Prologue: Closed

865 104 9
                                    

Tidak ada tempat yang lebih nyaman dari rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak ada tempat yang lebih nyaman dari rumah.

Tempat kita semua pulang, setelah lelah berkelana. Dimana selalu ada senyuman yang menyambut kedatangan kita, serta celotehan penghibur segala penat yang terbawa dari luar sana. Selalu ada tagihan cerita-cerita seru yang kita dapatkan saat berkelana. Lalu sebagai balasan, ada juga cerita tentang tempat ini selama kita tinggalkan.

Rumah selalu menjadi tempat favorit Raka. Rumah dan segala isinya, semua orang di dalamnya, adalah anugerah terindah yang Tuhan beri hanya untuk Raka.

Raka bersyukur bisa kembali pulang ke rumah,

dan ke pelukan Bundanya.

"Aa mah, kenapa gak bilang-bilang kalo mau pulang téh? Bunda takut Aa kenapa-napa, masa udah dari kemaren gak bisa di hubungin?"

Tangan Raka masih setia mengusap punggung bundanya, mencoba menenangkan sambil berkali-kali berkata maaf. Satu maaf untuk menebus kebohongannya, dan maaf-maaf lain karena telah membuat Bunda khawatir, bahkan hingga menangis hari ini. Semuanya karena Raka.

Ya bagaimana lagi, Raka kan hanya ingin membuat moment berharga dengan sedikit kejutan.

"Maaf ya, Bun.."

"A Raka nyebelin!" Omel Bunda lagi dengan pukulan kecil di punggung Raka. "Kalo ngomong mau pulang kan Bunda juga bisa masak makanan kesukaan Aa, Bunda belum masak apa-apa jadinya."

Raka terkekeh. "Besok aja ya, Bunda masaknya? Raka juga gak laper-laper amat."

Bunda yang masih ada di dekapannya pun hanya mengangguk pelan.

"Udahan dulu ah Bun, sesedihannya! Kasian tuh anaknya udah capek gitu. Biarin mandi dulu, iatirahat." Usul Ayah sambil mengelus bahu Bunda, mengisyaratkan agar Bunda segera melepas dekapannya. "Anaknya udah pulang dengan selamat, gak usah cengeng. Pake segala dimarahin." Lanjutnya membuat Raka tergelak pelan.

Ayah ini benar-benar.

Padahal tadi Ayah hanya diam di samping Bunda, menatap Raka dengan senyuman yang Raka pun tidak mengerti artinya. Ayah hanya berdiri tanpa melakukan—atau bahkan bicara apapun.

Tapi sekalinya bicara, malah begitu.

Sedang Bunda lagi-lagi memukul lengan Ayah pelan, sebal dengan apa yang baru saja Ayah katakan. "Gak cengeng!"

"Gak cengeng, tapi bengéng!"

Raka tertawa kencang, sesekali menggelengkan kepala heran. Tapi ia rasa hatinya juga menghangat karena rindu. Suasana yang tidak pernah ia dapatkan semenjak pindah ke Cambridge. Kedua orang yang dua tahun kebelakang ini hanya dapat ia lihat di foto-foto yang dikirimkan lewat group chat, atau paling banter lewat video call.

Lelaki itu tersenyum tipis, lalu berpamitan untuk segera masuk ke kamar dan bersih-bersih, juga tentu saja, beristirahat. Penerbangan belasan jam cukup membuat Raka lelah tidak karuan. Jika sudah begini ingin rasanya memiliki kemampuan teleportasi yang memungkinkannya untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya hanya dalam hitungan detik. Aye, it doesn't make sense!

Kelana (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang