Bab 8

25 0 0
                                    

Beberapa tongkat runcing berlian melesat ke arahku. Aku segera menghindar dengan sisa tenagaku. Anjani yang tadi kutopang terjatuh ke atas tanah. Kami berhasil menghindar namun punggungku tertusuk salah satu tongkat tadi. Aku segera berubah menjadi gumpalan air untuk mengeluarkan tongkat tadi dari tubuhku.

"Hati – hati, Mandala", ucap Waruga "Dia masih hidup"

"Tunggu sebentar, kau bisa bicara?"

"Tentu saja"

"Sejak kapan?"

"Kujelaskan nanti saja", jawabnya "Untuk saat ini kita harus fokus pada musuh di depan kita"

Kobaran api tadi perlahan mulai menghilang. Sosok Everhart muncul dari balik kobaran api itu. Tongkat berliannya tampak berubah bentuk menjadi perisai. Di sampingnya terkapar jasad Aguila. Ia mengibaskan perisainya lalu api di sekitarnya padam seketika.

"Jadi, hanya tinggal kita berdua ya?", ucapnya "Aku kehilangan seorang prajurit yang hebat, maukah kau menggantikannya?"

"Tidak sudi", balasku "Aku masih dendam padamu"

Aku segera melesat ke depan lalu menebasnya dengan Pisareh. Dengan mudahnya ia menahan seranganku menggunakan perisainya. Ia tersenyum sejenak lalu perisainya tiba – tiba berubah menjadi tombak yang ia gunakan untuk menusukku. Aku segera merubah tubuhku menjadi gumpalan air lalu menghindar ke belakang.

"Jangan gegabah, Mandala", ucap Waruga "Kau bukan tandingannya"

"Lalu apa yang harus kita lakukan?", tanyaku.

"Untuk saat ini kita mundur saja dulu", ucapnya "lempar aku ke arah Anjani lalu kita mundur sambil mencari siasat baru"

"Maaf, aku sudah kehabisan waku"

"Tunggu sebentar, argh!"

Aku tidak mau mendengarkan ucapan Waruga lagi. Segera kumelesat ke arah Everhart lalu menyerangnya dengan Pisareh. Kali ini setiap selesai melancarkan serangan, aku langsung berubah menjadi gumpalan air lalu muncul di belakang Everhart untuk menyerang lagi. Tebasan demi tebasan kulemparkan ke arahnya namun semua seranganku berhasil ditangkis olehnya. Tatapan matanya mengisyaratkan bahwa ia sudah hafal pola gerakanku. Pisarehku pun akhirnya berhasil dipukulnya hingga terlempar jauh dari tanganku. Tubuhku tidak bisa berubah menjadi gumpalan air seutuhnya lagi karena tenagaku sudah habis. Ia merubah senjatanya menjadi pedang lalu mencoba menebasku. Waruga di tangan kiriku mencoba menangkisnya dengan susah payah.

"Menyerahlah, nak", ucapnya "Ilmumu belum seberapa"

Aku menyeringai sejenak lalu mengalirkan tenagaku ke dalam Waruga. Senjataku memancarkan cahaya biru lalu kilatan cahaya merah muncul di belakang Everhart. Cahaya merah itu perlahan melesat menembus pinggang Everhart. Kupegang cahaya merah itu yang berangsur – angsur berubah menjadi Pisareh.

"Jangan remehkan murid pak Surya, Everhart"

Nampak tujuh sayatan menyusul melukai tubuh Everhart tapi tidak terlalu berdampak pada tubuhnya. Ia memegangi pinggangnya yang berdarah sebentar lalu mengangkat senjatanya lagi.

"Lumayan, nak", ucapnya "Aku tidak akan meremehkan murid pak Surya lagi"

Ia segera melesat ke arah Anjani lalu mencoba menebasnya dengan pedang di tangannya. Aku segera menyusulnya menahan serangannya dengan Pisareh di tangan kananku. Ketika senjatanya hampir mengenai Pisarehku ia membelokkan serangannya ke arah tanganku. Aku terkejut. Aku terlalu lelah untuk merubah wujudku lagi hingga akhirnya pedangnya berhasil mengenai tanganku. Siku hingga telapak tanganku putus bersamaan dengan Pisareh. Sambil menahan rasa sakit, aku mundur sejenak lalu melemparkan Waruga ke arah Anjani.

"Waruga, maaf!", ucapku.

Waruga berubah menjadi gumpalan air yang berbentuk ikan Hiu. Ia menggigit tubuh Anjani lalu membawanya pergi. Anjani berhasil diselamatkan namun Everhart menyerangku lagi. Ia menendang perutku hingga aku terjatuh di atas tanah. Tangan kiriku diinjak kaki kanannya lalu ia menancapkan senjatanya ke dadaku.

"Temuilah ajalmu, bocah!"

Mataku mulai berkunang – kunang. Telingaku tuli. Malam pun semakin gelap. Aku kehilangan kesadaranku. Gelap dan hanya gelap yang bisa kulihat. Dalam kesunyian dan gelap yang pekat, aku mendengarkan sebuah suara. Suara yang menyerupai riak air yang mengalir.

"Aku sudah menunggumu", ucap sebuah suara yang tidak kuketahui asalnya

Kulihat ada sesosok bayangan terduduk di atas padang rumput yang dikelilingi genangan air. Matanya yang merah bercahaya sedang menatapku.

"Kau siapa?", gumanku.

"Aku adalah kutukan yang selama ini menemanimu"

"Maksudmu?"

"Aku adalah alasan dibuangnya engkau dari keluargamu", ucapnya "tidak pernahkah kau mendengar kisahku?"

Aku terdiam sambil tertunduk. Ucapannya mengingatkanku tentang masa laluku yang pahit. Aku tidak ingin mengingatnya lagi. Bayangan itu berdiri lalu menjulurkan tangannya ke arahku.

"Kau belum mati, Mandala", ucapnya "Tetapi waktumu tidak banyak"

"Apa maumu?"

"Aku bisa mengabulkan satu permintaanmu tetapi kau harus mengabulkan satu permintaanku"

"Permintaan apa?"

"Permintaanku lebih rendah dari permintaanmu", ucapnya "Lompatilah air ini dan jabatlah tanganku"

Tanpa pikir panjang aku menyeberangi genangan air yang mengelilinginya lalu menjabat tangannya. Perlahan genangan air itu surut lalu menghilang. Padang rumput yang tadinya sempit sekali tiba – tiba mulai menyebar ke segala arah.

"Kau sudah melepas segelku", ucapnya "Permintaanmu untuk balas dendam akan kukabulkan"

Aku terkejut. Bagaimana mungkin makhluk itu bisa tahu isi hatiku. Aku terbangun kembali ke dalam jasadku. Kulihat Everhart masih menancapkan pedangnya di atas dadaku. Tiba – tiba energi panas yang sangat besar terasa memenuhi tubuhku. Ia terkejut lalu menarik senjatanya sembari mundur. Tubuhku berdiri tegap siap bertempur lagi. Meski begitu, ia bergerak atas kemauannya sendiri. Aku sudah tidak bisa mengendalikan tubuhku. Tangan kananku yang putus tiba – tiba mengeluarkan percikan api yang berubah bentuk menyerupai tangan dengan kuku – kuku yang amat tajam. Mataku mengeluarkan cahaya merah penuh dengan kebencian. Tubuhku memasang kuda – kuda bersiap untuk menyabik lawan. Api di tangan kananku mulai membesar lalu melesatlah tubuhku ke arah Everhart menyabiknya dengan tangan kananku. Tangan apiku yang sudah membesar mampu menyabik seluruh tubuh Everhart meski ia menahanku dengan perisainya. Tubuh Everhart tidak terluka sedikit pun namun perisai berliannya menghilang. Aku menjulurkan tanganku ke arah Pisareh untuk memanggilnya. Pisareh segera melesat lalu bersatu dengan tangan kananku. Kulihat Everhart hanya terdiam dengan ekspresi wajahnya yang terkejut. Ia tampak panik lalu segera meraba seluruh pakaiannya.

"Kekuatan ini, hanya makhluk itu yang memilikinya", gumannya "Semua permata sihirku sudah dicuri olehnya"

Aku melesat ke depan lalu menusuknya dengan Pisareh. Tujuh tebasan yang menyusulnya berhasil membuatnya tumbang. Darah segar keluar dari mulutnya lalu disusul hembusan nafas terakhirnya. Dendam kami sudah terbayarkan. Tubuhku kemudian bergerak menuju kapal Everhart. Aku menghirup energi yang ada di sekitar lalu melepaskannya dari mulutku. Kobaran api tampak berhamburan menyelimuti badan kapal hingga akhirnya kapal itu meledak dan tenggelam. Tubuhku kemudian berlari lalu menghilang di gelapnya malam.

4 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang