6. Baku Hantam Akbar & Apta

2.3K 287 72
                                    

Jam 12.58 WIB, aku masih di rumah, jujur terkadang rasa malas itu datang. Mumpung kelas XII juga sedang tidak terlalu sibuk, jadilah aku lebih santai saja. Toh, jam kerjaku asal aku ke sana itu sudah lebih baik. Dosa banget pokoknya hari ini, tapi nikmat. Astaghfirullah.

Masih di dalam kamar, sudah rapi, gincu sudah on sekali, tapi masih chatting dengan Mas Gayuh. Sekadar bilang rindu, sekadar membicarakan trending topic Twitter yang isinya politik saja. Semakin banyak elit politik menggunakan Twitter semakin rusuh suasana Twitter, tidak semenarik dulu di mana baca twit Raditya Dika, Poconggg, dan lain sebagainya begitu menyenangkan. Sekarang iya, membaca twit Fiersa Besari, Jerome Polin, dan comeback-nya Poconggg ke Twitter cukup menyenangkan, tetapi isu-isu politik dan ujaran kebencian yang menjadi trending topic cukup menyebalkan.

Aku dan Mas Gayuh sejak tahun 2013 memang suka main Twitter. Walaupun sepanjang itu followers Twitter-ku itu-itu saja. Akan tetapi bagi kami berdua, Twitter adalah tempat terjujur kami. Setiap kali merasa saling rindu, setiap kali kami sangat menginginkan sebuah temu, setiap kali kami merasa hubungan ini ada di titik terendah, dan setiap kali kami berbahagia bersama, Twitter adalah tempat terbaik.

Baru mau membalas pesan dari Mas Gayuh, ponselku sudah berdering, panggilan WhatsApp tapi tidak lama, hanya sekian detik langsung dimatikan. Dari Risa Annisa, tiba-tiba saja dia mengirim pesan beruntun tanpa jeda. Dahiku mengernyit membaca pesan pertama Risa perihal Apta dan Akbar yang kabarnya baku hantam. Memang mereka tidak latihan? Harusnya ini sudah mulai lagi setelah istirahat. Malah masih sempat mengirim pesan padaku pula.

Aku biarkan saja pesan itu dan 50 pesan lainnya yang terus menerus masuk hingga aku menghidupkan sepeda motorku. Ada-ada saja. Jangan-jangan itu hanya akal-akalan mereka agar aku segera ke sekolah. Ah, tapi ini pun sudah cukup siang untuk kata terlambat, tidak, sangat siang.

Masuk ke gerbang, sepi, kelas XII sudah pulang dan kelas XI PKL, kelas X libur. Jarak antara gerbang dan lapangan. "Mbaaakkk!" Baru melewati ruang guru saja sudah diteriaki Risa dan Fadhila anak kelas X.

Citttt... Suara rem mendadak. "Habis kampas remku," gumamku kesal sendiri.

"Buruan ke basecamp deh, Mbak. Lagi ramai, kasian Apta tapi Mas Akbar bener juga sih," kata Risa dengan nada panik.

"Iya, ih, Mbak. Mas Aptanya diem aja dimarahin Mas Akbar, kasian ganteng-ganteng kena marah." Fadhila sambil tertawa. Risa panik, Fadhila justru masih sempat bercanda, memang anak Patriakara itu tidak ada yang benar.

"Ganteng ganteng, hati-hati penggemarnya banyak, bisa kena damprat kamu!" tegur Risa melotot pada Fadhila.

"Ih, cuma penggemar, Mbak Ris. Kalau sama emaknya nggak berani aku, ha ha ha."

"Kaya emaknya Apta mau ketemu kamu aja!"

"Yeee, kan habis lomba karesidenan, kita ke rumahnya Mas Apta."

"Emang diajak?"

Aku hanya memandang mereka yang tengah berdebat dengan wajah datar. Maunya mereka berdua itu apa? Tadi disuruh buru-buru sekarang malah berdebat sendiri.

"Eh, Mbak Dara! Masih di sini aja lagi! Itu kasian anak orang. Disuruh buru-buru juga!" tegur Risa.

Menatapnya datar sekali lantas melanjutkan perjalanan ke timur lapangan tenis, di mana besecmap kedua Patriakara berada. Telah terdengar ramai dari luar. Ada suara Akbar yang meninggi, suara Fikri yang seperti ingin menyela ucapan Akbar. Datang dengan langkah pelan, menyender di pintu, dengan kedua tangan terlipat di depan diafragma. Menyaksikan Apta duduk lesehan sambil menunduk, Akbar berdiri di hadapannya sambil menunjuk-nunjuk dan Fikri, dia di samping Akbar, membelakangiku sekarang.

Topi Lusuh [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang