HOEK..
HOEK..
Donghyuck meremas tangan karena panik mendengar suara muntahan yang tak kunjung berhenti dari salah satu bilik kamar mandi. Sudah hampir 15 menit ia berdiri disini dan orang yang berada di dalam kamar mandi tersebut belum juga keluar. Suara muntahannya sungguh membuat Donghyuck ngilu.
Jika saja ia tahu bahwa Jeno sedang tidak enak badan, ia tentu akan menyeret anak itu pulang dan menyuruh beristirahat di rumah. Ia tak akan membiarkan sahabatnya ikut belajar kelompok bersama dirinya, Renjun dan Jaemin seusai jam sekolah. Jeno yang tiba-tiba berlari ke kamar mandi dan tak kunjung kembali membuat mereka khawatir dan menyuruh Donghyuk menyusul. Donghyuck pikir Jeno hanya sedang sembelit atau semacamnya, tak menyangka jika Jeno sedang memuntahkan isi perut bahkan sampai seburuk itu.
Setelah beberapa saat kemudian pintu terbuka. Jeno keluar dari dalam dengan kondisi berantakan, wajah pucat dan seragam lusuh seperti bekas remasan. Bahkan bau muntahan sedikit tercium dari tubuhnya.
"Kau baik-baik saja? Perlu kuantar ke rumah sakit?" tanya Donghyuk sambil menuntun lengan Jeno dengan panik.
Jeno menggeleng pelan dan tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Hyuck-ah"
"Baik-baik saja bagaimana?! Kau baru saja memuntahkan seluruh isi perutmu, Jen!" Donghyuck kesal sendiri dengan sahabatnya. Kondisi seperti zombie begitu masih saja berkata 'baik-baik saja'.
"Mungkin hanya masuk angin atau salah makan, nanti akan membaik dengan sendirinya. Jangan khawatir" bahkan suara Jeno terdengar parau dan lemas.
Donghyuck berdecak sebal.
"Kuantar pulang, ya?" tawarnya.
Lagi-lagi Jeno menggeleng.
"Bulan depan sudah ujian, Hyuck. Aku akan semakin tertinggal jika pulang lebih dulu" sangkal Jeno.
"Besok kita masih bisa belajar lagi, Jen. Renjun bisa mengajarimu kapanpun, kok" bantah Donghyuck.
Jeno melepas tangan Donghyuck dari lengannya dan menggenggam tangan sahabatnya, menatap bocah manis itu dengan tatapan memohon.
"Ayahku ingin aku masuk Universitas Seoul, Hyuck. Sekalipun hampir tidak mungkin bagiku untuk masuk kesitu, aku ingin berusaha. Aku ingin sekali ini saja membuatnya bangga"
Donghyuck terdiam. Ia menatap Jeno dengan tatapan penuh simpati sekaligus kagum. Ia tak habis pikir, kenapa bocah itu masih saja ingin membuat ayah yang bahkan tak pernah bersikap lembut padanya bangga.
Donghyuck mengalah dan mengangguk mengerti.
"Tidak ada yang tidak mungkin, Jen. Kau bisa melakukannya, kau pasti bisa membuat ayahmu bangga. Aku, Renjun dan Jaemin akan membantumu"
Senyum Jeno melebar. Rasa sakit di kepala dan perutnya tak lagi ia rasakan setelah mendengar penuturan Donghyuck. Hanya rasa syukur yang ia rasakan sekarang. Bersyukur memiliki begitu banyak malaikat pelindung di sekitarnya.
.
.
.
"Hyung.. sedang apa?"
Jaehyun menutup buku yang sedang ia baca, melepas kacamata lalu mengalihkan perhatian pada sumber suara. Dimana Jeno sedang mengintip di balik celah pintu yang tak sepenuhnya ia buka.
"Boleh aku masuk?"
Jaehyun tersenyum lembut dan mengangguk. Lalu melambaikan tangan agar sang adik mendekat.
Jeno tersenyum cerah, menciptakan lengkungan bulan sabit indah di matanya. Ia buka pintu lebih lebar dan mulai melangkahkan kaki ke dalam. Tak lupa ia menutup kembali pintu kamar sang kakak. Ia tahu Jaehyun tak suka jika pintu kamarnya terbuka.
Tangan kurus adiknya mendekap sebuah boneka nemo yang ukurannya lumayan besar. Membuat Jaehyun mengernyit.
"Boneka?"
Bocah sipit itu tersenyum canggung sambil mengangguk.
"Boleh aku tidur disini malam ini? Bersama nemo juga..hehe"
Nemo?
