[1] Sebuah Kehilangan

23.8K 1.4K 63
                                    

Terima kasih untuk yang mampir♥

~~~

"Tidak apa, Richard, pergilah. Kau memang suamiku, tapi aku tidak boleh egois untuk menepis kenyataan jika kau adalah milik Ibumu," Wanita muda itu, Laura tersenyum sambil menghapus pelan air matanya. "Aku ikhlas, demi Allah aku ikhlas. Pergilah, ibumu yang paling utama."

"Sedari awal pernikahan kita memang tidak diinginkan, Ra. Maafkan aku, karena pada akhirnya kita harus berpisah dengan cara yang seperti ini. Percayalah aku masih sangat mencintaimu, dan akan selalu mencintaimu."

"Aku tahu."

Dennies kecil, berdiri di ambang pintu sambil menatap kedua orang tuanya yang sedang membicarakan sesuatu di dalam kamar. Bocah berusia 3 tahun itu, menatap semuanya dalam diam. Ia tidak mengerti urusan orang tua, tapi melihat Ibunya yang tampak menangis, membuat bibir anak kecil itu bergetar. Ia tidak suka jika Ibu menangis, tangisan Ibu adalah tangisan Dennies.

"Surat cerai akan diantarkan oleh pengacaraku lusa."

"Ya, tentu saja."

Sambil menatap kedua orang tuanya, Dennies mengerjapkan pelan matanya. Ibunya, terlihat sedang memasukkan semua pakaian milik Ayahnya ke dalam sebuah koper besar berwarna hitam. Melihat itu, kaki kecil Dennies dengan segera melaju, berjalan pelan mendekati Ayah dan Ibunya yang ada di dalam kamar itu.

"Ayah mau ke mana?"

Richard menoleh, mendapati Dennies tampak berdiri tak jauh di hadapannya. Melihat itu, setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Richard. Putranya, putra yang sangat ia sayangi, Richard tidak ingin pergi jauh darinya, sungguh. Namun, hal yang ia hadapi saat ini tak mampu membuat ia egois untuk bertahan bersama anak dan juga istrinya. Richard harus pergi, demi Ibu yang dicintainya.

Tanpa menunggu lama, tangan kekar Richard memangku Dennies, memeluk dan mencium putranya dengan sayang, berusaha mencurahkan segala rasa rindu dan kasih sayang yang mungkin akan ia rindukan di masa depan.

"Maafkan Ayah sayang," ucap Richard pelan sambil mengelus lembut pipi Dennies.

Dennies menatap ayahnya bingung. "Maaf untuk apa, Ayah?"

Senyum tipis terbit di bibir merah Richard, pria berusia 26 tahun itu, kemudian menatap Dennies dengan lembut. "Dennies harus janji sama Ayah, jangan nakal, harus nurut apa kata Ibu, jagain Ibu juga untuk Ayah, ya?"

Dennies kecil menatap Ibunya. Ia tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh Ayahnya. Akhirnya, ia hanya menganguk, mengiyakan apa kata Ayahnya.

"Aya mau ke mana? Kok bajunya di masukkan ke dalam kopel?" tanya Dennies lagi cadel.

Richard tersenyum, kemudian kembali menciumi pipi Dennies dengan sayang. Putranya, Richard sangat menyayanginya.

"Ayah harus pergi, sayang."

"Ke mana?"

Napas Richard terasa sesak, air mata sudah menggantung di pelupuk matanya. Apa yang akan putranya rasakan jika Ayahnya akan pergi meninggalkannya dan sang Ibu? Richard paham, sekuat apapun ia menyembunyikam kebenarannya dari sang Putra, kelak waktu akan menjelaskan semuanya. Suatu saat, Dennies pasti akan mengerti, ia akan paham jika Richard pergi meninggalkan ia dan Ibunya untuk orang lain. Perlahan, rasa itu mulai ada. Rasa takut jika suatu saat nanti Dennies akan membencinya, membayangkan jika hal itu terjadi, mampu membuat Richard hancur saat itu juga.

DENNIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang