama-sama terluka parah." Jelasnya.
"Kenapa? Apa kamu udah ngga ada perasaan sama aku?"
Sosok itu tersenyum getir, "gampang banget kamu bilang kaya gitu, kamu kira disini cuma kamu sendiri yang punya hati?"
"Lalu? Kenapa kamu ngga bisa berjuang bareng aku?"
"Karena kita berbeda. Aku realistis, sedangkan kamu terlalu lama hidup dalam imajinasi kamu sendiri. Berkali-kali kita ngelakuin kesalahan bersama, kamu pikir aku sanggup buat denial terus? Sama sekali engga," sosok itu membenarkan posisi duduknya, "kamu pikir cuma kamu yang berjuang? Cuma kamu yang mencoba untuk meminta pada takdir agar kita disatukan? Kamu salah, Cio. Hampir setiap kali aku berdoa, agar takdir mampu berpihak pada kita. Tapi pada akhirnya, takdir justru menertawakan kita berdua."
Gracio tertunduk lesu.
"Setiap hari, setiap waktu, aku juga berjuang. Aku berusaha berdoa biar kita bisa bersama selamanya. Bukan cuma kamu. Aku juga berusaha untuk meyakinkan orangtuaku, kalo kita ngga salah, perasaan kita berdua ngga salah. Tapi tetap, Cio, takdir ngga semenyenangkan itu."
Air mata Gracio menetes, tak bisa ditahannya. "Sham, aku harus gimana? Aku ngga bisa ngelepas semuanya. Sekalipun aku ngga pernah bisa bayangin gimana nanti hidupku kalo ngga sama kamu. Tolong, berusaha sekali lagi."
Shami tersenyum getir, beranjak dari kursinya, "maaf, Gracio, aku sudah memilih untuk selesai. Aku memilih untuk mengalah pada kejamnya takdir. Aku berhenti. Aku tidak bisa memaksakan apa yang tidak jadi jalannya. Sekarang, aku hanya bisa berharap, semoga kita berdua bisa berdamai dengan keadaan dan perlahan saling melupakan," Shami mendekat ke arah Gracio, mengecup keningnya sebentar lalu perlahan meninggalkan ruangan tersebut.
Fin.
Tulisan ini didedikasikan untuk bang rezaldywsaputra
Semoga masuk ke selera bangrez, dan sesuai keinginan🥺🥺