"Namanya nemo. Eomma bilang ini pemberian Donghae appa yang terakhir, aku tidak bisa tidur tanpa nemo..hehe"
Jaehyun tertawa kecil. Ia sungguh tidak menyangka dibalik wajah tampan dan rahang tegas Jeno serta hati yang kuat, ternyata ia masih menyimpan sisi seorang 'anak' yang menurut Jaehyun begitu manis dan menggemaskan.
"Kemarilah, ayo kita tidur bertiga.. bersama nemo"
Senyuman Jeno semakin lebar, dan mata sipitnya sepenuhnya menghilang. Bocah itu dengan cepat berjalan ke sisi lain ranjang Jaehyun dan berbaring. Tak lupa ia meletakkan nemo di sebelahnya.
Setelah mematikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur, Jaehyun ikut membaringkan tubuhnya. Berbaring menyamping untuk memeluk tubuh Jeno, yang entah kenapa menurutnya terlalu kurus.
Seperti tak ada rasa canggung ataupun batasan seperti sebelumnya, Jeno juga mendekatkan tubuhnya pada Jaehyun. Kepalanya ia sembunyikan di dada Jaehyun, mencium bau khas sang kakak yang sudah hampir ia lupakan.
Jaehyun pun melakukan hal yang sama. Ia ciumi ujung kepala Jeno, meresapi setiap aroma khas bayi yang menguar dari tubuh adiknya. Tentu saja ini kerjaan sang ibu, yang mungkin dengan sengaja membelikan Jeno sesuatu yang beraroma khas bayi. Sama seperti yang ibu lakukan padanya dulu.
"Jae hyung, kau harum. Aku suka"
Suara Jeno sedikit teredam karena kepala yang ia sembunyikan di dada Jaehyun.
"Sudah lama hyung tidak memelukmu seperti ini. Maafkan hyung, Jeno-ya. Maaf"
Jaehyun bisa merasakan Jeno menggelengkan kepala di pelukannya.
"Jangan meminta maaf, hyung. Tidak ada yang layak untuk disalahkan disini"
Rasanya Jaehyun ingin menangis saja mendengar jawaban Jeno. Bertahun-tahun menjadi hyung yang buruk, yang tak pernah menganggap keberadaan Jeno. Bersikap sinis bahkan berjuta kalimat pedas telah ia dan sang ayah lontarkan pada Jeno. Bahkan tanpa tahu kondisi Jeno yang sebenarnya, mereka memanggil Jeno dengan sebutan 'bodoh'. Jika ada pihak yang paling berdosa, maka mereka lah yang paling besar dosanya.
Mereka tentu saja patut disalahkan atas perlakuan buruknya pada Jeno.
"Kau membenci appa?"
Jeno dengan cepat menarik kepala dari pelukan Jaehyun dan menggelengkan kepala. Menatap sang kakak dengan tulus dan tersenyum lembut.
"Bagaimana bisa aku membenci ayahku sendiri? Bagaimana bisa aku membenci orang yang dicintai oleh ibuku dan orang yang telah tersakiti karena kehadiranku?"
Kata-kata Jeno benar-benar membuat pertahanan Jaehyun runtuh. Rasa bersalah yang menumpuk di hati akhirnya meluap juga mendengar penuturan Jeno. Bahkan untuk sekedar berucap maaf pun rasanya sukar. Yang ada hanya getaran di bibir akibat isakan yang ia tahan.
Ia rengkuh kembali Jeno ke dalam pelukannya. Mengusap rambut hitam legam itu lembut.
"Aku menyayangimu, hyung. Aku menyayangi eomma, Yunho appa.. dan Donghae appa. Jika aku harus terlahir kembali, aku tak akan menyesal terlahir kembali sebagai seorang Jeno yang memiliki kalian semua.."
Suara Jeno semakin terdengar pelan pada bagian akhir dan perlahan digantikan oleh suara tarikan nafas yang tenang. Bocah itu sudah siap berkelana di dunia mimpi yang indah dalam pelukan sang kakak yang hangat.
"Tidur yang nyenyak adikku, hyung akan menjagamu"
.
.
.
TBC~
Ada yang nungguin ff ini gk??
Next chapter gk janji bisa cepet ya, jadi mohon bersabar..hehehe
Thankyou so much guys :3
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGIVEN [END]
FanfictionTak ada yang perlu dimaafkan, karena tak seorangpun berbuat kesalahan. Anggap semua itu sebuah cerita, serta yakinlah akan ada akhir yang bahagia.