Cafe sore itu cukup ramai, mungkin karena akhir pekan datang, banyak pasangan muda-mudi berdatangan memenuhi isi cafe.
Gracia dan Shani tengah berdebat, tidak ada yang ingin mengalah. Satu sama lain saling memberi tatapan menusuk, tidak menghiraukan beberapa pasang mata yang mulai menatap mereka.
"Engga, Shan, yang bener itu unsend pake D, bukan pake T." Gracia masih kekeuh.
Shani mendengus kesal, "terserah kamu lah, ajak kamu debat masalah ini ngga akan selesai. Paling ujungnya kaya debat duluan mana ayam atau telur tempo hari, kamu malah ngambek."
Gracia tersenyum malu, membuang pandangannya. "Kok rame ya, Shan? Biasanya juga sepi."
Shani ikut memperhatikan sekitarnya, "yaiyalah, ini kan malam minggu, wajar. Lagian juga ini tempat umum, kalo mau sepi ya kekuburan."
Gracia menatap sengit, Shani memang menyebalkan.
"Shan, kamu lihat deh dua orang seberang jalan itu. Mereka kayanya lagi ribut." Gracia menyenggol lengan Shani.
Shani mengikuti arah pandangan Gracia, "ibu-ibu sama suaminya itu? Iya ya, kayanya lagi berantem."
Gracia penasaran, terus memperhatikan sepasang manusia yang mungkin sudah seumuran dengan ayahnya.
"Udah deh, jangan kepo, biarin aja. Itu urusan mereka." Shani memainkan ponselnya.
"Ya engga, aku cuma kasihan aja sama mereka berdua." Gracia menopang dagunya.
"Kenapa?"
"Mereka kalo beneran suami-istri, pasti udah punya anak seumuran aku. Artinya mereka udah puluhan tahun menikah, masa mereka bisa bertengkar hebat. Ditempat umum lagi," Gracia kembali menatap kearah luar. "Sayang banget kalo nantinya mereka bakal pisah." Lanjutnya.
"Ngga ada yang tahu persis apa yang sebenarnya terjadi selain mereka berdua, Gre, kadang yang terlihat belum tentu sama dengan apa yang terjadi." Shani menanggapi.
"Ya tapi, kan, mereka udah nikah. Artinya mereka udah bersumpah untum saling mencintai selamanya."
Shani tersenyum, sementara Garcia termenung seperti memikirkan sesuatu. Sifat Gracia yang sudah biasa Shani lihat, sifat yang selalu berpikir terlalu jauh ketika menemukan hal baru.
"Apa kamu bakal mencintai aku selamanya?" Tanya Gracia tiba-tiba.
"Engga."
Gracia terdiam beberapa saat, "loh, kenapa engga?"
Shani tertawa, "ya karena selamanya itu cuma ada di film, cuma ada didunia fiksi."
Wajah Gracia berubah masam, lalu berpaling menatap arah luar, lagi.
"Aku ngga butuh selamanya, Gre," Shani buru-buru melanjutkan. "selamanya terlalu jauh buat aku, aku ngga akan sanggup. Aku cuma butuh waktu satu hari lebih lama buat bisa bersama kamu, dan mencintai kamu. Terus begitu hingga nanti hari-hariku akhirnya habis."
Seketika pipi Gracia bersemu, rasanya banyak kupu-kupu yang berterbangan didalam dadanya.
Shani manis, tidak hanya senyumnya, tiap kata yang keluar dari bibirnya selalu terasa manis.
Shani mulai beranjak, mengulurkan tangannya pada Gracia. "Ayo pergi, aku udah mulai bosen disini."
Gracia meraihnya, "kita mau kemana sekarang?" Tanyanya.
Shani tak mengindahkan pertanyaan Gracia, terus melangkah keluar dari cafe.
"Ish, jawab, Shani!!!"
"Kalau aku jawab kita sekarang mau ke kamu, kamu bakal bilang apa?" Shani membukakan pintu mobil untuk Gracia.
"Hah?" Gracia bingung, berusaha memahami maksud ucapan orang disebelahnya yang mulai menyalakan mesin mobil.
Shani mengikis jarak, menatap lekat pada kedua manik hitam didepannya. "Aku mau menjelajahi tubuh kamu. Mengecup setiap jengkal bagiannya, aku mau kamu."
Lalu, bisa ditebak. Gracia kembali tersipu malu, mendorong wajah Shani agar menjauh dari tubuhnya.
Yasudah, biarkan Gracia tersipu. Mari kita akhiri part ini. Semoga nyambung.
Sj.
Kayanya saya bakal lanjutin yang ini aja. Memang betul, saya engga ada pengalaman buat nulis cerita seperti disebelah. Tiba-tiba stuck. Maaf ya jika labil.