Kukembaliii🙈
Aku nulis chapter ini cuman 3 jam lho wkwk. Mumpung lagi rebahan cantuy, jadi langsung cuss ngetik. Nggak tau ngefeel apa enggak, nggak sempet aku revisi juga, jadi, maafkeun kalo ada typo hehe.
Yaudah sok ah, langsung aja.
Eh bentar, kasih emot dulu buat Author dungs😁
Terus, yang rindu Dennies ada berapa nih?🤔
Oke deh, selamat membaca para Haluersku❣️
~~
"Bagaimana keadaan putera saya, Dok?"
"Alhamdulillah, Pak Andrew sudah sadar. Tapi untuk saat ini, keadaannya masih lemah, jadi lebih baik pihak keluarga tidak dulu membebani pikiran yang berat pada Beliau."
Dari arah belakang kamar inap itu, Richard termenung lama. Duduk dalam diam sambil pandangannya ia arahkan ke arah lantai. Ia menunduk dalam, menahan sesak yang kian lama kian menggumpal di dadanya. Bahkan di saat semua anggota keluarganya berdiri untuk mendengar penjelasan dokter tentang keadaan kakaknya, ia hanya mampu diam, merasakan setiap rasa sakit dan segunung penyesalan yang kian semakin memupuk meyesakkan dadanya.
Dennies, Denniesnya, di mana dia? Di mana puteranya? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia menangis? Apa yang Richard lakukan terhadap puteranya itu memang tidak termaafkan, dan ia juga sadar bahwa ia memang tidak pantas dimaafkan. Tapi setidaknya, beri Richard kesempatan untuk melihat Dennies, ia ingin melihat wajah Dennies. Pencarian selama dua hari yang dilakukan oleh Charlie juga tak kunjung menemukan titik temu.
Di mana, di mana Denniesnya?
Sesak itu semakin menjadi, membuat Richard dengan keras mengepalkan kedua tangannya hingga baku jari pria itu memutih. Air mata itu, kembali jatuh. Memikirkan berbagai hal yang telah ia lakukan pada Dennies memang begitu membuatnya terus menerus menyakiti diri sendiri. Ia adalah ayah yang gagal. Ayah yang telah membuat putra kandungnya sendiri merasa tak memiliki keluarga di saat pada kenyataannya masih ada dia yang Dennies punya. Ia tidak pantas dimaafkan. Ya, ia memang tidak termaafkan.
"Maaf, Dennies.." Richard berbicara dengan nada lirih, giginya ia keratkan, berbarengan dengan itu, matanya kembali berkaca-kaca dan akhirnya kembali mengeluarkan air mata. Rasanya, kenapa begitu sakit dan menyesakkan?
Dennies...
Richard harus mencari sendiri Denniesnya. Ya, ia harus mencari Denniesnya. Apapun yang terjadi, ia harus menemukan Dennies. Di manapun, dan ke manapun, Richard harus menemukan Dennies.
"Richard?"
Richard diam, menghela napas panjang sambil berusaha keras untuk menahan sesak yang bahkan nyaris membuatnya tak bisa untuk sekedar bernapas. Ia ingin berbicara, namun nada bicaranya jelas akan sangat bergetar jika ia melakukannya. Akhirnya, lagi dan lagi Richard hanya bisa menunduk dalam, membiarkan air mata itu lagi dan lagi meluncur deras dari matanya.
"Kata Clara, Chloe demam, lebih baik kamu pulang saja. Keadaan kamu yang seperti ini juga tidak memungkinkan, muka kamu pucat, lebih baik kamu istirahat di rumah, sambil tenangkan juga Chloe."
Suara itu, entah kenapa hanya mampu membuat Richard semakin menundukkan kepalanya dalam. Rasanya sakit, sangat. Tapi, bukankah di saat seperti ini, Richard berhak egois untuk lebih memikirkan puteranya sendiri yang kini bahkan tidak ia ketahui di mana keberadaannya. Sebelumnya, boleh saja Richard selalu lemah, mengikuti semua kemauan Ibunya, bahkan walaupun kemauan itu harus menggores hati puteranya itu hingga berkali-kali. Tapi kali ini, ini bukan saatnya. Dennies sudah terlalu lama dikecewakan olehnya, Dennies terlalu lama disakiti oleh perbuatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENNIES
Teen Fiction[⚠️FOLLOW dulu sebelum membaca] Author: yakin mau baca? Udah siapin tissu?😌 ~~ 'Tentang dia, yang diamnya menyimpan banyak luka'. Kata ibu, sebagai seorang lelaki, Dennies harus bisa hidup mandiri, hidup keras merupakan hal lumrah yang dialami seti...