Bab 6

31 0 0
                                    

            Malam sendu perlahan mengubah warnanya menjadi jingga. Mentari pagi perlahan menampakkan dirinya. Cahayanya melangkah malu – malu menyapa bumi. Dalam cahaya itu pun mulai nampak mozaik kehidupan manusia. Ada mozaik yang menggambarkan kesibukkan mereka. Ada pula yang menggambarkan keheningan. Lalu dalam hiruk pikuk itu, aku sedang berdiri di sebuah mozaik yang amat khitmad. Pagi ini jasad guruku dikremasi sesuai wasiatnya. Tampak beberapa kerabat berkumpul menyaksikan kremasi hari ini. Dari sekian banyak kerabat itu, kulihat Anjani berdiri sendiri seperti orang asing. Ia berjalan menuju jasad ayahnya yang kini sudah tersimpan rapi di dalam wadah abu. Ia menerima wadah itu dari juru kremasi lalu langsung undur diri ke dalam rumah. Aku ingin menyapanya namun suasana tempat ini membuatku canggung. Selepas acara kremasi aku menuju kamarku mencoba memejamkan mata. Pertarungan kemarin menguras banyak tenaga dan pikiran. Andai tubuh yang kumiliki ini tubuh manusia biasa, saat ini aku pasti sudah tidak bisa bergerak. Kulihat kedua tanganku yang sedikit lecet karena pertarungan kemarin. Tersirat sebuah tanya mengapa pak Surya menciptakan kekuatan ini.

"Tentu saja agar umat manusia tidak bertarung lagi"

Sebuah suara terngiang di ruanganku. Aku melihat pak Surya sedang duduk di atas kursi di samping kasurku.

"Tujuanku membuat Lhemit tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menghentikan pertarungan antar manusia", ucapnya "Namun si pengkhianat Everhart itu sudah menghianati saya, nak Mandala"

"Aku menghormati usahamu, pak Surya", ucapku "Dendam kepada Everhart, biar aku yang membalas"

"Saya tidak dendam kepadanya, nak Mandala", jawabnya "Tunaikan saja janjimu dulu"

"Janji?"

"Janjimu untuk melindungi Anjani"

"Anda benar, tidak ada gunanya menyimpan dendam"

Pak Surya bangun dari tempat duduknya lalu hendak beranjak pergi. Ia menoleh kepadaku sambil tersenyum.

"Sebenarnya, Everhart bukanlah tandingan nak Mandala", ucapnya "Nak Mandala, anda merupakan salah satu dari anak dalam ramalan kan?"

Nafasku tersenggal. Aku terbangun mengangkat tubuhku terduduk di atas kasur. Nafasku yang tidak beraturan mencoba kuatur perlahan. Kulihat hanya aku sendiri yang berada di ruangan ini. Semua yang barusan terjadi hanya mimpi belaka namun terasa nyata. Aku segera beranjak dari kasurku lalu berjalan menemui Anjani. Kulihat ruang tamu dipenuhi orang-orang berjas hitam. Cara mereka berpakaian tampak elegan namun garang. Kulanjutkan langkahku untuk mencari Anjani. Langkahku cepat seperti angin hingga dua laki-laki berjas hitam menghentikan langkahku. Mereka melarangku menemui Anjani yang sedang berada di dalam kamarnya.

"Kenapa kalian menghalangiku?"

"Mohon maaf, nona Anjani sedang tidak ingin bertemu dengan siapa pun"

"Izinkan aku bertemu dengannya sebentar saja", bantahku.

Dua orang itu mencoba menghadangku namun dengan mudahnya aku bisa melewati mereka. Pintu kamar kayu itu kubuka dengan keras. Tampak Anjani menoleh kaget ke arahku. Ia sedang berdiri menatap jendela kamarnya.

"Ada apa Mandala?"

"Aku tahu bahwa kita sedang berduka namun apakah kita hanya akan berdiam diri disini?"

"Melawan Everhart perlu persiapan yang matang", ucapnya "aku sudah menyiapkan sebuah rencana"

"Lalu kenapa kau tidak memberitahuku?"

"Aku takut kau nanti akan mengacaukan rencanaku", ucapnya "Apa kau lupa bahwa di akhir hari ini kau akan menjadi Lhemit?"

Aku terdiam tak mampu menjawab ucapan Anjani. Memang benar apa yang dikatakannya, malam ini adalah malam terakhirku sebagai manusia. Esok aku akan menjadi makhluk-makhluk yang selama ini kami lawan sekuat tenaga. Aku terduduk lemas di kursi dalam ruangan itu. Aku menundukkan kepalaku mencoba memeras otak.

"Maaf karena aku egois", ucapku lirih "Tapi, aku sudah berjanji kepada pak Surya"

"Janji apa yang sudah kau ucapkan?"

"Janji ini hanya bisa kupenuhi dengan cara mengalahkan Everhart", jawabku "Oleh karena itu, izinkan aku membantumu"

"Aku takut ketika waktumu habis nanti kau malah menjadi beban"

"Kalau begitu bunuh saja aku", bentakku "Bukankah aku akan tunduk patuh kepadamu saat menjadi Lhemit nanti"

Ia terdiam lalu memutar pandangannya membelakangiku. Tatapannya bimbang ke arah langit biru siang itu. Ia tampak berpikir dengan penuh pertimbangan.

"Yang kau ucapkan tadi adalah skenario terbaiknya", ucapnya "Aku takut kau malah tunduk kepada Everhart"

"Percayalah padaku, aku tidak akan membiarkan diriku tunduk pada Everhart", jawabku "aku akan melakukan apa pun untuk mencegah hal itu terjadi.

Aku tidak mampu menatap Anjani karena aku sendiri belum sepenuhnya yakin dengan ucapanku tadi. Tapi tekadku untuk melindungi orang – orang membuatku merasa mampu melakukan segalanya.

"Kalau tekadmu sudah bulat, persiapkan dirimu untuk pertarungan akhir petang nanti"

Aku mengangguk setuju. Lalu siang ini kuhabiskan dengan berlatih dan mengumpulkan tenaga untuk pertarungan petang nanti.

4 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang