Bab 2

102 3 0
                                    

            Dentuman pukulan kulancarkan belasan kali pada sebuah boneka kayu di depanku. Meski tanganku tidak dilapisi apa pun, tidak Nampak sedikit pun lecet di kedua tanganku. Lalu pada pukulan ke 27 boneka kayu itu hancur tidak bisa berdiri lagi. Boneka kayu ke lima yang hancur ini mengakhiri latihanku hari ini. Kulihat mentari sudah berada tepat di atas kepalaku. Aku duduk pada teras rumah halaman belakang pak Surya. Kaos putih yang berlumuran keringat kulepas lalu kuistirahatkan badanku yang kelelahan. Tampak di punggungku sebuah motif seperti bunga yang kata pak Surya merupakan sirkuit sihir yang mengikat jiwaku dengan raga ini. Dalam motif itu terdapat tulisan kuno bertuliskan "Mathala" yang berarti bumi. Elemen dan esensi bumi mengikat jiwaku. Oleh karena itu tubuhku menjadi sangat keras melebihi tubuh manusia biasa. Kulihat pula perutku yang dicengkeram oleh Lhemit tadi pagi tidak membekas luka apa pun. Namun, rasa sakit yang tadi pagi kurasakan benar – benar nyata. Aku mencoba mengingat kembali kejadian pagi tadi serta kematianku yang tidak wajar.

"Sudah selesai?"

Ucapan Anjani yang tiba – tiba sudah berdiri di belakakngku membuyarkan lamunanku. Kutolehkan pandanganku kebelakang menuju arah suara tadi. Tampak ia sedang membawa nampan berisi beberapa makanan dan minuman.

"Sudah, tapi tanganku terasa sakit", ucapku "Apa karena belum terbiasa ya?"

"Entahlah, kata ayahku kamu tipe Mathala pertama yang ia temui"

"Wah, memangnya ada berapa tipe?"

"Banyak, sudahlah makan ini dulu"

Anjani menyodorkan nampan yang ia bawa. Kuambil sebuah kue yang dibungkus daun pisang lalu kulahap. Ketan dan abon yang menyatu dimulutku mengurangi rasa laparku siang ini. Anjani duduk di sampingku sembari meminum secangkir teh yang ia bawa. Dahaga menggerogoti tenggorokanku setelah satu kue kuhabiskan. Aku segera meminum teh yang berada di atas nampan untuk membasahi tenggorokanku. Hilang sudah lelahku setelah latihan tadi. Angin sepoi – sepoi yang menerjangku ditemani tarian berbagai tanaman di halaman belakang rumah melengkapi istirahatku siang ini.

"Anjani, kenapa kampung ini sepi sekali?", tanyaku iseng.

"Ini semua gara – gara Lhemit", jawabnya "Semenjak serangan mereka beberapa hari yang lalu banyak warga pergi meninggalkan kampung ini"

"Apa aparat keamanan tidak mengambil tindakan?"

"Kejadian metafisika seperti itu mana mungkin bisa mereka atasi", jawabnya "Para warga menyerahkan semuanya kepada ayahku dan aku sembari menunggu kampung ini menjadi aman lagi"

"Wah, kalian berdua hebat ya."

"Ah, tidak juga. Hal seperti ini memang sudah menjadi tugas kami", ucapnya "Kalau kamu, apa yang terjadi dengan keluargamu?"

"Uhm, bagaimana ya ceritanya?" jawabku "Anggap saja keluargaku membuangku karena tidak kuat dengan tingkahku yang membawa sial, hehe"

"Lalu bagaimana caramu bertahan hidup?"

"Mereka masih mengirimiku uang bulanan kok, jadi mirip anak kos ya"

"Dasar. Kalau aku jadi kau, aku akan menemui mereka", ucapnya kesal.

"Haha, sudahlah, nggak penting", jawabku "Setelah ini apa yang harus kulakukan?"

"Nanti sore temui ayahku di ruangannya, ada yang mau ia bicarakan denganmu"

"Baiklah"

Aku membaringkan tubuhku pada lantai teras yang dingin sembari menatap langit. Waktu terus berjalan hingga senja pun tiba. Aku sudah bersiap di depan pintu ruang kerja pak Surya. Kuketuk pintu itu tiga kali lalu dibalas suara beliau yang menyuruhku masuk. Di dalam ruangannya terdapat banyak sekali benda – benda antik. Ia sedang duduk di belakang meja kerjanya yang dipenuhi berkas – berkas yang entah berisi tentang apa. Beliau kemudian berdiri mencari beberapa benda di antara koleksi antiknya sembari mempersilakanku duduk di atas karpet abu – abu. Sebuah benda sepanjang sekitar 40 cm berbalut kain putih ia bawa di hadapanku.

"Nak Mandala, sejatinya latihan siang tadi bertujuan agar nak Mandala bisa membiasakan diri dengan tubuh barumu", ucapnya "Bagaimana? Apakah sudah terbiasa?"

"Sudah lumayan pak. Ketika saya memusatkan tenaga pada kedua tangan saya, tangan saya menjadi lebih keras"

"Bagus, nak Mandala. Langkah berikutnya adalah pemilihan senjata", ucapnya "Berdasarkan data yang saya dapat, senjata ini mungkin cocok dengan nak Mandala"

Ia membuka kain putih yang membungkus senjata tadi. Terlihat sebuah keris dengan 7 batu berwarna merah yang menempel pada inti keris itu. Gagang keris itu terbuat dari kayu dengan ukiran yang rumit.

"Senjata ini bernama Pisareh. Konon senjata ini mampu memusnahkan 7 jiwa terkutuk yang menghantui 7 samudra"

"Senjata hebat seperti ini kenapa bapak berikan kepada saya?"

"Karena waktu kita tidak banyak, nak Mandala", jawabnya "Besok malam kita harus memulai serangan kita melawan penguasa Lhemit itu"

"Baiklah pak Surya"

Aku menerima senjata yang diberikan beliau. Kugenggam sejenak senjata itu lalu tiba – tiba ruangan di sekelilingku menjadi gelap. Aku berdiri karena terkejut. Seluruh ruangan benar – benar gelap dan sunyi. Kakiku bergerak berlarian mencoba mencari cahaya namun tidak ada seberkas pun yang terlihat. Samar – samar muncul cahaya merah di depanku. Aku berjalan perlahan mencoba mendekatinya. Tujuh cahaya merah kecil yang melingkar itu semakin memancarkan cahaya terang. Lalu melesatlah mereka secara tiba – tiba menusuk tubuhku. Tubuhku terkoyak kesakitan. 

4 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang