14. Tangis Apta

1.7K 297 37
                                    

Ini pertama kalinya aku melihat Apta menangis sampai matanya benar-benar merah, rahang dari gigi-giginya yang rapi seolah mengeras. Dia hanya menatapku sekilas. Aku tahu kekecewaan dan rasa bersalahnya pasti tinggi. Mengapa begitu? Sebab dia seorang Komandan Peleton yang tanggung jawabnya besar, yang harus membawahi pasukan lainnya. Dan gagal mempertahankan juara? Tentu dia tertekan.

"Ta?" Aku mendekatinya. "Istirahat di sini saja, ini sudah malam. Dan sangat berisiko kalau kamu pulang dalam keadaan marah."

Apta menunduk, sekian detik lantas berjongkok dan diam dengan tangisnya.

Aku memintanya duduk, di depan pintu rumahku, aku usap tangannya dan bilang, "it's oke, just a competition. Menang kalah biasa. Just like a football, badminton, etc. Hanya sebuah permainan."

"No, is not just a competition, is our big dream! But." Menatapku dengan mata nanar. "Bukan itu masalahnya." Dengan air mata yang lagi-lagi terjatuh.

Fikri mendekati kami. "Setiap laki-laki yang menangis hanya butuh waktu untuk sendiri, Mbak. Jadi biarkan Apta sendiri dulu," katanya terdengar cukup dewasa.

"Oke, tapi Apta, dengerin Mbak Dara. Ya, I know, piala-piala itu ialah bentuk fisik impian-impian yang ingin kamu rengkuh. Tapi Allah Swt. memberikan perlombaan untuk menghadirkan yang kalah dan yang menang, memperlihatkan yang diam dan yang mau berjuang. Bahkan berlomba-lomba dalam keimanan saja masih ada yang kalah, ada yang menang. Adanya menang kalah itu bukan lantas membuat manusia lupa diri. Yang menang harus bersyukur, yang kalah harus introspeksi."

"Mbak." Fikri justru menarikku untuk segera menjauh.

"Kamu nginep di sini, semua, nggak boleh ada yang pulang dalam keadaan nangis, marah dan lain sebagainya. Paham?"

"Siap, paham!" jawab sebagian dari mereka dengan sisa tangisnya.

Pertama, yang aku lakukan adalah meninggalkan mereka, menyiapkan teh hangat, makanan, dan beberapa camilan. Karena menangis itu butuh lebih banyak tenaga. Baru nanti yang kedua aku mendengarkan mereka sembari makan atau sekedar memberi pelukan.

"Mbak, dicap jelek nih," kata adikku di dapur.

"Apalagi?"

"Kan, tadi kan Mas Akbar bikin story, terus anak Pasukan Inti SMA-ku kaya gempar gitu. Katanya Mbak sama Mas Apta, kok ganti lagi malah tunangan sama Masnya Mas Akbar. Murahan banget katanya sana sini mau," jelasnya sedikit menahan kesal.

"Ya sudah biarin, orang nggak tahu apa-apa emang bisanya cuma komentar. Nggak penting lah, hati itu yang tahu cuma Tuhan." Mengacuhkan lantas membawa satu nampan teh hangat.

"Orang kok nggak peduli banget sama nama baik, yang penting adik-adiknya baik-baik," gumam adikku terdengar samar. Bukan aku tidak peduli, tetapi menyumpal sumpah serapah orang-orang dengan menjelaskan diri kita baik itu tidak berguna, mereka tidak akan percaya. Mereka tidak akan terkesan juga. Jadi biarkanlah, biar mereka puas dengan peniliaian mereka sendiri.

"Makasih, Mbak," kata adik-adik ketika aku menurunkan minuman di depan mereka.

"Tangan Mbak Dara jadi cantik karena ada cincinnya di jari manis," celetuk Fadhila di samping kananku.

Aku tersenyum singkat. "Besok main yuk, melepas penat, buang semua kekecewaan," usulku, mungkin sedikit holiday membuat otak mereka tidak bekerja terlalu keras.

"Besok praktik kerrja lapangan, Mbak," balas Febri setelah termenung, bersandarkan tembok.

Menghela napas panjang. "Mbak mau kasih hibur kalian pun, kalian akan tetap seperti ini, kecewa itu tidak akan hilang. Tapi hidup nggak bisa di-undo untuk ditulis ulang, bisanya cuma terus menulis lebih baik. Mengapa tak sehari saja kita meratap dan esok, balas dendam terbaik kita ialah penampilan yang lebih baik. Waktu masih panjang, satu tahun hingga 2020, kan?"

Topi Lusuh [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang