13. Growing Up

727 72 17
                                    

Growing up
How are we supposed to give, to take, collate
Growing up
How are we supposed to love, to breath, to be
When it hurts, it hurts me
When it hurts, still hurts every time
We fall and we crawl

🌻🌻🌻🌻🌻

Jalanan Bandung sore ini padat, tentu saja. Seperti biasanya, tidak ada yang berubah. Apalagi di waktu sore seperti ini. Orang-orang sudah mulai pulang ke rumah masing-masing. Ada yang dari sekolah, dari kampus, juga dari kantor. Selain itu juga ada sebagian dari mereka yang bahkan baru keluar dari rumahnya menuju ke suatu tempat.

Yang jelas, jalanan Bandung sangat padat akannya.

Lana duduk dengan gelisah di kursi sebelah kemudi. Ia tidak henti-hentinya membuka kunci ponsel untuk mematikannya lagi saat tak mendapati pesan balasan.

Ashilla.

Gadis itu membuat janji untuk bertemu Lana pukul 2 siang. Namun hingga saat ini, pukul 4 sore, Lana bahkan belum mendapati kabar dari gadis itu.

Pikirannya sudah berlari kemana-mana. Apalagi dirinya tau jika belakangan ini Ashilla kembali berhubungan dengan Reyner. Orang yang selama ini dianggapnya sebagai kekasih, namun malah memberikan dampak buruk bagi kesehatan Ashilla. Baik mental, maupun fisik.

"Lo yang tenang dulu, Lan, Ash gak bakal kenapa-napa. Gue jamin." Kata lelaki disebelahnya mencoba membuat Lana sedikit tenang.

Mendengarkan kalimat-kalimat seperti itu memang membuat Lana tenang pada akhirnya, setidaknya untuk beberapa saat.

Walaupun pada kenyataannya, semesta tidak pernah memihak.

Ketenangan Lana hanya bertahan tidak lebih dari 15 menit. Begitu sampai di kost-an Ashilla, dunia seakan menamparnya dengan keras.

Lana kembali menemukan gadis itu terkapar dengan buih keluar dari mulutnya. Tidak lupa dengan bungkus obat yang masih ada pada genggamannya-yang Lana yakini adalah anti-depresan yang diresepkan oleh psikiater andalan Ashilla untuk berobat.

Kali ini sebanyak apa yang diminumnya?

Yang membuat Lana semakin meringis adalah sebuah bekas berwarna keunguan yang ada di leher Ashilla. Bekas itu membentang secara horizontal di leher gadis itu. Bisa Lana asumsikan itu sebagai bekas cekikan. Ntah seseorang melakukan sesuatu untuk mencelakai Ashilla, atau itu upayanya sendiri untuk kembali menyakiti diri.

"Dav, bisa agak cepet?" Tanya Lana yang kini duduk di kursi penumpang sambil memangku kepala Ashilla. Tubuhnya merinding hebat. Meskipun ini bukan kali pertamanya, Lana tidak pernah bisa terbiasa mengatasi hal seperti ini.

Karena setiap kali Lana dihadapkan pada posisi ini, memori-memori lampau yang sudah dengan susah payah dikuburnya perlahan bangkit. Dan itu sangat mengganggu Lana.

"Gue usahain kita nyampe secepatnya. Lo jangan khawatir." Kata Davi sambil menepuk tangan Lana pelan, lagi-lagi mencoba menenangkan.

Tapi kali ini nihil. Kalimat-kalimat semacam itu tak akan bisa membuatnya tenang.

Lana hanya ingin segera sampai rumah sakit. Lana ingin Ashilla segera mendapat penanganan dari dokter.

Keadaan justru lebih kalut begitu mereka memasuki area rumah sakit. Davi keluar terlebih dahulu untuk membantu Lana membawa Ashilla ke Unit Gawat Darurat. Davi sampai menggendongnya kesana. Dengan Lana yang mengekori di belakangnya. Berlari dengan kalut, seperti tidak bernyawa.

Bahkan kini, saat Ashilla sedang mendapatkan penanganan yang semestinya, Lana dan kekhawatirannya belum juga mereda. Mungkin akan terus seperti ini hingga Lana melihat dengan matanya sendiri gadis yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu siuman. Lana benar-benar takut sekarang. Denyut nadi Ashilla bahkan sudah sangat lemah saat terakhir Lana periksa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 05, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kelana (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang