8. Sikap Dingin

2.7K 343 46
                                    

26 Maret 2019, azan Magrib menggema di seluruh langit Karanganyar. Termasuk azan bersuara merdu dari masjid sekolah yang terdengar memanggil langkah kaki kami. Malam ini, semua pasukan termasuk jajaran pelatih memang melaksanakan karantina di sekolah. Itu sudah menjadi kebiasaan kami sebelum esok bertanding melawan 6 kabupaten/kota lainnya di Karesidenan Surakarta.

"Yuk, salat dulu sebelum ajal menjemput. Jodoh belum tentu datang menemuimu di dunia tapi ajal sudah menjadi kepastian," pekik Andika Resmantoro, anak kelas X yang rajin sekali ibadahnya.

"Siap!" jawabku membongkar tas ransel untuk mengambil mukena.

Aku berjalan keluar ruangan 03, tempat di mana para perempuan akan tidur nyenyak beralaskan tikar masjid malam ini. Mendapati Apta tengah memainkan sarung cokelatnya di luar ruangan, dengan aroma parfum yang sangat wangi tetapi tidak memusingkan.

"Salat, Beb," candaku berjalan melewatinya.

Dia hanya tersenyum, tidak menjawab apapun.

Masih ingat kejadian satu Minggu yang lalu, ketika Apta mengatakan dia akan menghentikan sandiwaranya denganku? Dan itu benar, sejak saat itu dia tidak membuat ulah. Bahkan parahnya dia seperti menjauh dariku. Jarang sekali menanggapi candaan dan membuat candaan denganku. Terkadang terasa sedikit aneh, padahal hanya sandiwara, tetapi kok akhirnya terasa tidak lucu?

"Mbak Dara, mau salat di masjid apa di musala?" tanya Risa. Sekolah ini memang mepunyai dua tempat ibadah, musala dan masjid. Biasanya musala untuk perempuan yang menjadi minoritas di sekolah ini dan masjid menjadi tempat bagi mayoritas.

"Ris, di masjid aja, bareng sama kita. Mbak Dara biar di musala sama Apta, katanya mau mengimami Mbak Dara dia," celetuk Fikri, aku tahu itu hanya candaan.

"Ihh, kenapa sih diimamin sama adik kelas? Kapan diimamin sama Mas Gayuh?" candaku. Aku belum terlalu berpikir untuk menikah, terkadang semacam itu hanya selorohan tidak penting saja.

"Adik-Kakakzone!" gumam Apta melangkah pergi menggandeng Fikri, tidak, lebih tepatnya menarik Fikri.

"Mas Apta beneran suka sama Mbak Dara, kah?" tanya Nisa, anak kelas X yang sedikit tomboi.

"Iya ih, aku nggak salah denger, kan? Ya nggak sih, Mbak Ris?" Fadhila pun mulai tergugah.

Risa hanya menoleh padaku dengan tatapan penuh tanya.

"Ha ha, ya enggak lah. Kalian itu, cuma bercanda dia. Tahu sendiri kan aku sama Apta biasanya bercanda kaya apa?"

Mereka bertiga memandangku aneh.

"Tapi Mas Apta tuh sejak satu Minggu yang lalu WhatsApp story-nya galau terus." Nisa kembali bersuara.

"Story galau gimana? Dia baik-baik saja kayanya, bikin story foto muncak, main sama adiknya, foto keluarganya. Nggak ada loh yang galau."

"Ah, contohnya yang kemarin itu, Mbak. Kutipan quotes gitu tapi galau, soal kepura-puraan yang menjadi kejujuran tapi tidak bisa berhenti dari kepura-puraan yang dia mulai sendiri."

Jujur kalimatnya terlalu berbelit, tapi tidak penting arti kalimatnya. Hanya saja, aku tidak melihat story itu muncul di deretan story. Dan aku tipe orang yang rajin melihat status mereka di WhatsApp.

Topi Lusuh [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang