Bab 10

30 0 0
                                    

            Matahari siang ini bersinar sangat terang. Pohon – pohon berdiri mengamatinya yang tersenyum di atas awan. DI antara pepohonan itu ada sebuah rumah besar milik penjaga hutan di kawasan itu. Terdengar suara baling – baling helicopter mengusik keheningan hutan itu. Helikopter yang mendarat itu menurunkan penumpangnya. Tampak Seorang gadis turun dari helicopter lalu berjalan menuju rumah penjaga hutan. Di depan rumah itu berdiri seorang bapak - bapak dengan seragam pegawai pemerintah menyambutnya dengan senyum ramah. Gigi putihnya yang agak maju menghiasi senyumnya. Mereka berdua masuk ke dalam rumah lalu meneruskan langkah mereka ke dalam ruang tamu. Gadis itu menyerahkan dua buah senjata kepada lelaki itu. Ia tampak terkejut saat menerima benda itu.

"Atas wasiat Mandala, aku menyerahkan benda ini kepadamu"

"Senjata ini sudah dicari oleh keluarga kami selama puluhan tahun", ucapnya "Adakah yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikan anda"

"Tidak perlu sungkan", ucapnya "Namun, jika boleh tahu, apa yang keluarga kalian lakukan kepada Mandala"

Lelaki itu menaruh senjatanya. Ia merapikan duduknya sembari mengenang masa lalunya. Kisah masa lalunya yang berkaitan dengan kisah Mandala. Ia memulai ceritanya dengan berkata bahwa dulu sekali ada seorang bayi yang tidak menangis ketika dilahirkan. Dalam keluarganya, apabila ada bayi seperti itu maka ia dianggap bayi terkutuk. Jika terus dibiarkan, kutukannya akan merubahnya menjadi monster. Tak ingin hal itu terjadi, kakeknya segera menyiapkan upacara untuk menyegel kutukan bayi itu. Dipotonglah sehelai rambut bayi itu lalu dibuang ke dalam lahar panas gunung berapi untuk menyegel kutukannya. Sesaat setelah kejadian itu, bayi itu pun menangis. Ia mendapatkan kembali hidupnya namun siksaannya baru dimulai dari sekarang. Selama hidup ia tidak boleh bertemu dengan keluarganya lagi agar segel kutukannya tidak rusak. Pria itu menghentikan sejenak ceritanya. Ia menarik nafas panjang lalu melanjutkan ceritanya

"Ia pun tidak dianggap lagi sebagai anggota keluarga itu", ucapnya "Lalu tumbuhlah bayi itu menjadi seorang lelaki gagah yang sedang duduk di depanmu, nona"

"Maaf, aku izin pamit"

"Tunggu sebentar", teriaknya "Maaf, akan kuceritakan kisah Mandala"

Gadis itu membatalkan tinkahnya yang hendak beranjak pergi. Ia kembali duduk lalu mendengarkan lanjutan ceritanya. Pria itu berkata bahwa kisah Mandala tidak jauh berbeda dengannya hanya saja kutukannya lebih parah. Kakeknya menggunakan air dari dua sungai yang bersatu untuk menyegel kutukannya. Konon air itu sangat langka hingga seluruh keluarga kesulitan mencarinya. Konsekuensi yang diterima Mandala pun lebih berat. Kalau pria tadi masih diperbolehkan mengirim surat kepada keluargaku tapi Mandala tidak. Ia tidak boleh bertemu dan berkomunikasi dengan keluarganya.

"Itu sangat tidak adil"

"Memang, tapi inilah jalan terbaik bagi orang – orang seperti kami", ucapnya "Seharusnya Mandala masih bisa menghubungiku karena aku sudah tidak dianggap keluarga oleh kakekku tapi Ia memilih untuk bertarung sendiri"

"Ia tidak bertarung sendirian, Pak", ucapnya "Sampai akhir hayatnya pun ia tidak sendiri"

"Meski begitu, aku tahu kesendirian yang Mandala alami", ucapnya "Kami ini sama – sama dibuang"

Lelaki itu terdiam. Ia menundukkan kepalanya sejanak lalu diangkat lagi. Dengan senyum ramahnya ia memandang gadis itu.

"Kalau begitu, terima kasih sudah menemani sepupuku hingga akhir hayatnya"

"Aku yang seharusnya berterima kasih kepada Mandala", ucap gadis itu sembari hendak beranjak pergi.

"Lalu, apa yang akan anda lakukan sekarang wahai nona Anjani Steambug?"

"Ada bisnis keluarga yang harus kuteruskan", ucapnya "Aku pamit, selamat siang pak Taruna"

"Selamat siang, Nona"

Anjani tersenyum manis. Senyum yang ia tampakkan seolah – olah senyum yang ia janjikan kepada Mandala. Ia melangkah dari tempat itu menuju tujuannya berikutnya. Tampaknya wasiat dari Mandala sudah ia penuhi. Helikopter miliknya sudah siap membawanya terbang. Baling – baling kendaraan udara itu mulai berputar perlahan lalu semakin cepat. Anjani terbang menuju awan lalu tidak terlihat lagi. Pak Taruna sejak tadi terus melambaikan tangannya hingga pegal. Ia pun masuk kembali ke dalam rumahnya. Lalu dalam ruang tamu tadi, pak Taruna berdiri sembari memegang kedua senjata itu.

"Anak yang akan melawan pemimpin dunia dan membimbing yang jahat sudah meninggal wahai pak tua", gumannya "Apa sebenarnya rencanamu terhadap kami?"

-4 Days End-

4 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang