Kisah ini kuceritakan dari Karanganyar, 28 Februari 2019. Ketika pekik menerjang, menggema, memecah langit Bumi Intanpari. Aku, Dara Laksmi Sasmita, mahasiswi semester akhir dari Program Studi Sastra Indonesia, seorang penulis amatir yang ingin sekali menjadi penulis sehebat Tere Liye atau Andrea Hirata. Usiaku 22 tahun saat ini, tepatnya lahir di Karanganyar, 02 November 1997, dan sedang sibuk menjadi pelatih pasukan baris-berbaris di almamaterku dulu sembari mengerjakan skripsi kuantitatif tentang Pengaruh Keberadaan Wattpad terhadap Minat Baca. Tinggiku hanya 155 cm dengan berat badan 49 kg.
Patriakara, Pasukan Kesatria Bagaskara SMKN 2 Karanganyar. Hanya pasukan baris-berbaris inilah yang 7 tahun lalu menerimaku sebagai anggota dengan tinggi badan yang minimalis. Tidak ada ketentuan tinggi badan memang, karena semua bisa masuk, biarkan alam yang menyeleksi. Yang pasti dengan latihan fisik yang keras, penggemblengan mental, aturan makan, dan latihan kedisiplinan yang ketat, banyak orang gugur di tengah jalan. Alam lebih pandai bercerita perihal siapa yang paling kuat di antara puluhan manusia.
Hingga saat ini bahkan aku masih sanggup menjadi pelatih. Mengantarkan beberapa pasukan juara umum di tingkat kabupaten dan bahkan tahun 2018 mampu hingga tingkat provinsi. Tahun ini lagi dan lagi, aku masih ditunjuk sebagai pelatih dibantu senior kelas XII, tentu masih di bawah arahan dua tentara dari Kodim 0727/Karanganyar.
"Kamilah, Patriakara pasukan perkasa, pasukan gagah perkasa siapa seniornya!" Pekik itu biasa menggema usai sebuah laga.
"Jangan keras-keras nyanyinya, kita menang hari ini, itu artinya harus melanjutkan tugas ke tingkat karesidenan. Suara kamu itu masih dibutuhkan sampai ke karesidenan nanti, Ta," bisikku di sebelah Apta.
Apta menoleh, tersenyum. "Perhatian banget, Mbak. Kasih love dulu," katanya dengan jari panjang membentuk tanda love dari Korea. Dia, Apta Priyatama, seorang Komandan Peleton (Danton) Patriakara untuk tahun kemarin dan tahun ini. Kelas XI jurusan Pemesinan, bertinggi badan 180 cm, bertubuh proporsional, bergigi rapi tanpa bantuan behel, dan satu hal, dia punya banyak penggemar di kalangan perempuan seusianya.
Hari ini anak didikku berhasil meraih juara 1 Lomba Baris-berbaris (BB) di tingkat Kabupaten Karanganyar. Dan itu amat sangat membahagiakan bagiku, berhasil mempertahankan gelar juara 3 tahun berturut-turut di tingkat kabupaten.
"Kalau sudah puas, ayo kembali ke sekolah, Ta. Keburu sore nanti kalian bisa pulang Magrib," bisikku lagi.
Apta mengangguk di tengah yel-yel, lantas mendekati telinga kananku. Dia lebih tinggi, jadi dia yang membungkuk karena ingin berbisik padaku. "Iya, Mbak. Aku sudah ndak betah juga, banyak penggemarku di sini."
"Helo, penggemar? Sok bener!"
"Ye, dibilangin juga."
Sejujurnya aku percaya itu, aku sudah sering mendengarnya. Memang banyak sekali, dielu-elukan di sana-sini. Setiap lomba selalu saja ada yang berbisik, "Dantonnya keren. Instagramnya apa, ya? Namanya siapa, ya? Sudah punya pacar belum, ya?"
"Ya sudah, nanti kalau keluar tak gandeng, takut juga kamu lepas dariku," godaku dan di hanya tersenyum.
Apta memang tampan sekali, senyum manisnya, bentuk alisnya, meskipun tertutupi oleh hitam dan kusamnya kulit karena latihan.
"Mbak Dara, tak bilangin Mas Gayuh, nih!" ancam Akbar Arizal. Dia senior kelas XII, calon adik iparku, adik dari Serda Gayuh Amwangan Lukito. Pacarku dari Grup 1 Kopassus, sudah LDR selama 3 tahun, sudah putus nyambung 2 kali, dan sudah bertengkar beberapa kali.
"Eh, pengadu, ya? Kan cuma bercanda, Akbar. Dulu kamu juga manggil aku Bebeb." Menyenggol bahunya.
"Hidup tidak sebercanda itu sebenarnya," sahut Apta bergerak memimpin teman-temannya. "Pimpinan saya ambil alih!" Pekik yang sangat keras dan penuh dengan emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Topi Lusuh [Telah Terbit]
Romance"Masih ingat topi ini?" tanyamu ketika bertemu lagi setelah sekian lama. "Ha ha ha, topi lusuh semacam ini buat apa? Ishhh sudah jadi tentara juga, pakai lah topi Raidermu itu atau topi Kostradmu," tawaku menepuk lengan kirinya. "Topi lusuh ini saks...