Bab 7

26 0 0
                                    

            Deru kendaraan keluarga Anjani bersautan di jalanan kota. Langkah kami dalam menyusuri aspal hitam malam ini disaksikan oleh rasi bintang gubuk penceng. Aku terduduk di dalam sebuah mobil sedan yang dikendarai Anjani. Bajunya berwarna hitam rapi mirip seperti orang yang baru saja menghadiri pemakaman. Dalam wajahnya masih tampak kesedihan yang ia rasakan. Meski begitu baju zirah untuk pertarungan malam ini sudah ia siapkan di bagasi mobil. Kami meluncur bersama beberapa mobil sedan yang mengekor di belakang kami. Terbesit sebuah tanya dalam pikirku tentang identitas Anjani sebenarnya.

"Rumahmu tadi ramai sekali ya"

"Iya"

"Apakah mereka semua keluargamu?"

"Bukan, mereka semua hanya kerabatku", jawabnya "Ada masalah yang sedang dihadapi keluargaku sehingga mereka tidak bisa datang kesini"

"Oh"

Aku tidak berani bertanya lebih jauh lagi. Cara bicara Anjani terlihat seperti orang yang sedang kecewa. Ia terus menatap ke depan sembari menaruh perhatiannya pada mobil yang ia kendarai.

"Sejak berusia 7 tahun aku tinggal bersama Ayahku", ucapnya "Karena keluargaku tinggal di tempat yang jauh, aku jarang bertemu dengan mereka"

"Bahkan bertemu dengan ibumu?"

"Iya, Ibuku dan kedua kakakku terlalu sibuk menangani bisnis keluarga"

"Wah, kau mirip denganku ya?"

Ia menghentikan mobilnya lalu menoleh ke arahku dengan tatapan sinis.

"Maksudmu?"

"Kita berdua jarang atau bahkan tidak pernah bertemu keluarga kita", jawabku "Meski begitu, lebih mendingan kamu karena masih hidup bersama Ayahmu"

"Oh, mungkin"

"Ngomong – ngomong, kenapa kita berhenti disini?"

"Kita sudah sampai"

Kulihat sekeliling tempat ini dipenuhi kargo besi yang biasa digunakan truk untuk membawa barang. Desiran ombak malam juga samar – samar terdengar di telingaku. Aku melihat lautan yang luas berada agak jauh dari mobil kami. Kami berada di dekat satu – satunya pelabuhan yang ada di kota ini. Ia turun dari mobil lalu membuka bagasi. Aku pun segera keluar dan menyiapkan Pisareh dan Waruga yang tadi kutaruh di dalam tas. Aku termenung sejenak melihat ikat pinggang pemberian pak Surya. Kini ikat pinggang ini sudah memiliki dua sarung pedang yang akan membantuku dalam pertarungan. Aku segera menutup badanku dengan jaket berwarna abu – abu. Beberapa orang berjas bermunculan di belakang kami. Anjani sudah selesai mempersiapkan baju zirahnya. Kali ini zirah yang ia pakai tampak berbeda. Ada sebuah balok besi mirip seperti sarung pedang terpasang di punggungnya. Kulihat ada gagang di ujung wadah tersebut. Kami segera berkumpul mempersiapkan diri.

"Saya ulangi lagi ringkasan rencana kita, Mandala dan saya akan maju melawan Everhart", ucap Anjani "Apa pun hasil dari pertarungan kami, sebisa mungkin segera hancurkan markas Everhart dan jangan biarkan ada satu pun Lhemit yang kabur, mengerti?"

"Siap, mengerti", ucap para kerabat Anjani.

"Apakah pasukan di laut sudah siap?"

"Meriam kami sudah siap, Nona", ucap salah seorang dari mereka.

"Lalu kau Mandala, aku ingatkan kembali untuk segera menghancurkan tubuhmu semisal kau mulai hilang kendali"

4 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang