[14] The son of helper

8.2K 1K 96
                                    


~~~

"Bokap gue punya villa di Jakarta, kayaknya lokasinya juga deket sama rumah Ayah lo, Nies."

Dennies menoleh. "Terus?"

"Jangan bilang lo lagi mikirin apa yang gue pikirin lagi?" Tristan menimpali sambil sebelah alisnya ia angkatkan.

"Gue bakalan bawa Bi Arum sama Adnan tinggal di sana, kita juga kalo bisa, biar nggak kepisah," Danu tersenyum bangga, uang memudahkan segalanya.

"Gue pindah sekolah?" tanya Adnan.

Danu mengangguk. "Gue juga. Orang tua gue terlalu sibuk sama kerjaan masing-masing, mending gue tinggal sama lo sama Bi Arum Nan, di villa keluarga gue."

Pandu tampak menoleh, "Nu, nggak semudah itu, biay—"

"Uang bukan masalah buat gue," jawab Danu, "Kalian keluarga gue, keluarga yang bener-bener keluarga, walaupun nggak ketulis di KK," jelasnya kemudian menatap Dennies, "Gimana, Nies?"

Dennies hanya mengangguk. "Terserah kalian," jawabnya.

Danu menatap Adnan, kemudian tersenyum. "Gimana, Nan?"

Mendengar itu, Adnan tersenyum. "Kali ini gue gak akan nolak kebaikan lo yang kelewat over Nu, gue setuju."

Pandu mengangguk sambil menatap Dennies. "Hari ini kita ke sana Nu, lihat dulu tempatnya," kemudian ia menatap Dennies. "Nanti kita share lokasinya."

Dennies mengangguk sambil tersenyum tipis. Ya, mereka keluarga yang lebih dari sekedar keluarga.

"Apa kabar?"

Dennies menoleh ke arah Ayahnya. Ia, tak menjawab. Hal pertama yang ia lakukan justru malah menaikkan kakinya ke atas tempat duduk mobil yang ada di depannya. Tidak sopan? Ya, benar sekali. Tapi apa paduli Dennies? Bukankam menampilkan citra buruk di hadapan Ayahnya merupakan tujuan utama Dennies?

Sementara di sisi lain, Richard hanya menghela napas sambil kembali tersenyum sendu. Andai saja waktu bisa diputar, Richard ingin mengubah segalanya. Diacuhkan oleh darah dagingnya sendiri merupakan hal paling menyakitkan yang pernah ia alami selama ia hidup. Terlebih, melihat kelakuan Dennies yang jauh dari harapan Richard. Ia telah menyakiti Dennies, ia telah menghancurkan kehidupan Dennies. Sikap Dennies yang sekarang, benar-benar menampar Richard akan kenyataan jika ia telah benar-benar gagal menjadi seorang ayah. Bahkan anak sependiam dan selugu Dennies, bisa menjadi anak yang sama sekali tidak Richard kenali. Dennies-nya telah berubah, dan Richard yang menjadi sebab utama perubahan Dennies itu.

Tes!

Setetes air mata Richard kembali jatuh saat ia melihat Dennies mengeluarkan sebungkos rokok dari saku jaket yang dipakainya. Anak itu, mengambil satu batang rokok yang ia keluarkan, kemudian menyalakan koreknya pada ujung batang rokok itu. Bahkan Dennies berani merokok di hadapan Richard? Anak itu dengan terang-terangan dan dengan santai menyesap rokoknya di hadapan Ayahnya sendiri? Dennies seorang perokok? Richard bahkan enggan menyentuh rokok, ia bukan seorang perokok. Richard sadar, jika ia memiliki seorang putra, dan ia tidak ingin menurunkan sifat perokok yang tidak baik bagi kesehatan pada putranya. Tapi kenyataannya?

"Sejak kapan kamu merokok, Nies?" Richard menatap Dennies dengan tatapan lembut, berusaha mendekati Dennies yang seperti memberikan Richard jarak untuk tidak mendekat ke arahnya. Saat seisi mobil penuh dengan asap rokok yang Dennies hisap, tangan bergetar Richard dengan perlahan membukkan seluruh kaca mobil yang tadinya tertutup. Rasanya sesak, semakin sesak ketika Richard melihat Dennies yang masih merokok dengan kedua kaki yang ia letakkan di atas kepala kursi depan mobil.

DENNIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang