.
.
.
"WOAAAH~! PANTAIIII~!!"
Jeno tersenyum semakin lebar ketika suara melengking Jaemin berpadu dengan suara Donghyuck menyapa indra pendengarannya. Bukan hanya itu, suara deburan ombak dan hembusan angin sepoi benar-benar memanjakan jiwa. Beberapa bulan terkurung di dalam ruang putih berbau obat itu membuatnya seperti berada di penjara. Belum lagi berbagai macam pemeriksaan serta jarum suntik yang selalu saja ditusukkan ke kulitnya membuat remaja itu semakin tersiksa.
Bermain di pantai bersama dengan orang-orang yang ia sayangi sungguh membuatnya bahagia. Walaupun ia tak mungkin bisa berlarian kesana-kesini seperti yang ia bayangkan sebelumnya, namun ia sudah cukup puas. Mendengar celoteh dan tawa orang-orang tersayang sudah lebih dari cukup.
Ah, bahkan jika Tuhan ingin mengambil nyawanya sekarang juga, Jeno rela. Pergi dengan dikelilingi orang-orang yang ia anggap berharga, itu merupakan sebuah kemewahan tersendiri bagi Jeno.
"Kau senang, sayang?" itu suara ayahnya, yang saat ini menggantikan posisi Jaehyun k untuk menggendong Jeno. Jung Jaehyun, kakaknya, kini telah lupa usia dan ikut bergabung bersama teman-teman Jeno bermain air sambil tertawa keras.
Jeno mengangguk cepat.
Lebih dari senang.
Ia bahagia.
Seumur-umur ia belum pernah merasakan kebahagiaan seperti ini. Berada dalam gendongan seorang Jung Yunho dan merasakan betapa tubuh lelaki itu dipenuhi oleh otot-otot yang kekar. Itu punggung ayahnya, salah satu lelaki yang ia banggakan. Rasanya hangat dan nyaman sekali, sama seperti pelukan ibu.
Im Yoona?
Wanita itu sedang berjalan berdampingan dengan sang suami. Tangan lentiknya memengangi punggung sang putra, seolah takut angin sepoi itu meniup tubuh ringkih malaikat kecilnya.
"Appa"
"Hm?"
"Maaf.."
Yunho menghentikan langkah sejenak dan mengernyit, begitu pula dengan Yoona. Namun mereka tak bertanya. Hanya dia sambil menunggu Jeno menyelesaikan kalimatnya.
"Maaf karena kehadiranku menyakiti, appa. Maaf karena kekuranganku membuat appa malu. Maaf karena belum bisa menjadi Jung Jeno yang membanggakan"
Nafas kedua orang dewasa itu tercekat. Perasaan tak enak mulai menghampiri. Air mata tanpa sadar sudah berjatuhan. Sebisa mungkin mereka tahan agar isakan tak lolos dari bibir mereka. Mereka datang kemari untuk membuat Jeno bahagia, berdosa sekali jika merusak suasana karena air mata mereka.
"Eomma, terimakasih. Terimakasih karena sudah menjadi ibuku. Terimakasih untuk segala cinta yang kau berikan. Maaf aku selalu menyusahkanmu"
Yoona menggeleng kuat. Digenggamnya tangan kanan Jeno yang entah karena udara pantai atau apa sedikit terasa dingin.
"Tidak, sayang. Jeno anak eomma yang hebat, sama sekali tidak menyusahkan. Tolong jangan berkata seperti itu" suara Yoona bergetar ketika mengatakannya.
Jeno terdiam sejenak. Ia tempelkan dagunya pada bahu kekar sayang ayah, mencoba mencari kehangatan ditengah dingin yang sedang ia rasakan.
"Aku beruntung memiliki kalian. Beruntung juga menjadi adik Jaehyun hyung yang begitu menakjubkan. Teman-temanku pernah bilang kalau mereka iri padaku karena memiliki hyung setampan dan sehebat Jae hyung"
Jeno terkekeh dengan ucapannya sendiri. Toh apa yang ia katakan memang benar. Teman-temannya iri padanya karena memiliki keluarga yang sempurna. Orangtua yang hebat dan kakak yang menakjubkan.
"Eomma, appa. Aku mencintai kalian, juga Jae hyung. Ah, aku mencintai teman-temanku juga"
Diam. Tidak ada yang menanggapi kalimat Jeno. Bukannya tak menggubris, mereka hanya bingung harus menanggapi seperti apa. Rasanya mereka tak sebaik itu pada Jeno hingga harus menerima cinta sebesar itu dari putra bungsu mereka. Terutama jika mengingat dosa besar yang Yunho lakukan. Ia takkan mungkin melupakan luka yang ia torehkan terhadap putranya selama bertahun-tahun.
Percakapan mereka terhenti dan suasana mendadak hening. Hanya hembusan angin, deburan ombak serta tawa Jaehyun dan anak-anak lainnya.
"Jeno.."
Panggil Yunho pelan. Ada rasa khawatir ketika ia tak lagi mendengar ocehan Jeno. Terlebih lagi ketika kepala bocah itu tergolek begitu saja di atas pundaknya. Tangan kurus yang tadi melingkar di lehernya juga perlahan terlepas. Hembusan nafas yang menerpa leher Yunho tak lagi terasa. Ada sesuatu yang basah menetes di tubuhnya.
"Jeno! Katakan sesuatu, jangan menakuti appa!"
Yoona tersentak mendengar pekikan Yunho. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Jeno. Sedetik kemudian ia memekik melihat putranya tak lagi membuka mata dengan darah yang mengalir begitu saja dari kedua lubang hidungnya. Mukanya pucat pasi dan tak ada pergerakan sedikitpun dari bocah itu.
Kedua orang dewasa itu panik.
"Jeno! Astaga! Buka matamu sayang!" teriak Yoona sembari menepuk pipi tirus itu pelan.
Dengan cepat Yunho membawa Jeno menjauh dari pantai. Menidurkannya di atas tikar tipis yang tadi sengaja mereka siapkan sebagai tempat mereka berkumpul dengan paha Yoona sebagai tumpuan kepala Jeno.
Yunho panik, ia segera merogoh kantung celananya dan mengambil ponsel. Tangannya bergetar hebat karena pikirannya kacau. Nomor dokter Cho yang sudah ia simpan sebagai nomer darurat kini seperti terhapus begitu saja dari memorinya. Sedangkan Yoona terus saja menangis sembari memanggil nama Jeno dengan suara yang semakin keras, mengundang mereka yang tadi sedang asik bermain untuk datang menghampiri.
"Jeno! Eomma, apa yang terjadi pada Jeno?!"
Yoona hanya bisa menggeleng sambil terus menangis menanggapi pertanyaan Jaehyun, sedang yang lainnya membeku di tempat. Mereka baru saja bersenang-senang, pemandangan seperti ini rasanya terlalu mengejutkan.
"Dokter Cho sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Ayo bawa Jeno kesana!"
.
.
.
TBC
Hollaaa~
Satu chapter lagi nih..hehe
Voment jangan lupa ya, biar nanti gk aku unpub ffnya kalau udah end..hehe
Thankyou.
Double up??
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGIVEN [END]
FanfictionTak ada yang perlu dimaafkan, karena tak seorangpun berbuat kesalahan. Anggap semua itu sebuah cerita, serta yakinlah akan ada akhir yang bahagia.