"Masih marah sama aku?" tanyaku ketika Akbar duduk di selasar masjid usai salat Asar.
"Jaga hati aja, Mbak. Biar nggak putus sama Mas Gayuh," katanya lantas pergi.
Aku menghela napas sejenak. Membuka ponsel untuk sekadar melihat pemberitahuan. Sepanjang melatih tadi pun dia sama sekali tidak mengajakku, bahkan dia yang seharusnya melatih Apta juga tidak melakukan itu. Dia hanya duduk di tepi lapangan, tanpa koreksi tanpa kata apapun.
Drreeettt... Ponselku berdering, panggilan telepon WhatsApp, dari nomor yang tidak aku kenal, hanya ada foto profil mengenakan gamis merah maroon perpaduan dengan warna mocca. Sangat asing bagiku jadi aku biarkan saja. Berjalan menjauh dari masjid, menuju ke lapangan tenis sambil terus mengetik pesan pada Mas Gayuh, dan terus mematikan telepon yang memaksa masuk. Bukan sombong, keadaaan seperti ini bukan waktu yang tepat untuk menanggapi orang baru.
"Mbak," sapa Apta dari belakang.
"Eh." Memasukkan ponselku ke dalam saku.
"Em, maaf ya, Mbak. Maaf kalau misalkan bikin masalah seperti ini. Nggak maksud gimana-gimana, kemarin itu ya, ya aku yang salah," katanya sambil menunduk.
"Santai lah, Ta. Sama Mbak sendiri sih. Lagipula Mas Gayuh juga mengerti kok. Akbar saja yang malah terlalu gelap mata."
Apta hanya diam.
"Habis ini dihapus tapi ya, Ta?"
Mengangguk.
Kami berjalan beriringan, beberapa puluh meter melewati lorong sekolah yang sepi. Sudah tidak ada lagi siswa-siswi yang duduk di selasar, menikmati WiFi gratis. Sekadar mengunduh anime atau drama Korea. Yang mengunduh materi pelajaran? Mungkin hanya 1%.
"Aku pengen banget entah kapan itu bisa ngadain reuni lintas generasi Patriakara, Mbak. Bayanginnya aja sudah lucu, Mbak nanti datang sama Mas Gayuh, Fikri mungkin datang sama Annisa, Risa mungkin datang sama Vito, dan mungkin aku masih sendiri. Lucu aja," katanya tetap melangkah, memandang ke depan dan tersenyum.
"Sama, aku juga pengen bisa ngadain reuni besar-besaran."
Apta mengangguk-angguk. "Jadi maaf, Mbak. Karena membuat masalah ini, mungkin nanti akan merubah suasana reuni yang aku dan Mbak Dara bayangkan."
"Maksudnya?"
"Ya, mungkin hubunganku sama Mas Akbar jadi nggak membaik, Mbak."
Menghela napas panjang. "Ya sudah sih, Ta. Biar aku yang urus itu, kamu..."
Drreeettt... Ponselku berdering lagi dan lagi, sampai risih rasanya berada di dalam saku celanaku. Aku hanya melihat layarnya yang berkedip saja. Masih telepon dari orang yang sama.
"Ashhhh!" desahku kesal lalu mematikan teleponnya.
"Kenapa, Mbak? Siapa tahu pembaca Wattpad Mbak Dara loh. Jangan sombong-sombong sama pembaca, Mbak. Tanpa mereka Mbak juga bukan siapa-siapa di Wattpad," tegur Apta membuatku melihat lagi ke arah ponselku.
"Nanti aja kalau dia..." Baru akan bilang nanti saja kalau dia telepon lagi tapi ternyata sudah langsung menerima panggilan masuk.
"Eh tunggu, Mbak!" Apta menghentikan gerak jempol kananku.
Aku menatapnya,mendongak jika kalian ingin tahu, saking tingginya Apta.
"Kaya kenal," gumamnya merebut ponselku. Dia benar-benar tengah memperhatikan layar ponselku, memperhatikan foto profil perempuan yang menelponku. "Biar aku yang angkat," ucapnya menggeser ikon telepon hijau, lantas memperbesar suaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Topi Lusuh [Telah Terbit]
Romance"Masih ingat topi ini?" tanyamu ketika bertemu lagi setelah sekian lama. "Ha ha ha, topi lusuh semacam ini buat apa? Ishhh sudah jadi tentara juga, pakai lah topi Raidermu itu atau topi Kostradmu," tawaku menepuk lengan kirinya. "Topi lusuh ini saks...