Bab 5

37 2 0
                                    

            Semerbak aroma harum mengelilingi ruangan. Bara api menari – nari di mana – mana. Aku terduduk lemas dikelilingi api kecil yang ikut duduk di dekatku. Tampak bayangan sosok seseorang sedang berdiri di depan kami. Ia menahan bara api yang berhembus menuju kami dengan kedua tangannya.

"Ajining Agni gumantung ono ing Ati", ucapnya.

Lalu kulihat muncul cahaya dari punggung orang itu berbentuk seperti jantung. Cahaya berwarna bara api itu menyerap api yang menabraknya lalu perlahan meluas menyelimuti seluruh tubuh orang itu. Ia memasang kuda – kuda hendak melempar tinjunya sembari menunggu tubuhnya diselimuti cahaya api. Satu jurus kemudian melesatlah pukulan orang itu. Seluruh cahaya yang ada ditubuhnya melesat bersama tinjunya. Nampaknya tinju itu mampu mengusir semburan api monster itu hingga akhirnya membakar tubuhnya sendiri. Perlahan api di sekitar kami mulai padam. Aguila tampak terkapar lemas tak berdaya. Sosok manusia tadi perlahan mulai jelas wujudnya. Aku terkejut melihat sosok yang tidak asing itu.

"Ayah", rengek Anjani.

"Anjani, nak Mandala, segera pergilah dari sini!"

Pak Surya mengucapkan kalimatnya sambil memunggungi kami. Kulihat punggung beliau terdapat motif yang mirip dengan motif di punggungku. Aku terkejut, tak mampu berkata – kata. Orang yang selama ini membimbingku ternyata berada di kondisi yang sama denganku. Beliau sebenarnya sudah mati.

"Ayah, gambar di punggungmu itu tidak sungguhan kan?", rengek Anjani.

"Maafkan aku anakku, aku sudah tertipu", jawab beliau.

Tiba – tiba sebuah benda berkilau melesat cepat ke arah Anjani. Belum sampai mengenai sasarannya, benda itu sudah berhenti. Pak Surya menghentikan benda itu dengan menggunakan tubuhnya. Kami segera berlari ke arah pak Surya. Tiga buah intan berbentuk silinder menancap di perut beliau.

"Sudah saya bilang, pergilah dari sini", ucapnya "Ada orang berbahaya yang datang ke sini"

Pak Surya terduduk lemas. Kami berdua kebingungan. Samar – samar terdengar suara langkah kaki seseorang yang mendekat. Nampak di antara api yang mulai meredup, sesosok manusia berjalan memasuki ruangan. Ia laki – laki seumuran pak Surya berpakaian serba rapi dengan jubah biru hitam di punggungnya. Tampak sebuah tongkat dari berlian dipegang tangan kanannya. Rambutnya yang pirang dan panjang menunjukkan karisma yang ia miliki.

"Kau belum mati ya, Surya?"

"Hentikan perbuatanmu Everhart!", ucap pak Surya "Kau bilang bahwa kita akan menciptakan jembatan antara ilmu fisika dan metafisika namun ternyata Lhemit hina inilah tujuan awalmu."

"Orang yang sudah mati tidak perlu merengek lagi", balasnya "Lagipula sebentar lagi kau akan menjadi makhluk yang kau sebut hina tadi"

Pak Surya tak mampu membalas ucapan orang itu. Merasa tersudut, aku melesat ke arah orang itu sambil mengibaskan Waruga di tangan kananku. Dengan mudahnya seranganku ditangkis dengan tongkat berliannya. Aku mencoba memusatkan tenaga dalamku pada seluruh tubuhku. Jurus Tirta Raga berhasil kugunakan lagi. Tubuhku yang sudah menjadi air kugunakan untuk mengelabuinya. Aku mencoba menghilang ke bawah tanah lalu muncul dibelakangnya. Kutebaskan Waruga pada punggungnya namun ia berhasil menangkisnya. Kugunakan trikku sembari mencari titik butanya namun seranganku berhasil ia tangkis semua. Setelah beberapa seranganku tidak membuahkan hasil apa pun, aku terjatuh lemas. Tenagaku sudah habis dan wujudku kembali seperti semula. Ia tersenyum menatapku remeh lalu mencekikku hingga tubuhku terangkat ke atas.

"Temanmu ini payah sekali, Surya", ucapnya "Ia bisa memegang senjata pusaka tapi menggores bajuku saja tidak bisa"

"Lepaskan dia!", teriak pak Surya "Dia hanya bocah yang tidak tahu apa – apa"

Nafasku tersenggal. Kulihat pak Surya terkapar lemas tak mampu bergerak. Anjani berusaha untuk berdiri namun tanpa mesin yang terpasang di tubuhnya ia pun tak berdaya. Tangan Everhart mengeluarkan motif hitam mirip dengan yang dimiliki Aguila. Perlahan motif hitam itu merambat ke arah tubuhku lalu aku merasakan sakit yang luar biasa. Tubuhku terasa seperti dicabik – cabik dari dalam. Dalam keputus asaan ini, sebuah cahaya merah melesat ke arah Everhart. Ia langsung melompat mundur dan melepaskanku ke tanah. Ku elus sejenak leherku yang baru saja dicekik. Samar – samar cahaya merah tadi berbelok – belok di udara lalu menancap tepat di depanku. Bentuk cahaya merah tadi menyerupai senjataku yang hilang, Pisareh. Aku mengambilnya dengan tangan kananku. Tiba – tiba, Waruga di tangan kiriku mengeluarkan cahaya birunya. Kekuatan harmoni dari kedua senjata tersebut memenuhi tubuhku. Kupasang kuda – kuda bertarung hendak melawan Everhart lagi. Namun, Ia hanya tersenyum di sudut ruangan.

"Kurasa cukup untuk hari ini", ucapnya "Kutunggu kau besok di pelabuhan"

"Pengecut! Selesaikan sekarang saja urusan kita malam ini!", jawabku

"Kuberi tahu sesuatu bocah,waktu hidupmu tadi sudah kukurangi satu hari"

"Apa?"

"Mau tidak mau, besok kau akan menjadi salah satu pasukan Lhemitku", ucapnya "Aku akan merasa senang sekali memiliki Lhemit yang bisa menggunakan senjata keramat itu"

Everhart tertawa sejenak. Ia membopong Aguila lalu menghilang ke dalam kegelapan. Suara langkahnya menghilang bersama api di sekitar kami yang mulai redup. Aku kembali mendekati pak Surya yang masih lemas tak berdaya. Kulihat Anjani menangis sembari memegangi tangan ayahnya.

"Bertahanlah Pak", ucapku.

"Waktu saya memang sudah hampir habis nak", ucapnya "Maafkan saya karena tidak mampu mengalahkan Everhart"

"Saya akan mengalahkannya pak"

Ia tersenyum sejenak lalu berkata,"Jangan sampai kau berubah menjadi Lhemit"

"Tidak akan", gumamku

"Anjani, maafkan bapak nak", ucapnya lirih "Bapak tidak bisa membawa ibumu tinggal bersama kita"

"Tidak apa – apa yah", rengek Anjani

"Katakan padanya bahwa bapak selalu menyayanginya", ucapnya lirih "Kau dan kedua kakakmu, bapak menyayangi kalian"

"Anjani juga yah", ucap Anjani sambil meneteskan air matanya.

Kepala beliau tertunduk. Tubuhnya yang tadinya tegap, perlahan jatuh kehilangan tenaganya. Malam ini jiwa beliau pergi kembali ke asalnya. Anjani memeluk jasadnya lalu menangis sejadi – jadinya.

4 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang