10. Puncak Kemarahan Akbar

1.7K 282 27
                                    

"Mbak, bangun, salat Subuh," lirih Risa di sebelah kananku.

Aku langsung terbangun, panik, harusnya aku bangun lebih awal untuk menyiapkan segala keperluan adik-adik tapi kali ini justru sudah azan Subuh.

"Tenang, Mbak. Semua sudah kita siapkan sendiri dibantu senior atas perintah Apta." Risa tahu apa yang aku pikirkan tanpa aku ungkapkan, selembut itu dia. "Kita salat ya, Mbak. Di antar Mas Akbar kok."

Mengangguk.

Baru berjalan sekian langkah keluar dari ruangan, kakiku berhenti, menatap lorong kosong yang masih cukup gelap, satu di antara 3 lampu mati, lampu paling ujung. Sementara Risa terus menggandengku dan Akbar hanya menatapku kecewa.

"Nggak apa apa, Mbak. Ada aku sama Mas Akbar," kata Risa mengajakku berjalan.

Kami terus berjalan ke arah masjid, sambil terus melirik besi yang menggantung serta tiang bendera yang tenang. Tidak ada tanda-tanda seperti semalam, bergoyang kencang atau bunyi "Teng", subuh ini tenang, setenang hamba yang tengah menghadap pada Tuhan. Tetapi melihat kedua benda itu di lapangan upacara agaknya membawaku pada kejadian semalam, aku masih ingat betul, setiap gerak dan suara.

Langkahku terhenti. Akbar dan Risa menatapku diam.

"Nggak ada apa-apa, Mbak," kata Risa menggenggam tangan kananku. Ia baik, manis ketika tersenyum, ramah, dan perhatian.

"Kenapa? Mau dipeluk Apta lagi?" Justru Akbar yang katanya akan menjadi adik iparku yang perhatiannya cukup menakutkan.

Aku memandangnya. Ada satu hal yang tidak aku mengerti dalam kalimat Akbar.

"Aku udah cerita sama Mas Gayuh tengah malam tadi. April ini dia naik pangkat, kan, Mbak? Gampang lah, pengajuan bisa diatur!" katanya kembali melangkah.

"Ini kenapa lagi sih, Bar?" tanyaku tak mengerti.

"Mbak, Mas Gayuh tuh tiap waktu hubungin aku, nanyain kabar Mbak kenapa nggak balas pesannya. Iy, kadang maklum, Mbak sibuk ngurus adik-adik, aku juga. Tapi nggak gini juga lah! Mas Gayuh jauh di sana jagain negara. Dia bisa mati kapanpun dengan kain kafan bercorak doreng, dia bisa terbunuh kaliber kapanpun Allah Swt. berkehendak, dia jauh di sana juga buat masa depannya sama Mbak. Tapi apa balasan Mbak di sini? Malah ada main sama anak kecil! Mbak..."

"Mas Akbar!" bentak Risa dengan suara nyaringnya, memecah hening usai azan di sekitar sekolah usai.

Aku tidak pernah lupa sesibuk apapun aku mengurus adik-adik. Aku pernah lupa dengannya, meskipun terkadang tidak sempat membalas pesan-pesan singkat dari Mas Gayuh. Dalam hal ini, satu yang tidak aku mengerti, ada main dengan anak kecil? "Ada main apa sih, Bar?"

"Mbak nggak ingat semalam meluk Apta seerat itu?" tantang Akbar dengan gerak alisnya yang menakutkan.

"Mas!" Risa berusaha menghentikan. Dan itu hanya membuatku bingung. Memeluk Apta?

"Tolong lah, Mbak. Hargain Mas Gayuh yang ada jauh di sana. Jangan jadi mu..."

"Mas Akbar!" bentak Risa. "Salat dulu aja, Mas. Nggak baik ini Subuh-subuh belum salat. Nanti bisa diselesaikan baik-baik. Emangnya nggak takut karena marah berlebihan tiba-tiba aja mati, eh belum salat Subuh, sholat jenazah iya!" ketus Risa menarikku berjalan kembali.

Aku melirik Risa. Tepat atau tidak bertanya lebih jelas padanya, itu yang aku pikirkan.

"Menurutku jangan diambil hati sih ucapan Mas Akbar tadi, Mbak. Hati Mbak siapa yang tahu sih. Lagian mana mungkin Mbak pilih anak SMK padahal yang Kopassus saja ada," katanya mengantri wudu bersama Fadhila dan Nisa.

Topi Lusuh [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang