Ini semua sebab Dila, karena dia memakan roti untuk sarapan hari ini semalam. Kalau saja Dila tidak berbuat seperti itu, Putri tidak akan ikut-ikutan dihukum karena terlambat seperti ini. Apalagi sebelum dihukum, Putri mengikuti ajakan Dila yang sangat tidak waras sama sekali.
4 jam yang lalu.
"Put, kita datang cepat ya, nanti kita makan di kantin aja." Ucap Dila, karena dia yang membawa motor ke sekolah.
"Coba lo gak makan rotinya, kita gak akan datang cepat-cepat kaya' gini."
Dila mengedikkan bahunya dan memakai sepatu, lalu langsung memanaskan motor.
"Udah setengah tujuh, lo yakin mau makan dulu di kantin? Sini sekolah itu udah berapa menit."
Semakin hari, semenjak pindah di rumah ini Putri terus bersikap layaknya Mamanya Dila. Yang harus mengingatkan kalau salah, menasehatinya hingga dia benar-benar tau di mana letak kesalahannya, dan selalu mengomel dulu setiap pagi karena tingkah Dila yang setiap hari berbeda-beda.
Setelah motor selesai dipanaskan, mereka langsung menuju ke sekolah menengah kejuruan pertamanya, SMK Angkasa Yudha.
Putri terus memandangi jam di pergelangan tangannya. Kemacetan di jalan tadi sudah menguras banyak waktu. "5 menit lagi."
Tiba-tiba Dila langsung menarik tangan Putri usai memarkirkan motor dan menaruh helmnya. "Mau ke mana, eh ..."
Dila tidak banyak bicara, sedangkan Putri jangan ditanya lagi. Dia terus mengoceh 'mau ke mana, mau ke mana' dari parkiran hingga di sini—kantin.
"Lo mau makan apa? Bakso? Soto? Oh, nasi campur aja." Tanya Dila lalu dijawabnya sendiri. Putri hanya mengerutkan kening. "Nasi campur 2 sama minumnya air putih aja ya Bu."
Putri menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sejak kapan temannya itu bisa seaneh ini. Tingkahnya bukan semakin dewasa malah semakin kekanak-kanakan—tidak tau waktu.
Kring ... kring ...
Bel masukan sudah berbunyi, suara toa yang diisi oleh suara perempuan juga terdengar. Putri beranjak dari duduknya, namun Dila datang sambil membawa dua buah piring yang berisi nasi campur, disusul oleh Ibu kantin yang membawa dua gelas berisi air putih.
Kalau sudah begini, bagaimana mau pergi?
"Dil, udah masukan peak! Lo malah senang-senang gitu mukanya gimana sih!"
Putri sangat panik, seperti ada gempa 10 skala richter, lalu disusul oleh tsunami yang tingginya mencapai 15 meter. Entah Putri itu mengkhayal terlalu tinggi atau bagaimana, tidak tau. Dia sangat panik sekarang, sambil mondar-mandir dan menggigit jari.
Dila sebenarnya tau kalau bel masukan sudah berbunyi. Tetapi, perutnya yang sangat kelaparan itu tidak bisa ditahannya lagi.
"Gue ke lapangan duluan deh, lo sini aja dulu nanti nyusul. Gue di barisan paling belakang."
Dila membulatkan mata. "Berarti lo sahabat gue yang gak setia."
Ada benarya juga. Putri juga tidak mungkin meninggalkan Dila di sini sendiri. Dia terlalu begitu tega meninggalkan sahabatnya sendiri. Tidak ada hal lain yang Putri lakukan selain menggigit jari.
"Dari pada lo gigit jari, mending lo makan itu nasi campurnya."
"Gak nafsu."
Putri celingak-celinguk ingin melihat situasi di lapangan. Tetapi tingkahnya itu hanya sia-sia, karena lapangan terhalang oleh kelas. Dan di lapangan juga pasti sudah banyak orang.
Apalagi seragam yang Dila dan Putri kenakan adalah seragam putih biru. Mulut-mulut kakak kelas pun pasti membicarakan mereka. Tidak mungkin tidak.
Putri kembali ke meja di mana Dila berada. "Hah? Udah habis?"
Bagaimana Putri tidak terkejut, Dila sudah menghabiskan 2 piring nasi campur sekaligus. Fakta nyata yang ada pada Dila.
"Gue kan udah bilang gue laper."
"Alah, ayo cepat kita ke lapangan. Ini sudah jam setegah 8 tau, kita telat setengah jam gara-gara kamu ngadain acara makan pagi di kantin ini."
Dila segera beranjak dari tempatnya, lalu membayar makanan yang dia makan—termasuk punya Putri yang dia makan juga. Dila pun malah berjalan dengan sangat lambat karena sangat kekenyangan.
"Nyesel gue nungguin lo." Ucap Putri ketus.
***
Dila dan Putri mindik-mindik untuk bisa berhasil masuk ke lapangan. Apa pun caranya, mereka harus bisa sampai ke lapangan. Dan satu lagi, mereka tidak boleh ketahuan oleh osis dan guru-guru. Baju yang mereka kenakan bisa mejadi masalah tersendiri.
Awalnya mereka ingin memutar lewat belakang, karena di situ lapangan tertutup oleh kelas-kelas yang menjulang tinggi. Namun hal tersebut diurungkan lantaran banyaknya kakak-kakak kelas yang memperhatikan mereka, itu semua juga Dila yang mau. Sedangkan Putri mengiyakan saja ucapan Dila.
"Kakaknya itu ngeliatin kita, mutar lewat sana aja."
Putri mengiyakan.
Setelah itu mereka sampai di sudut lapangan, di tempat itu sepi dan tidak ada seorang pun yang berlalu lalang.
"Lewat sini aja."
Putri mengiyakan untuk yang kedua kalinya.
Baru berjalan satu langkah Dila berhenti. Dia bilang kalau ada guru yang sedang melintas di depan. Jadi, niat untuk masuk ke lapangan melewati jalan itu diurungkan lagi.
Setelah niatan yang kedua kalinya itu gagal, akhirnya mereka memutar lagi seperti tadi yang di awal. Yaitu memutar lewat belakang kelas yang menjulang tinggi.
"Lewat yang di pertama aja, kayaknya udah sepian."
Untuk yang ketiga kalinya Putri mengiyakan. Saat ini Putri hanya ikut alur mainnya Dila saja, tanpa berkata-kata apa pun sejak tadi.
Pusing mengikuti Dila yang sejak tadi memutar-mutar saja, tak lama ada seorang yang memakai bet menegur mereka.
"Dek, namanya siapa ya?" Tanya orang itu, yang berjenis kelamin perempuan.
"Saya?" Dila menunjuk dada nya.
"Iya."
"Dila Safitri."
Putri menepuk jidat, sedangkan yang bertanya dengan Dila itu sedang mengetik di handphone miliknya.
Itu kakak osis Dila! Lo gak liat di betnya apa! Goblok, goblok! Kenapa lo kasih tau nama lo! Ish, bego banget sih! Malah gue gak bisa kabur lagi ini. Batin Putri merutuki dirinya sendiri.
"Temannya ini namanya siapa ya?"
Mampus gue!
"Putri Nadiva." Putri sedikit cengengesan, menampilkan sikap seakan-akan ketahuan bohong. Terpaksa dia memberitahu namanya.
"Oke dek, makasih ya."
Akhirnya, orang yang Putri yakini kakak osis itu pergi begitu saja. Dila tersenyum-senyum kegirangan tidak jelas.
"Baru masuk sekolah, langsung ada yang nanyain nama gue."
"Itu kakak osis Dilaaa!!!"
***
Setelah melewati berbagai cara dan masalah, akhirnya mereka berdua berhasil menginjakkan lapangan. Beberapa siswa-siswi baru yang melihat kehadiran Dila dan Putri hanya mengernyitkan dahi sambil bertanya sendiri di dalam hati.
Putri menahan malu saat diperhatikan seperti itu, Dila pun juga. Dan Putri juga baru tau kalau Dila mempunyai rasa malu.
"Jurusan perkantoran, yang bernama Dila Safitri dan Putri Nadiva langsung maju ke depan setelah barisan dibubarkan." Suara yang diucapkan oleh ketua osis begitu menggema terdengar.
Dila dan Putri sama-sama mematung. Bagaimana bisa namanya diucapkan secara jelas dan sangat nyaring di depan sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sakarim Kakel
HumorHIATUS !!! "Itu mirip mantan gue." -Elfa "Kan itu gulungan yang pake jaket ping." -Arla "Montana datang, montana datang." -Dila "Ihh kakak imut, tapi gue udah punya pacar." -Putri