3. Obrolan Jarak di Angkringan

3K 354 81
                                    

6 Maret 2019, satu jam yang lalu baru saja melepas Mas Gayuh kembali bertugas dan aku sendiri juga bertugas melatih adik-adik. Dengan kerinduan yang mulai membeku kembali, dengan jarak yang semakin menghargai waktu temu, serta dengan segala macam hal yang penuh pengharapan untuk bertemu.

Lapangan tenis masih sama seperti biasanya, sepoi angin dan kehangatan yang tidak dijumpai di lain tempat. Masih pula dengan pasukan yang terkadang cerewetnya melebihi admin akun gosip. Dan masih sama seperti hari-hari biasanya, waktu istirahat selalu digunakan untuk curhat colongan. Sekedar duduk di teras basecamp dan bercerita tentang ini itu termasuk perihal asmara.

"Mbak, aku ada temen lagi, biasanya gampang nikung cewek orang tapi katanya yang ini nggak berani nikung," ungkap Fikri memulai pembicaraan di waktu istirahat. Selalu saja membahas temannya, jangan-jangan dia sendiri yang kebingungan bagaimana caranya mengungkapkan perasaan pada salah satu perempuan di ujung barat Kabupaten Karanganyar sana. Kudengar dia suka pada satu perempuan sejak SMP.

"Suruh sunat dua kali! Dari kemarin yang dipusingin nggak berani ngomong soal perasaan."

"Jadi gitu, ya, Mbak? Dia habis nikung pengusaha fried chicken juga tapi nikung yang ini nggak berani!"

"Somplak kamu, Fik. Iya lah, itu pengusaha fried chicken gerobaknya doang enteng. Nah ini, bisa hancur dalam satu waktu kena libas tank leopard-nya," sambar Apta.

"Oh, ini soal Apta lagi? Siapa sih, Ta? Anak mana? Anak SMA 1 itu?" tanyaku menggodanya.

"Anak SMA 1, Mbak? Nggak kelas!"

"Sok kecapekan!" Menoyor lengannya.

"Emang cakep, buktinya Mbak Dara suka."

"Oh iya ya, Ta. Jadi sayang deh sama kamu," godaku menoel-noel lengannya yang kian hari kian keras aja ototnya.

"Sayang beneran, Mbak?"

"Loh iya to, beneran bercandanya. Ha ha ha."

Apta langsung terdiam. "Jangan mancing deh, Mbak. Perasaan tidak sebercanda itu."

Dahiku mengernyit.

"Mbak Dara tahu rasanya diajak terbang dengan pesawat pribadi lalu dijatuhkan tanpa parasut?" tanya Fikri melihat Apta melangkah pergi ke kamar mandi.

"Menyakitkan dan mengerikan," jawabku santai.

"Ya, begitulah Apta saat ini."

Aku tertawa. Ada-ada saja Fikri ini.

Sore semakin menjelang, tanpa kabar dari Mas Gayuh. Sekadar tadi pagi saja berpamitan hendak kembali ke tempat tugasnya. Dia tidak pernah menjelaskan apa tugasnya, dia latihan apa saja, atau bagaimana beratnya menjaga negeri ini. Entah karena tidak boleh diceritakan atau memang Mas Gayuh tidak pernah mau membuatku khawatir.

Suatu waktu aku pernah menangis, meronta-ronta memintanya untuk pulang hanya karena dia bilang hendak menjalankan misi. Ketika negeri ini terlalu gaduh dengan adanya kelompok bersenjata. Sejak itu rasanya Mas Gayuh tidak pernah banyak bercerita. Ya, beginilah aku, tidak suka dengan risiko seragam doreng, tapi mau dengan Mas Gayuh.

"Mbak, mau pulang?" tanya Apta yang masih duduk di atas jok motor warna biru putihnya.

"Iya, nunggu Bapak jemput tapi."

"Mau kuantar? Tapi nemenin aku ke angkringan dulu ya, Mbak?" tawarnya di balik remang.

Ini sudah usai magrib, gerbang sekolah hampir dikunci, dan aku masih menunggu jemputan. Sejenak terdiam untuk berpikir baiknya.

"Ayolah, Mbak. Suaraku udah serak ini kayanya wedang jahe enak." Menarik tanganku setelah ia meninggalkan motornya.

Aku mengikuti langkah kaki Apta menuju ke angkringan depan sekolah yang berjajar dari barat hingga timur. Maklum, tepat di depan sekolah ada rumah sakit umum daerah, jadi banyak angkringan atau warung-warung kecil penjaja makanan bagi penunggu pasien di RSUD yang pastinya butuh makanan.

Topi Lusuh [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang