Bab 3

74 2 0
                                    

Aku terperanjat terduduk di atas kasur. Terbangun dari pingsanku, aku beranjak turun dari kasur. Tanganku masih memegang senjata yang diberikan pak Surya. Cahaya yang tidak terlalu memenuhi ruangan ini mebuatku menebak – nebak apakah ini sore atau pagi. Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri? Pertanyaan ini muncul di kepalaku disusul aroma makanan yang menyapa hidungku. Aku berjalan keluar ruangan mengikuti arah aroma tadi. Sampailah aku pada ruang keluarga. Kulihat pak Surya dan Anjani sedang duduk hendak menyantap makanan di atas meja.

"Selamat pagi nak Mandala", ucap pak Surya

"Cuci muka dulu sana, jangan langsung makan", ucap Anjani sinis.

Aku bergegas ke kamar mandi mencuci muka lalu duduk bersama kedua orang tadi. Kami menikmati nasi ayam yang sudah tersedia di atas di meja.

"Sudah berapa lama saya pingsan?", tanyaku kepada mereka.

"Tidak genap satu hari nak Mandala. Lebih tepatnya satu malam", ucap pak Surya

"Kenapa saya langsung pingsan setelah memegang Pisareh?"

"Kejadian ini memang wajar terjadi apabila sebuah senjata mistis memilih penggunanya", ucap beliau "Apa yang nak Mandala alami di alam bawah sadar berhubungan dengan kekuatan senjata itu"

"Saya melihat tujuh cahaya merah menusuk saya", jelasku "Itu artinya apa pak?"

"Entahlah, coba nanti ketika latihan nak Mandala gunakan Pisareh"

"Apakah bapak pernah mengalami hal seperti ini?"

"Pernah, saya bermimpi tubuh saya mengeluarkan api dan ternyata senjata saya dapat mengeluarkan api"

"Wah, berarti senjata saya bisa mengeluarkan tujuh laser", ucapku girang.

"Kita lihat saja di latihan tandhing nanti", ucapnya "Saya akan memilihkan lawan yang sesuai dengan nak Mandala"

Aku tersenyum kepada beliau. Makananku di atas meja lekas kuhabisakan lalu aku segera bersiap – siap untuk latihan. Kali ini pak Surya mendampingi latihanku. Ia menjelaskan bahwa untuk mengeluarkan kekuatan sebuah senjata mistis aku harus memfokuskan tenagaku pada senjata tersebut. Boneka kayu kemarin menjadi sasaran empukku lagi. Sama seperti saat aku mencoba memfokuskan kekuatanku pada kepalan tanganku kemarin, kali ini aku melakukannya pada Pisareh yang sudah kugenggam. Puluhan kali boneka kayu itu kutebas namun senjataku belum menunjukkan kekuatannya.

"Konsentrasi lebih dalam lagi nak Mandala!", ucap beliau.

Aku terdiam sejenak sembari memasang kuda – kuda. Nafasku kuatur, otot – ototku kulemaskan. Aku mencoba mengalirkan tenagaku pada Pisareh sembari menatap sasaran boneka kayu yang akan kutebas. Tiba – tiba cahaya merah memancar dari 7 batu yang menempel pada senjataku. Tersadar bahwa kekuatannya sudah muncul, aku menebas sasaranku dengan segera. Lalu terbelahlah boneka kayu itu menjadi dua.

"Apa hanya begini saja?", gumanku.

"Bagus nak Mandala, senjata itu sudah mau mengeluarkan kekuatannya", ucap Beliau.

"Tapi, apa hanya segini kekuatannya pak?"

"Kita lihat saja nanti", ucapnya "Sekarang saatnya latihan tandhing, lawanmu sudah menunggumu"

Dari dalam rumah pak Surya yang gelap kulihat seberkas cahaya berwarna biru. Cahaya itu bergerak mendekat lalu tampaklah sosok yang menjadi lawanku hari ini. Kulihat ia mengenakan perlengkapan tempur yang sangat futuristik. Kedua tangannya diselimuti pelindung dari besi hingga tampak seperti lengan robot. Sepatu besi setinggi lutut terpasang kokoh sekali di kakinya. Visor pelindung kepalanya bersinar terang meski hari menjelang siang. Ia terus berjalan mendekat hingga berada sekitar lima langkah di depanku. Samar – samar sosoknya mulai bisa kukenali.

"Anjani?"

Aku terperanjat kaget saat mengetahui bahwa lawanku adalah Anjani. Kulihat seluruh baju zirahnya kini mengeluarkan cahaya biru.

"Siap, Mandala?"

"S . . . ."

Pukulan tangan kanan Anjani tiba – tiba sudah melesat tepat di depanku. Aku mencoba menangkisnya dengan tangan kiriku. Belum usai, tangan kirinya melesat menyusul ke arahku. Tangan kananku yang sedang memegang Pisareh mencoba menangkisnya sebisa mungkin namun sudah terlambat. Pukulannya berhasil membawa tubuhku terpental ke belakang sejauh tiga meter.

"Sebentar! Aku belum siap", bentakku "Pak Surya, bolehkah saya meminjam ikat pinggang untuk menyimpan Pisareh?"

"Tentu nak Mandala", jawabnya.

Beliau menyerahkan ikat pinggang yang terdapat sarung senjata menempel pada bagian belakang. Aku segera memakai ikat pinggang tersebut sembari menyelipkan Pisareh pada sarungnya yang terdapat di belakang badanku. Selesai dengan persiapanku, aku segera memasang kuda – kuda siap bertarung.

"Nah, sekarang aku sudah siap untuk adu pukul denganmu"

Anjani juga memasang kuda – kudanya. Aku melesatkan pukulanku dengan tangan kanan hendak membalas serangannya tadi. Dengan mudahnya, ia menangkis seranganku dengan punggung tangan kirinya. Sebuah perisai cahaya tampak muncul menahan pukulanku lalu menghilang. Seranganku kulanjutkan dengan pukulan tangan kiri mengarah ke perut. Namun, dengan mudahnya ia menahan seranganku dengan tangan kanannya. Dalam posisi bertahan itu, ia menekuk kakinya sambil agak membungkuk. Kedua tangannya mengeluarkan perisai cahaya lalu melesatlah ia ke arahku dengan sangat cepat. Tersadar ia hendak menyerangku, aku melempar badanku ke kiri sejauh tiga meter untuk menghindar. Hampir saja aku tertabrak serangannya tadi. Ia segera berhenti setelah mengetahui bahwa serangannya meleset lalu memasang kuda – kuda lagi. Aku pun bersiap menyerang lagi. Pukulan demi pukulan saling berbalas dalam pertarungan kami hingga akhirnya ia berhenti sejenak sembari menekan tombol di visor kepalanya.

"Tubuh kerasmu itu merepotkan juga ya", ucapnya.

Tubuhku yang lebih keras daripada tubuh manusia biasa ini memang memberiku keuntungan dalam pertarungan ini. Beberapa pukulan Anjani yang tadi mengenaiku pasti berdampak fatal pada tubuh manusia biasa. Kulihat baju zirahnya kini mengeluarkan warna merah. Waspada terhadap kekuatannya, aku menarik Pisareh dari tempatnya. Kami pun melesat bertabrakan saling menyerang. Tinju tangan kanannya kucoba untuk kutangkis dengan tangan kiri sembari menghindar ke arah kanan. Melihat ada celah, aku mencoba menyerang visornya dengan Pisareh. Namun, lagi – lagi ia berhasil menangkis seranganku. Aku mundur sejenak karena tangan kiriku kepanasan seperti terbakar. Pukulannya kini memiliki suhu panas yang mampu membakar lawannya. Aku harus lebih berhati – hati.

"Alatmu hebat juga ya", pujiku.

Ia diam saja sambil menggerakkan kedua tangannya menangkis sesuatu. Aku sempat kebingungan melihat tingkahnya namun hal tersebut merupakan kesempatan emas bagiku. Kulesatkan serangan Pisareh bertubi – tubi meski ia mampu menangkis semuanya.

"Trik apa yang kau gunakan?", teriaknya

Aku berhenti menyerang sejenak. Kulihat ia masih menangkis serangan – serangan yang muncul entah darimana. Mungkin serangan itu adalah perwujudan dari kekuatan Pisareh. Aku pun memfokuskan tenagaku pada Pisareh hingga ketujuh batunya mengeluarkan cahaya. Kupusatkan pandanganku pada tombol di visor kepalanya yang menjadi sasaran seranganku. Kulesatkan tebasan Pisareh tepat kea rah Anjani. Ia berhasil menangkis seranganku dengan kedua tangannya namun beberapa tebasan muncul menyerangnya hingga visornya pecah. Cahaya pada baju zirahnya redup dan visornya jatuh ke atas lantai. Besi yang melindungi tubuhnya kini hanya menjadi beban baginya. Ia belum menyerah. Tangan kanannya mencoba melesat menyerangku namun langkahnya terhenti. Pisareh sudah kutodongkan tepat di depan wajah cantiknya. Ia menarik tubuhnya lalu berdiri tegak. Tangan kanannya mengepal lalu ia julurkan ke arahku.

"Nice match", ucapnya.

"Terima kasih", jawabku sambil tersenyum.

Aku membalas kepalan tangannya dengan pukulan kecil. Angin kering berlarian di atas tanah kami berpijak. Mentari sudah mencapai pada ujung siang. Kami pun mengakhiri latihan hari ini dengan beristirahat di teras sembari menikmati santapan yang sudah disediakan oleh pak Surya.

4 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang