[45] In the end

9.6K 1K 622
                                    

Hey, aku balik lagi hehe🤭

Ada yang rindu Dennies, kah? Cung yang rindu, absen dulu wkwk🙈

Eh eh, seperti biasa, kasih emot dulu dong buat Author hehe🤭

Maafkeun typo dan selamat membaca❣️

~~

"Nies, lihat ayah, ayah mohon, kamu buka mata kamu."

"Maaf Pak, Bapak tidak boleh masuk, sebaiknya tunggu di luar."

Langkah Richard dihentikan dengan paksa, saat suara seorang suster itu, mengintrupsi perjalanannya. Kenapa? Padahal ia hanya ingin menemani Dennies, Richard hanya ingin menemani putranya. Banyak waktu yang telah ia lewati tanpa memikirkan Dennies di dalamnya, banyak hari yang telah ia lalui tanpa Dennies di tengahnya. Sekarang, saat penyesalan itu tiba, menghujamnya dengan keras hingga membuat ia sesak, sesak-sesaknya, kenapa harus Dennies yang meregang nyawa? Tidak, seharusnya bukan Dennies yang pantas berada di sana, seharusnya Richard lah yang ada di sana.

"Selamatkan putera saya," bibir bergetar Richard, mengeluarkan suara dengan lirih. Rasanya, kenapa bisa sesakit ini? Kenapa bisa setakut ini? Bahkan untuk berbicara saja, Richard tidak sanggup. Terlalu banyak air mata yang keluar sebagai bentuk penyesalan tanpa ujung yang kini dirasanya. Pada akhirnya, Richard hanya diam, terduduk lemas di depan ruang IGD yang menjadi tempat Dennies berjuang melawan maut di sana.

Seandainya bisa, Richard ingin kembali memutar waktu. Kembali ke masa di mana ia bisa tertawa bersama Denniesnya, bersama putera kebanggannya. Seandainya bisa, Richard ingin mengulang semuanya dari awal, bisa menghabiskan banyak waktu bersama Dennies seperti halnya apa yang sering ia lakukan bersama Kenzie dan Chloe sekarang. Kenapa? Kenapa Richard begitu bodoh?! Ia selalu banyak meluangkan, memberikan waktunya pada anaknya yang lain, tapi ia tidak bisa memberikan itu pada Dennies?!

Di saat ia tersenyum bersama keluarganya, ia mungkin saja tidak tahu jika ternyata Dennies sedang menangis karenanya. Denniesnya telah melewati banyak hal keras sendirian, tapi sekalipun tak pernah ia datang, mengulurkan tangan untuk sekedar jadi tempat berbagi ataupun pelebur lara yang entah telah berapa kali datang dan menghujam pundak kecil yang dahulu selalu bersandar di dadanya itu.

Kenapa, kenapa ia bisa sebodoh ini?! Richard, dia telah sangat berdosa, membiarkan puteranya melewati banyak hal keras itu sendirian. Denniesnya, kenapa, kenapa ia begitu—

"Richard?!"

Richard yang tengah duduk bersimpuh dengan darah yang memenuhi sekujur bajunya itu, tak menjawab. Ia hanya mendunduk dengan bahu yang entah untuk keberapa kalinya masih bergetar. Sesak itu kian menjadi, debaran penuh ketakutan itu seolah mematikan sebagian syarafnya. Bahkan tanpa Dennies di sisinya, Richard tidak tahu apakah ia masih bisa hidup sampai besok. Dennies adalah segalanya untuk Richard, dia adalah puteranya, putera yang selalu menjadi kebanggannya. Tapi sekarang, puteranya itu—

"Richard, kenapa baju kamu jadi merah begitu? Kenapa kamu nangis? Ada apa? Kamu, nggak papa, kan? Terus mana Kenzie, tadi dia sama kamu, kan?"

Richard diam, menunduk sambil meremas lututnya yang dibalut celana berwarna hitam itu. Sesak itu, sukses mengendalikan kesadarannya, sukses mengambil separuh akal sehatnya. Hingga bukannya ia menjawab pertanyaan sang Ibu, ia malah semakin menangis dengan lebih menjadi.

DENNIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang