15. Hilang dan Terbang

2.3K 284 43
                                    

Siapa sangka, candaanku dengan Apta malam itu ialah yang terakhir aku bertemu dengannya. Ini tahun 2020, satu tahun setelah pertemuan terakhir itu. Pernah mencoba menemui, tidak, selalu mencoba, bahkan di Bulan Agustus tahun 2019 aku menemui semua adik-adik pun tetap tanpa Apta. Ketika kutanya ke mana Apta, mereka semua hanya tersenyum menjawab tidak tahu.

Selain itu, di akhir tahun 2019, ketika aku mampu menerbitkan dua buku sekaligus secara mandiri, yang salah satunya ialah buku Patriakara. Kisah tentang perjalanan mereka yang aku tulis bak kisah wiracarita. Kala itu langsung aku serahkan pada adik-adik. Mereka bilang, Apta ada tapi di kelas, sedang tidak bisa keluar. Karena aku pun sibuk, maka aku tidak bertemu dengannya lagi dan lagi.

Parahnya lagi, kami tak bisa saling berhubungan, entah di Instagram ataupun WhatsApp. Sepertinya aku diblokir dan itu akhirnya menjadi alasanku terus mencarinya. Aku hanya ingin bertanya mengapa dia sama sekali tidak bisa dihubungi. Tahun lalu, aku sempat bertanya pada Risa, apakah Apta berganti nomor telepon? Kata Risa, Apta masih menggunakan nomor yang sama. Tetapi di aku, foto profilnya lenyap, hanya centang satu tanpa pernah bertambah, story pun tiada yang masuk.

Berulang kali aku juga bertanya pada Fikri, sahabat Apta sejak masih dini. Tapi terkadang dia hanya menjawab, Apta lagi ingin fokus sama impiannya tanpa gangguan dari orang lain maka ia menjauh dari dunia. Dan kupikir bukan lantaran itu. Jika ia ingin fokus pada mimpinya, mengapa hanya aku yang dia blokir dan tidak pernah dia temui.

Sejujurnya bukan apa-apa, mungkin karena aku menganggap dia, dan mereka semua adalah adik, tetapi Apta tidak menganggapku sebagai kakak. Kalaupun aku ada salah sampai membuatnya memblokirku, aku hanya ingin meminta maaf. Jika setelah permintaan maaf itu aku diminta pergi, baik, aku akan pergi. Toh, sekarang impianku satu-persatu terwujud, mulai mengisi beberapa seminar di kampus kecil, sekedar berbagi tentang tulisanku hingga saat ini. Tapi aku jadi jauh dari adik-adik, tidak lagi jadi pelatih, sudah sangat sibuk dengan duniaku.

Bahkan dengan beruntungnya penerbit kecil di Jogja menawariku pekerjaan, untuk menjadi asisten dari editor di sana, dan baiknya aku tetap boleh menulis dan menerbitkan novelku sendiri. Allah Swt. itu terlalu baik padaku, Dia memberikan semua yang aku inginkan sedikit demi sedikit. Impian yang mulai tercapai, orang tua yang selalu mendukung putrinya, dan laki-laki yang tak pernah lelah menungguku meski menunggu selalu membosankan.

Hari ini, laki-laki itu tengah cuti tahunan, ia mengantarku ke Jogja, membantu pindahanku. Tangan kekarnya sibuk mengangkat beban berat, cekatan menata beberapa barang-barangku. Peluhnya satu-satu menetes, memang tak ada AC di kamar kos yang sederhana ini.

"Mas, tisu nih," tawarku.

Mas Gayuh meletakkan meja kecil di pojokan kamar kos, lantas menatapku sambil tersenyum. "Cowok itu ngelap keringat bukan pakai tisu, Dik." Tangannya berkacak pinggang, dan dia selalu gagah dalam keadaan itu.

"Terus pakai apa? Pakai kain pel?" candaku.

"Pakai tangan kamu," sambarnya cepat dan membuatku tertawa. "Jangan senyum, nanti Mas ajak ke KUA lho!"

"Ishhh.... Na...."

"Nanti dulu lah, Mas. Ini aku baru masuk kerja, nikahnya nanti dulu kalau udah dapat satu tahun. Aku nggak akan ke mana-mana kok, janji!" potongnya seolah menjadi aku.

Aku tersenyum, mendekatinya yang kembali merapikan kamar kosku. "Pengertian banget sih, Mas. Kan jadi sayang," kataku mengelap keringat di dahinya dengan tisu.

"Dari dulu, Dik. Kamu aja yang nggak pernah sadar!"

"Sadar kok, Mas. Makanya nggak mau pindah ke yang lain," godaku menghalanginya yang hendak memindahkan galon air minum ke dekat almari.

Topi Lusuh [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang