12. Tidak Tepat tapi Terbaik

1.4K 254 9
                                    

Selamat siang, kembali lagi denganku, Dara Laksmi Sasmita dari lapangan tenis bersama 20 orang anggota Patriakara tahun 2019 di sela waktu istirahat latihan. Kembali lagi dengan rutinitas latihan jelang kejuaran tingkat Provinsi Jawa Tengah. Kami sedang membicarakan waktu pelaksanaan dan sistem pelaksanaan lomba tahun ini, ada beberapa hal yang berubah.

"Kalian lomba tanggal 9-10 di Provinsi?" tanyaku cukup kaget dan kecewa. Lagi-lagi tidak dapat menyaksikan mereka.

"Iya, Mbak." Serempak kecuali Apta.

"Kenapa, Mbak?" tanya Nisa.

Menggeleng. "Enggak, Mbak cuma nggak bisa nemenin kalian aja."

"Lagi?" pekik 3 cewek itu serempak.

Mengangguk.

"Mas Akbar sama Apta lagi masalahnya, Mbak?" tanya Febri.

Menggeleng. "Mbak ada kepentingan lain. Nggak apa-apa, tampilkan yang terbaik saja, ya?"

"Yah, nggak lengkap tanpa Mbak Dara," keluh mereka lesu.

Aku hanya tersenyum saja, tidak menjelaskan alasanku. Daripada mereka berisik sendiri mendengar kabarku mau tunangan, lebih baik diam jika tak ada yang mendesak jawaban.

"Yok, latihan lagi!" pekik Apta sambil berdiri membersihkan celananya.

Akbar di pojokan lapangan tenis memainkan ATM BRI di tangan kanannya. Iya, katanya dia mau mengajakku pergi membeli sesuatu. Mungkin juga perlengkapan 10 hari mendatang. "Mbak, ayo," panggil Akbar melambaikan tangan padaku.

"Iya." Melangkah menjauh dari barisan yang tengah bersiap untuk maju jalan.

"Eh, Mbak. Ini latihannya setengah hari aja, kan? Nanti ikut ya ke rumah Apta. Jangan lama-lama perginya, semua senior juga ikut kok." Fikri berteriak dari dalam barisan.

Aku melihat ke arah Akbar.

"Iya, nanti nyusul kalau sudah pada berangkat ke sana, share-loc aja," jawab Akbar.

Fikri hanya mengacungkan jempolnya.

Akbar mengajakku ke toko emas dan toko baju batik sarimbit, dia bilang disuruh Mas Gayuh. Mas Gayuh tidak sempat melakukan itu, dia terlalu sibuk dengan tugasnya. Bahkan lebih sering menghubungiku hanya beberapa kata, hanya mengungkapkan rindu. Lagi pula di usiaku saat ini rasanya pacaran dengan berkirim pesan setiap waktu justru terasa membosankan. Sebab, yang dicari bukan pengingat makan atau orang yang membangunkan tidur. Tetapi lebih pada seseorang yang berniat baik, menjaga, mendukung, dan seseorang yang entah sesibuk apapun, entah sesulit apapun dalam berkomunikasi ia tetap mengingatku.

"Mas Gayuh nggak bilang berapa budget-nya?" tanyaku pelan.

"Ya ada, masa bilang-bilang. Ke sini Mbak tuh cuma harus milih sama ukuran jarinya aja yang pas."

"Ishhh, gini aja, kamu yang pilih, apapun bebas. Nanti baru dicoba, oke? Aku duduk di sana."Menunjuk kursi kosong di atas trotoar yang cukup lebar.

"Eh." Dia sedikit kikuk.

Aku tidak menggubris lagi, langsung pergi dan duduk di kursi kosong sembari menatap puluhan kendaraan bermotor lalu lalang. Dan itu terjadi sangat lama, Akbar pasti bingung, belum lagi dia sampai berulang kali telepon Mas Gayuh, tapi baru sebentar dimatikan lagi.

"Mbak, kaya gini ya?" Menunjukkan cincin kecil dari kejauhan.

Berjalan mendekat, cincin sederhana, tidak aneh-aneh. Aku mencobanya dan pas.

"Ini, Mbak?"

"Sudah ambil aja, keburu pada pulang dari rumah Apta kalau kesorean. Habis ini kan berangkat mereka?" kataku.

Topi Lusuh [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang